Sekilas Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga terlihat tak memiliki perbedaan dengan setumpuk horor lokal malas yang mengikuti tren dengan mengadaptasi kisah-kisah viral dari media sosial. Apalagi kursi sutradara diduduki oleh Rizal Mantovani, yang sebelumnya telah menelurkan enam judul (lima di antaranya horor) sepanjang tahun 2024. Siapa sangka film ini malah memberi contoh perihal apa saja yang semestinya dilakukan guna menghasilkan horor berkualitas.
Selepas kredit pembuka ala The Conjuring yang sukses mencuatkan suasana mencekam, kita diajak berkenalan dengan Maya (Frederika Cull) yang baru saja menikahi Andi (Fahad Haydra), meski keputusan itu menyakiti Duma (Wafda Saifan Lubis) yang sudah sejak lama menaruh hati padanya. Bukannya menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru, Maya dan Andi malah harus hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akibat serangan santet bernama "racun sangga".
Konon santet itu tidak bisa dihancurkan, dan bakal terus ada sampai tujuannya tercapai, yakni memisahkan pasangan yang jadi target, entah melalui kematian atau membuat keduanya bercerai. Tidak lama setelah mengucap ijab, Andi mulai merasakan gatal-gatal di sekujur tubuh. Badannya pun dipenuhi luka, sementara muntah darah jadi aktivitas rutin tiap malam.
Disokong oleh naskah buatan Gusti Gina yang juga merupakan kreator dari utas viral di X yang dijadikan materi adaptasi, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Rizal Mantovani tak mengedepankan jumpscare dalam horornya. "Bercerita" jadi fokus utama, sementara pembangunan atmosfer dipakai sebagai amunisi menebar teror. Rizal tidak lagi royal mengumbar muka hantu, dan memilih mengusung prinsip "we fear what we cannot see".
Di satu titik, Andi nampak ketakutan sembari menunjuk ke salah satu sudut rumah. Maya tidak bisa melihat apa yang Andi lihat, begitu pula penonton. Suasana mencekam mampu dimunculkan meski tak menyertakan penampakan, karena pada dasarnya manusia memang cenderung takut akan hal-hal yang tak kita pahami.
Sayang, ada kalanya penggunaan musik yang kurang bijak terasa mengkhianati pendekatan atmosferik filmnya. Seperti belum bisa sepenuhnya lepas dari penanganan serba berisik di karya-karya sebelumnya, Rizal kerap terlalu berlebihan dalam menempatkan musik garapan Aghi Narottama. Lucunya, masalah ini justru menjangkiti adegan non-horor. Dialog antar karakternya sering sulit didengar akibat iringan musik orkestra megah dengan volume maksimal.
Untunglah terornya tetap terjaga. Bukan hanya melalui hal-hal subtil, Racun Sangga juga mempersenjatai diri dengan hal-hal yang lebih bombastis. Jumpscare memang tak mendominasi, namun bukan berarti sama sekali lenyap. Kuantitasnya benar-benar dikontrol, sehingga efektivitasnya perihal mengageti penonton tetap terjaga tiap kali dihadirkan.
Tidak kalah impresif adalah caranya membungkus gore. Ketika banyak sineas horor kita hanya gemar mengumbar kesadisan tanpa menguasai "seni menumpahkan darah", Rizal di film ini, dibantu oleh tata kamera garapan Hani Pradigya, serta Sastha Sunu di departemen penyuntingan, memberi contoh bagaimana semestinya sadisme diperlihatkan.
Contoh sempurna terletak saat akibat santet yang ia terima, Andi terdorong untuk memarut tangannya sendiri. Rizal terlebih dahulu membangun antisipasi penonton, meningkatkan kecemasan kita ke tingkat tertinggi lewat permainan kamera dan efek suara, sehingga saat akhirnya tiba ke "menu utama", ada kepuasan yang belakangan jarang terasa di horor Indonesia.
Pencapaian lain Racun Sangga adalah terkait elemen budayanya. Biarpun banyak dari jajaran pemainnya bukan warga lokal, naskahnya tak tergoda untuk memakai narasi "orang daerah merantau ke Jakarta" dan tetap menggunakan Kalimantan sebagai latar. Pertemuan dengan Nini Bulan (Elly D. Luthan) jadi gerbang menuju salah satu momen terbaik filmnya, tatkala sebuah upacara diadakan guna membersihkan racun sangga dari tubuh Andi. Doa-doa religius dan jampi-jampi dengan kemenyan ala klenik Jawa yang sudah terlampau sering menghiasi horor tanah air dihantikan oleh ritual tari-tarian, yang tak hanya unik secara estetika, pula mampu menguatkan atmosfer.
Setelah beragam peristiwa yang kita saksikan, babak puncaknya memang terasa terlalu generik dan antiklimaks (meski tidak digarap dengan buruk), tapi setidaknya, Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga masih menawarkan konklusi memuaskan yang layak didapatkan oleh karakternya. Tidak bermain aman, tidak pula memaksakan hadirnya tragedi. Begitulah contoh penulisan yang baik.
Bang, tolong bahas film Animasi China dong. "Into the Mortal World" Animasinya bagus katanya.
BalasHapus