"Edan film iki!", ujar penonton di sebelah saya selepas Dendam Malam Kelam mengungkap salah satu kejutannya. Banyak orang lain akan mengeluarkan respon serupa, yang mana sangat bisa dipahami, tapi remake dari film Spanyol berjudul The Body (2012) ini bukan semata mengandalkan twist, melainkan benar-benar disusun sebagai misteri yang solid dalam bercerita.
Semua berawal saat jenazah Sofia (Marissa Anita) lenyap dari kamar mayat laboratorium forensik. Arya (Bront Palarae), detektif yang bertugas mengusut misteri tersebut dan gemar bersumpah serapah memakai istilah "haram jadah" (entah kapan terakhir kali saya mendengar itu), memanggil suami Sofia, Jefri (Arya Saloka), untuk dimintai keterangan. Tapi ada satu hal yang polisi belum ketahui: Sofia bukan meninggal akibat serangan jantung, melainkan dibunuh oleh Jefri, yang ingin menutupi perselingkuhannya dengan Sarah (Davina Karamoy).
Baik di hadapan Arya ketika ia mengenakan topeng kebohongan, maupun saat tengah seorang diri dan secara bebas menunjukkan wajah aslinya pada penonton, Jefri selalu membantah telah mencuri jenazah mendiang istrinya. Bahkan di beberapa situasi, Arya nampak ketakutan dan begitu putus asa ingin menemukan pelaku sesungguhnya. Benarkah demikian, atau kita tengah menyaksikan sesosok unreliable narrator?
Dendam Malam Kelam memang piawai menyulut tanda tanya, yang berdampak pada terjaganya atensi penonton. Sewaktu tokoh-tokohnya berdebat, seperti saat Dr. Nadia (Putri Ayudya) melempar hipotesis bahwa Sofia mengalami mati suri yang segera dibantah oleh Arya, intensitasnya benar-benar mencuat berkat pengarahan Danial Rifki yang jeli mengolah ketegangan, pula akting para pemainnya.
Bagaimana Jefri bersikap songong sedari awal interogasi sehingga memancing kecurigaan polisi di saat semestinya ia berlaku sebaliknya memang cukup mengganggu, tapi seiring berjalannya waktu, Arya Saloka mampu membangun dinamika kuat bersama Bront Palarae melalui adu argumen keduanya. Di sisi lain, Marissa Anita dengan segala kepercayaan diri yang karakter Sofia miliki, tampil bak magnet berdaya tarik tinggi yang kemunculannya selalu meninggalkan kesan biarpun porsinya cenderung minim.
Tapi hal paling mengesankan dari Dendam Malam Kelam adalah bagaimana naskah adaptasi buatan Danial Rifki tetap mengutamakan kesolidan bertutur alih-alih mengandalkan twist semata. Tirai misterinya tak dibuka hingga akhir durasi, namun alurnya tetap padat sebab naskahnya tahu kapan harus membuka petunjuk baru, kapan harus mengajukan pertanyaan, kapan harus tancap gas, serta kapan harus berhenti sejenak. Penceritaannya rapi, dan twist hanyalah pemanis yang makin melengkapi presentasi.
Satu hal yang agak mengurangi tingkat kerapian kisahnya adalah beberapa pilihan departemen penyuntingan yang layak dipertanyakan, entah berupa transisi kasar, atau bentuk susunan antar adegan yang ada kalanya terasa kacau.
Pilihan sang sutradara terkait musik yang terkesan inkonsisten pun perlu dipertanyakan. Di satu titik, Dendam Malam Kelam terdengar elegan tatkala komposisi buatan Mondo Gascaro yang mengedepankan nuansa noir sedang mendominasi. Tapi di kesempatan lain, terutama saat flashback dramatis tengah terjadi, justru lagu pop mendayu-dayu yang mengiringi.
Mungkin itu cara Danial Rifki berkompromi dengan selera penonton awam Indonesia yang menyukai kesenduan dramatis. Setidaknya pilihan tersebut sempat efektif sewaktu kita diajak menyaksikan momen perkenalan Jefri dan Sofia. Menyakitkan rasanya melihat sesuatu yang diawali dengan keindahan harus diakhiri dengan kepiluan mematikan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar