10/06/25

REVIEW - PREDATOR: KILLER OF KILLERS

0 View

Prey (2022) berhasil membangkitkan franchise-nya karena ia memahami esensi film orisinalnya, ketika mengadu sang alien pemburu dengan manusia yang masih mengakrabi sisi hewani yang menstimulus insting bertahan hidup mereka. Predator: Killer of Killers membawa pemahaman serupa, bahkan melipatgandakannya, lalu melahirkan film Predator terbaik sejak Arnold Schwarzenegger memamerkan maskulinitasnya di hutan Val Verde. 

Alurnya dibagi menjadi tiga latar waktu, di mana setiap masa memiliki "pembunuhnya" masing-masing. Skandinavia tahun 841 membawa kita mengikuti Ursa (Lindsay LaVanchy) selaku pemimpin para prajurit Viking yang terlibat pertempuran dengan pasukan Krivich. Di Jepang tahun 1609 ada konflik antara Kenji dan Kiyoshi (Louis Ozawa), dua putra seorang samurai yang menempuh jalan hidup berbeda. Kemudian ada kisah tentang Torres (Rick Gonzalez), pilot yang terjun ke Perang Dunia II di tahun 1942. 

Format animasi memberi kebebasan eksplorasi bagi sang sutradara, Dan Trachtenberg, mengingat perjalanan menempuh tiga masa niscaya bakal memerlukan biaya luar biasa besar bila dipresentasikan dalam bentuk live action. Menyaksikan visual Predator: Killer of Killers terasa seperti mengunjungi museum berisi lukisan-lukisan yang menangkap jejak kekerasan umat manusia secara indah. 

Darah tumpah, anggota tubuh terpotong-potong, kepala terlontar ke angkasa. Semua terjadi kala tiga protagonis kita mesti menyambut kunjungan para Predator. Setiap karakter menghadapi monster yang berbeda sesuai gaya bertarung mereka, yang membuat jalannya cerita tak pernah terasa monoton. 

Naskah garapan Micho Robert Rutare sejatinya tak menyediakan jalinan cerita kompleks, tapi kesederhanaan tersebut diolah secara efektif, sehingga durasi yang cenderung singkat (90 menit) tak menghalangi Killer of Killers mengembangkan mitologi franchise-nya. Belum pernah dunia Predator dikembangkan semenarik ini, tanpa harus menggelar eksperimen yang terlalu liar (I'm looking at you 'The Predator'). 

Segala gelaran aksi film ini tampil begitu badass bukan saja karena penggunaan kekerasannya, tapi juga ketiadaan kesan basa-basi di tiap pertarungan. Tiga protagonisnya tidak perlu dibuat mengerti dan coba menganalisa makhluk apa yang mereka hadapi. Monster? Alien? Mereka tak peduli. Satu hal yang ketiganya pahami betul adalah, mereka mesti membunuh bila tak mau dibunuh. 

Babak terbaiknya adalah pertarungan di Jepang, yang mayoritas dipaparkan secara non-verbal. Karakternya tak memerlukan kata-kata dan bicara melalui ayunan katana, yang disajikan dalam rangkaian koreografi kelas satu, yang mendapat manfaat besar dari pemakaian medium animasi dengan segala kebebasannya. Fase Perang Dunia II tampil paling generik layaknya suguhan blockbuster bombastis khas Hollywood, biarpun rentetan pertarungan udaranya tetap digarap dengan kualitas mumpuni.

Predator: Killer of Killers memang kisah soal aksi saling bunuh, namun di sisi lain ia juga tampil bak potret mengenai bagaimana umat manusia sebagai makhluk berakal, menempuh proses untuk meninggalkan kebarbaran mereka, kemudian belajar bahwa balas dendam takkan mendatangkan kedamaian, pun kekerasan bukan selalu menjadi jawaban atas segala permasalahan.

(Disney+)

1 komentar :

  1. Absolutely, my most fave dari semua waralaba Predator! Keren banget tampilan visual dan ceritanya. Mindblowing! Eh, di scene terakhir ada signal penghubung dengan film lainnya tuh, Prey. Gak sabar menanti waralaba Predator lainnya yang akan rilis akhir tahun ini: Badland.

    BalasHapus