Teks mengenai bagaimana filsuf Jeong Yeo-rip menyuarakan kesetaraan antara semua manusia, termasuk bangsawan dan budak, membuka Uprising. Penonton seolah digiring untuk berasumsi kalau film yang tengah ditonton adalah kisah inspiratif tentang perjuangan sang filsuf menghapus jurang kelas. Kemudian kamera bergerak ke bawah, memperlihatkan sosok Jeong Yeo-rip dari belakang, dengan pedang terhunus di leher. Dia bunuh diri saat pasukan kerajaan hendak menangkapnya atas tuduhan pengkhianatan.
Hanya dalam waktu sekitar 10 detik, Uprising sudah berhasil melempar twist cerdik. Wajar saja, mengingat Park Chan-wook terlibat dalam proses penulisan naskah (bersama Shin Cheol). Sedangkan kursi sutradara ditempati Kim Sang-man, yang pernah beberapa kali bekerja di bawah Park Chan-wook, termasuk sebagai penata artistik di Joint Security Area (2000).
Alurnya mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Seonjo (Cha Seung-won) di akhir abad 16, ketika perbudakan masih jamak terjadi. Jika salah satu orang tuanya adalah budak, maka seorang anak otomatis juga menjadi budak. Cheon Yeong (Gang Dong-won) bernasib serupa. Uniknya, Cheon Yeong menjalin pertemanan dengan Lee Jong-ryeo (Park Jeong-min), putra dari bangsawan yang memperbudak dirinya.
Pertemanan tersebut menghadapi ujian seiring keduanya tumbuh dewasa. Cheon Yeong mengharapkan kebebasan, Jong-ryeo mulai mendapat posisi tinggi di kerajaan. Suatu peristiwa yang terjadi berdekatan dengan invasi pasukan Jepang terhadap Joseon akhirnya membuat mereka bermusuhan. Cheon Yeong dengan jubah birunya, Jong-ryeo dengan seragam kebesaran merahnya. Keduanya berlawanan sekaligus saling melengkapi, layaknya konsep taegeuk yang terpampang di bendera Korea Selatan.
Bukankah warna biru di taegeuk menyimbolkan energi negatif? Di situlah perspektif film ini menampakkan daya tariknya. Kelak Cheon Yeong bergabung dengan kelompok militan yang tak hanya berperang melawan tentara Jepang, pula berusaha meruntuhkan sistem perbudakan. Bagi pemerintahan Seonjo tentu eksistensinya bersifat negatif. Pertanyaannya, apakah sesuatu yang buruk di mata penguasa juga buruk bagi rakyat jelata?
Film ini menolak sedikitpun menjustifikasi kebobrokan monarki yang begitu mendewakan sang raja. Tidak ada kata "tapi", tidak ada romantisasi. Uprising adalah suguhan yang mengubah perspektif konservatif genre sageuk menjadi sebuah karya progresif. Maka tidak heran ketika musik gubahan Cho Young-wuk pun menolak pakem konvensional kala meleburkan nada-nada tradisional khas genrenya dengan distorsi rock yang lebih modern, dan sedikit bumbu noir.
Naskahnya gemar memunculkan komparasi. Salah satu teknik yang paling sering dipakai adalah saat beberapa kali, dua peristiwa yang terkesan berlawanan dijahit secara bergantian. Sewaktu sang raja memusingkan pembangunan ulang istana supaya lebih megah, rakyatnya bingung mencari cara bertahan hidup. Tatkala pasukan budak berjuang membantai penjajah, prajurit kerajaan malah sibuk membantai rakyat.
Di satu titik, rakyat yang sudah jengah terhadap sikap sewenang-wenang raja yang kabur meninggalkan mereka di tengah serangan Jepang, melampiaskan amarah dengan membakar pusat kota. Dari kejauhan, Raja Seonjo melihat kobaran api tersebut lalu berujar, "Kenapa rakyatku melakukan itu?". Bagi sang raja ia tidak berdosa, walau pada kenyataannya, si penguasa lalim sama saja dengan para penjajah.
Kekuatan penceritaan Uprising disempurnakan oleh pengarahan Kim Sang-man yang penuh gaya. Selain gelaran aksi yang tak ragu membanjiri layar dengan kekerasan berdarah, sang sutradara pun berulang kali melempar kejutan (mayoritas adalah kejutan yang menyakitkan) secara cerdik, entah dengan bantuan gerak kamera dalam sinematografi garapan Ju Sung-rim, maupun departemen penyuntingan yang ditangani Han Mi-yeon.
(Netflix)
Gw nonton 3x... Sampe hafal urutan adegan2nya wkwkwk
BalasHapus