14/06/25

REVIEW - HOW TO TRAIN YOUR DRAGON (2025)

0 View

Banyak yang menyebut How to Train Your Dragon sebagai salinan mentah dari versi animasinya. Tidak salah, tapi justru karena itulah remake ini berhasil. Golnya jelas. Dean DeBlois (juga menyutradarai film orisinalnya) dan tim tak berniat membawa interpretasi baru, tapi sebatas mengulang sihir lamanya. Alhasil, penonton yang familiar dengan animasinya akan dipuaskan oleh perasaan nostalgia, sedangkan penonton muda bakal merasakan magis sebagaimana kita, "penonton senior", alami 15 tahun lalu. 

Semuanya masih sama. Ceritanya sama, Mason Thames punya tampilan fisik sama persis dengan karakter Hiccup yang ia perankan, bahkan Gerard Butler kembali memerankan Stoick si kepala suku yang dahulu ia isi suaranya. Dua dekade telah berlalu sejak Butler menghidupkan Leonidas yang ikonik, namun seruan perang yang sang aktor lontarkan tetap sama menggetarkannya. 

Pada dasarnya, materi asli How to Train Your Dragon memang cenderung fleksibel. Animasi membebaskannya, tapi live-action pun adalah medium presentasi yang cocok. Misal penggambaran Hiccup. Di versi animasi pun, ia bukanlah protagonis yang cartoonish dan bersikap sebagaimana pemuda yang canggung secara sosial di dunia nyata. Menerjemahkannya ke realita bukan sebuah kemustahilan.

Dibekali materi luar biasa kuat, DeBlois sadar betul bahwa kesalahan fatal yang berpotensi terjadi adalah, jika ia memaksakan diri untuk mengutak-atiknya, lalu memberi perbedaan semata-mata supaya segalanya tidak serupa. Tujuan "mengulangi" pun ditetapkan, dan sang sineas secara konsisten terus melangkah di jalur tersebut.

Saya tetap dibuat terikat oleh mitologi dunia fantasinya yang kaya, di mana Viking dari Desa Berk menjalin permusuhan abadi dengan para naga; jajaran karakter utamanya, baik Hiccup dengan segala ide jenius yang membuatnya mudah disukai, maupun kelima kawannya, Astrid (Nico Parker), Snotlout (Gabriel Howell), Fishlegs (Julian Dennison), Ruffnut (Bronwyn James), dan Tuffnut (Harry Trevaldwyn), kembali membawa pesona unik masing-masing; kisah mengenai hubungan disfungsional antara si protagonis dengan ayahnya yang terus-terusan enggan mendengarkan sang putra pun masih menyentuh hati.

Toothless si naga Night Fury tidak diubah jadi monster realistis yang buruk rupa. Sentuhan realisme dihadirkan oleh beberapa detail tubuhnya yang lebih kentara, tapi mata besar nan menggemaskan miliknya masih sama seperti dulu. Genre fantasi dibuat supaya penikmatnya berkesempatan sejenak bertualang menjauhi kemonotonan dunia nyata, jadi kenapa harus memaksa berpijak pada realita?

Peralihan dari medium animasi nyatanya tak mengurangi kualitas pengarahan DeBlois, yang baru kali ini mengarahkan film panjang fiksi live-action. Adegan "penerbangan perdana" yang menandai terjalinnya koneksi antara Hiccup dan Toothless tampil dengan daya magis luar biasa, begitu pula klimaksnya, yang semakin bombastis berkat iringan musik garapan John Powell yang meraung-raung secara dahsyat membelah langit Berk. How to Train Your Dragon kembali terbang tinggi.

2 komentar :

  1. Berarti salah satu film live action dari animasi yang berhasil ya ini?

    BalasHapus
  2. DreamWorks 1
    Disney 0

    BalasHapus