Pernah mengeluhkan rutinitasmu terlalu biasa dan membosankan? Merasa dengan segala kemampuan yang dimiliki, seharusnya kamu mendapatkan kehidupan yang lebih mengesankan? Protagonis dalam Cloud, yang menjadi perwakilan Jepang di Academy Awards tahun depan, meyakini hal serupa. Dia mengharapkan perubahan, dan kelak harapan itu terwujud melalui cara yang ia dan penonton tidak pernah duga. "Hati-hatilah dengan keinginanmu" kalau kata orang-orang bijak.
Yoshii (Masaki Suda) menyambung hidup sebagai reseller daring. Barang yang ia beli dijual kembali di internet dengan harga berkali-kali lipat lebih mahal. Yoshii tidak peduli apakah barang tersebut asli atau palsu, karena ia percaya, selama ada permintaan tinggi dari masyarakat, keaslian serta harga tidaklah penting, dan barang itu akan tetap ludes terjual.
Anggapan itu terbukti di adegan pembukanya, yang membuktikan bahwa Kiyoshi Kurosawa selaku sutradara masih mumpuni perihal membangun horor analog mencekam, tatkala dalam waktu singkat Yoshii mampu menghabiskan stok barang yang ia sebut "miracle therapy machine". Yoshii pun berani berjanji pada kekasihnya yang sudah lelah bekerja, Akiko (Kotone Furukawa), bahwa mereka bakal segera pindah ke rumah bagus dan menjalani kehidupan mewah.
Benar saja, tidak lama kemudian Yoshii membeli rumah di area terpencil, lalu mengembangkan "bisnisnya" dengan bantuan asisten bernama Sano (Daiken Okudaira). Tapi bukannya awal bahagia, justru rentetan peristiwa aneh yang menanti Yoshii. Di situlah naskah buatan sang sutradara menjawab doa si tokoh utama dengan memberinya hidup baru yang jauh lebih "seru" dan menjauhi kesan monoton.
Rasanya Cloud cuma bisa dilahirkan oleh sineas Jepang dengan keliaran eksplorasi mereka. Kurosawa tidak takut membanting setir, kemudian secara ekstrim mengubah tone filmnya. Di awal, Cloud tampil layaknya judul-judul klasik Kurosawa seperti Cure (1997) dan Pulse (2001) yang lebih mengutamakan permainan atmosfer. Rutinitas membosankan Yoshii dipertontonkan, namun Kurosawa menyelipkan sense of impending doom untuk membuat penonton merasa was-was.
Yoshii sendiri menyimpan perasaan serupa. Pelan-pelan muncul paranoia dalam hatinya. Yoshii menduga ada pihak yang berusaha menyakitinya. Di fase tersebut, Kurosawa memamerkan keahliannya mengolah momen mencekam. Ada beberapa jumpscare konvensional, tapi yang paling impresif adalah di "adegan bus". Alih-alih menggedor jantung penonton lewat musik berisik, Kurosawa tiba-tiba membisukan segala sumber suara. Hasilnya menyesakkan.
Masaki Suda tampil meyakinkan sebagai sosok protagonis yang tidak bisa diandalkan. Ketika filmnya mulai berganti haluan ke arah aksi thriller beraroma home invasion dan melempar berbagai kejutan absurd, Yoshii dengan segala kebingungan dan ketidaktegasannya pun cuma bisa tercengang. Di situlah keinginan Yoshii menghapus ke-monoton-an dari hidupnya terkabul.
(JAFF 2024)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar