Melalui The Shadow Strays, Timo Tjahjanto telah menyusun surat cinta membara untuk sinema aksi Hong Kong (terutama karya-karya John Woo), dengan beberapa jejak berdarah dari "Negeri Sakura" ala Takashi Miike turut terpatri di situ. Banyak sineas telah melayangkan surat cinta serupa, namun jarang yang melakukannya setegas dan sebebas Timo.
Di dunia baru ciptaan Timo ini, eksis suatu organisasi rahasia bernama "The Shadow", berisi para pembunuh bayaran mematikan. Gadis berusia 17 tahun dengan kode nama 13 (Aurora Ribero) termasuk salah satunya. Baru-baru ini, akibat kesalahannya, 13 nyaris mengacaukan sebuah misi di Jepang, hingga harus mendapatkan bantuan dari sang mentor, Umbra (Hana Malasan).
Blunder apa yang 13 lakukan? Dia menunjukkan belas kasihan kepada orang tak bersalah. Sederhananya, tidak seperti para pembunuh lain, ia masih memiliki hati. Selepas misi, Umbra pun menceramahi anak asuhnya panjang lebar, dalam rangkaian kalimat yang terdengar kaku nan janggal, bak terjemahan kasar dari Bahasa Inggris. Satu kekurangan yang acap kali muncul ketika Timo menulis naskahnya sendiri.
Setelahnya, 13 yang diminta rehat sejenak bertemu dengan bocah bernama Monji (Ali Fikry), yang baru kehilangan sang ibu akibat kekejaman gembong kriminal penguasa kota. Tidak lama berselang Monji mendadak hilang, dan 13 pun tidak ragu mengobrak-abrik seisi dunia bawah tanah "hanya" demi seorang bocah yang baru dikenalnya selama beberapa hari.
The Shadow Strays mungkin belum sebrutal atau se-inventif The Night Comes for Us (2018), tapi ia tetaplah gelaran aksi di atas rata-rata, bukan cuma dalam konteks sinema Indonesia, pula dunia. Melanjutkan kolaborasinya dengan Batara Goempar selaku penata sinematografi, Timo nampak sudah paham betul akan ilmu perihal tata kamera seperti apa yang dapat memaksimalkan dampak sebuah baku hantam.
Aurora merupakan sentral dari segala darah yang Timo tumpahkan. "Mati-matian" mungkin kata yang paling pas menggambarkan performa sang aktris muda. Aurora menyalurkan luapan amarah 13 ke arah gerakan-gerakan mematikan nan meledak-ledak, yang membuktikan bahwa dalam seni peran, olah rasa dan olah raga sejatinya saling berkaitan.
Di ranah penceritaan, tuturan kekeluargaan, hubungan guru-murid, hingga ikatan pertemanan (13 juga mendapat bantuan dari seorang preman bernama Jeki yang diperankan Kristo Immanuel) jadi berbagai elemen yang mengisi 144 menit The Shadow Strays. Hal-hal tersebut jamak kita temui di suguhan aksi khas Hong Kong, atau dengan kata lain, Timo bukan cuma "meniru" gaya pengadeganan Woo (gerak lambat dramatis menjadi primadona), pula cara berceritanya. Kelam, tragis, terkadang seperti tak menyisakan ruang bagi cahaya harapan.
Timo bukan pencerita yang luar biasa. Durasi yang nyaris menyentuh dua setengah jam tersebut pun salah satunya dipicu oleh penulisan yang kurang efektif, sehingga intensitas kerap menurun tatkala adegan aksi absen dari layar. Tapi bukan berarti alurnya tak mempunyai keunggulan.
Satu poin yang cukup menarik adalah bagaimana Timo menggunakan baku hantamnya sebagai alat bercerita. Pada dasarnya The Shadow Strays adalah kisah pendewasaan seorang gadis remaja dengan ketidakstabilan emosinya. Setiap pukulan, tendangan, bahkan tusukan yang 13 terima menempanya jadi makin kuat. Sebagai jagoan di film aksi, alasan 13 nampak keren bukan soal bagaimana ia mustahil dikalahkan, melainkan karena tidak peduli seberapa mematikan serangan yang diterima, ia tetap berdiri.
Tengok klimaks yang mempertemukan Aurora Ribero dengan Hanah Malasan. Di salah satu shot paling epik filmnya, satu orang mendapati jarinya terputus, satu orang lagi mencabut katana dari dadanya. The Shadow Strays bukanlah tentang siapa yang paling jago berkelahi, tapi siapa yang sanggup bertahan paling jauh, dan terus bangkit walau seluruh aspek kehidupan berusaha menghabisinya.
(Netflix)
Jejak berdarah ala Takashi Miike? Yakuza Apocalypse? Hehehe
BalasHapus