Aku Jati, Aku Asperger yang merupakan remake dari film Swedia berjudul Simple Simon (2010) sejatinya cukup mengkhawatirkan. Apakah ia bakal terjebak stereotip? Apakah demi menarik perhatian penonton filmnya akan mengutamakan banjir air mata sembari mengemis rasa kasihan bagi karakternya? Berbagai pertanyaan tersebut memenuhi kepala saya sebelum memasuki studio.
Sampai akhirnya Jati (Jefri Nichol) alias si tokoh utama yang mengidap asperger diperkenalkan, lalu kredit pembukanya yang dikemas secara kreatif dengan memanfaatkan mainan model kereta api mulai bergulir, dan segala kekhawatiran di atas berangsur lenyap. Film garapan Fajar Bustomi ini tidak menggiring penonton untuk mengasihani Jati. Kita justru diajak menikmati warna-warni kehidupan bersamanya.
Alkisah Jati menumpang di rumah kakaknya, Daru (Pradikta Wicaksono). Kiara (Carissa Perusset), pacar Daru, juga tinggal bersama mereka. Hanya Daru yang mampu memahami Jati, dan bisa menangani situasi pelik tiap dia sedang tantrum. Tapi tidak dengan Kiara. Kedisiplinan Jati terhadap jadwal membuatnya tersiksa, dan akhirnya meninggalkan Daru.
Rutinitas Jati begitu teratur. Kapan ia bangun pagi, berangkat bekerja, hingga menyantap camilan, diatur sampai hitungan detik. Tapi naskah buatan Fikra Fadilla dan Rinapta Swasti Simson tidak menggampangkan kondisi Jati dengan semata berasalan, "Jati bertingkah demikian karena ia memiliki asperger". Sebaliknya, Jati mematuhi jadwal karena ia sama dengan kita yang normal.
Jati menyukai kereta api, sampai rela menabung guna membeli mainan model berharga mahal. Dia belajar bahwa ketaatan kereta api terhadap jadwal bakal melancarkan perjalanan, serta menghindarkannya dari kecelakaan. Jati menerapkan jadwal ketat bagi kesehariannya sebab ia tak ingin hidupnya kacau. Seperti kita, Jati mendambakan kehidupan yang lancar.
Tentu harapan Jati tak selalu terpenuhi. Termasuk pada saat ia berharap dapat mencarikan pacar baru bagi Daru, di mana Jenar (Hanggini), seorang pembuat konten yang penuh semangat, menjadi salah satu calon kuat. Hanggini tampil begitu berenergi, sampai setiap dia muncul, atmosfer film seketika terasa berkali-kali lipat lebih cerah.
Batu sandungan telah menanti Jati, pun banyak kegagalan bakal ia alami, tapi sekali lagi, filmnya enggan memohon belas kasihan penonton. Sebaliknya, Aku Jati, Aku Asperger dipenuhi aura positif, yang diwakili oleh warna-warni yang Fajar Bustomi terapkan di visualnya. Tata kostum dan artistiknya berpadu dengan apik, saling mempercantik tanpa harus terlihat berlebihan atau terlampau mencolok.
Di departemen akting, Jefri Nichol membawakan performa terbaik sepanjang karirnya, melalui performa yang menjauhi kesan karikatur berkat sensitivitasnya mengolah rasa. Setiap Jati tantrum, Jefri mencurahkan segalanya. Sayangnya Dikta belum selepas Jefri dalam menangani ledakan-ledakan emosi. Kemarahan yang beberapa kali coba ia perlihatkan masih berkutat pada teriakan-teriakan kosong tanpa dibarengi gestur yang mendukung.
Beberapa pilihan shot dan gaya penyuntingan pilihan sang sutradara mampu mempertahankan kesan quirky khas sinema Eropa yang dimiliki film aslinya. Menggelitik tanpa harus terlalu konyol, lucu tanpa perlu menjadikan kondisi karakternya sebagai bahan tertawaan. Sebaliknya, Aku Jati, Aku Asperger mengajak kita tertawa bersamanya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar