26/07/25

REVIEW - KAMPUNG JABANG MAYIT

0 View

Sebagaimana di Turah yang ia lahirkan hampir satu dekade lalu, Wicaksono Wisnu Legowo yang bertindak selaku salah satu penulis naskah Kampung Jabang Mayit, kembali mengisahkan tentang sebuah desa kecil dengan jumlah penduduk bisa dihitung jari, yang eksis di bawah bayang-bayang kemiskinan. Bedanya, kali ini kekuatan gaib turut ambil bagian dalam kehancuran desa tersebut. Mistikisme yang menariknya, enggan bersembunyi dari balik kegelapan malam. 

Sebutan "Midsommar dengan kearifan lokal" mungkin layak disematkan bagi Kampung Jabang Mayit, sebagai folk horror berlatar desa misterius di mana matahari seolah enggan mengistirahatkan cahayanya. Desa Rangkaspuna namanya, yang selama tragedi pembantaian 1965, kerap jadi lokasi pembuangan mayat. Malam hari tak pernah kita saksikan, namun kegelapan terpancar kuat dari sana. 

Weda (Ersya Aurelia) adalah foto model yang karirnya tengah melambung. Dia bahkan baru menerima tawaran film perdananya. Cuma ada satu masalah: Weda sedang hamil dari hasil hubungan diam-diamnya dengan fotografer bernama Bagas (Bukie B. Mansyur). Supaya tak merusak karir sang kekasih, Bagas pun mengajak menggugurkan kandungan itu di kampung halamannya, apalagi kalau bukan Desa Rangkaspuna. 

Kenapa harus di sana? Rupanya Desa Rangkaspuna memang dikenal sebagai pusat aborsi. Lewat kesaktian Ni Itoh (Atiqah Hasiholan), konon desa itu mulai beranjak dari kehancuran karena rutin menumbalkan jabang bayi. Warganya mengharapkan berkah dari mengorbankan nyawa manusia. Apa bedanya dengan para penguasa yang membuang jenazah di desa mereka puluhan tahun lalu?

Ceritanya mengambil latar tahun 1989, namun tak satu pun karakternya bicara seperti orang-orang dari masanya? Termasuk saat Weda terlibat pertengkaran dengan Bagas terkait kandungannya, yang dipenuhi barisan kalimat cheesy bak sinetron masa kini. Weda ragu apakah aborsi merupakan pilihan terbaik, namun Bagas terus melempar rayuan, yang semakin diperhatikan, semakin terdengar seperti manipulasi. 

Serupa Dani di Midsommar, Weda pun mesti melalui perjalanan mengerikan berlatar desa terpencil sebelum menyadari betapa toxic romansa yang ia jalani. Sayangnya Kampung Jabang Mayit masih belum beranjak dari trik jumpscare generik, yang sebatas berupaya mengageti penonton lewat penampakan ala kadarnya, meski dengan kuantitas yang untungnya cenderung minim. 

Satu momen yang cukup menonjol adalah, sewaktu Weda diganggu oleh sesosok hantu yang meniru wujud Guna (Rasya Yoga), putra Rini (Rachquel Nesia Gusti Gaza), salah satu warga Rangkaspuna yang bertugas membantu Ni Itoh. Tidak ada penampakan wajah seram, efek suara berisik, atau penyuntingan murahan. Hanya sebuah trik sederhana berbalut kesunyian, yang makin mencekam begitu penonton dan si protagonis menyadari anomali yang sedang terjadi. Di situlah pengarahan Wisnu Suryapratama memperlihatkan sensitivitasnya.

Berlatar patung aneh berukuran besar yang melambangkan siklus kelahiran dan kematian, ritual aborsi Weda pun dilaksanakan. Atiqah Hasiholan berjasa membangun teror melalui penampilannya yang menarik atensi bak magnet. Begitu pula Yudi Ahmad Tajudin sebagai Ki Jaka, asisten Ni Itoh yang bertugas menabuh perkusi selama ritual sembari mengenakan topeng "babi dari neraka".

Film yang mengadaptasi utas hasil tulisan Qwertyping alias Teguh Faluvie ini bergulir selama 92 menit. Singkat. Alurnya memang menolak tampil basa-basi, enggan pula bergerak melebar menyambangi deretan subplot yang tidak diperlukan. Skalanya kecil, yang menunjang terjaganya fokus penceritaan, serta membangun kesan atmosferik milik Rangkaspuna. Bukti bahwa tidak semua horor lokal adaptasi produk viral harus digarap dengan pendekatan serba bombastis. 

1 komentar :

  1. Mas review film A Normal Women karyanya Lucky Kuswandi dong

    BalasHapus