Saya baru saja menemukan film yang paling saya cintai tahun ini. The Life of Chuck punya cerita yang tidak memenuhi kaidah logika, sebab kita memang tidak perlu memandangnya secara logis. Cukup resapi tiap momen dengan hati, rasakan, renungkan, lalu begitu kredit penutup bergulir, mungkin seperti saya, kalian akan duduk terdiam melihat ruang kosong yang nampak di layar, kemudian tanpa sadar berujar, "Hidup ini berharga".
Kisahnya mengadaptasi novela berjudul sama karya Stephen King, dan acap kali cara bertuturnya memang terkesan "terlalu novel', dengan segala narasi cerewet serta obrolan panjang. Tapi dibanding segala keindahan yang The Life of Chuck tawarkan, kecerewetan itu ibarat setitik noda yang nyaris tak kasatmata.
Alurnya dibagi menjadi tiga babak yang masing-masing merekam fase hidup Charles "Chuck" Krantz (Tom Hiddleston). Kronologinya berjalan mundur, di mana babak ketiga muncul paling awal, menggambarkan kondisi dunia yang mendekati gerbang kiamat. Di tengah kehancuran yang datang silih berganti, guru sekolah menengah bernama Marty (Chiwetel Ejiofor) dibuat kebingungan oleh rentetan iklan berisi ucapan terimakasih bagi Chuck.
Poster, baliho, hingga televisi menampilkannya. Orang-orang di seluruh dunia turut melihatnya, tapi tak satu pun mengenal identitas Chuck. "39 Great Years! Thanks Chuck!" tulis iklan yang bak ucapan pensiun tersebut. "Dia terlalu muda untuk orang yang sudah bekerja selama 39 tahun", ucap Marty. Banyak tanda tanya di kepala si guru, tapi dunia tetap bergerak menuju kehancuran, bak memamerkan ketidakpedulian terhadap rasa penasarannya.
Film ini disutradarai oleh Mike Flanagan (juga sebagai penulis naskah dan editor) yang baru kali pertama mengarahkan suguhan non-horor. Jejaknya selaku "ahli teror" masih terasa. Momen saat Marty duduk bersama mantan istrinya, Felicia (dipreankan Karen Gillan yang piawai mengolah emosi), di bawah bentangan langit malam yang pelan-pelan menampakkan anomali, mungkin adalah adegan paling menyeramkan yang pernah Flanagan ciptakan di layar lebar.
Kala itu malam mencekam, sekaligus mengingatkan betapa dibanding luasnya semesta, eksistensi umat manusia begitu kecil, begitu kerdil, begitu rapuh, begitu fana. Tapi bukan berarti tanpa makna. "I contain multitudes". Begitu bunyi kutipan dari puisi Song of Myself karya Walt Whitman yang dibacakan Miss Richards (Kate Siegel), guru Chuck semasa kecil di babak pertama. Kalimat yang memandang eksistensi manusia layaknya sebuah semesta tersendiri sehingga amat berharga.
Kutipan puisi di atas jadi kunci untuk memahami keabsurdan misteri mengenai jati diri protagonisnya. Tapi hal utama yang Flanagan ingin penontonnya lalui bukanlah proses memahami, melainkan merasakan. Rasakan saja adegan-adegan magis yang sang sineas ciptakan. "Tarian di jalanan" yang mendominasi babak keduanya jadi panggung bagi Tom Hiddleston dan Annalise Basso untuk menunjukkan kemampuan berkomunikasi lewat gerak tubuh.
Mark Hamill turut mencuri perhatian lewat penampilannya sebagai Albie, kakek Chuck yang mulai menunjukkan kerapuhannya, baik secara fisik maupun psikis. Albie tersiksa oleh pengetahuannya atas apa yang akan terjadi. Ada kalanya ketidaktahuan adalah sebuah berkah. Sama seperti perasaan saat menonton The Life of Chuck, yang sukses membangun antusiasme lewat setumpuk tanda tanya. Apa yang akan terjadi setelahnya? Ke mana ceritanya bakal bermuara? Sinema sebagai miniatur kehidupan memang sama misteriusnya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar