"Tidak semua orang mau diberi payung. Ada yang menyukai berjalan di bawah hujan". Kurang lebih demikian ucapan protagonis film ini, yang bertujuan merangkum pesan utama kisahnya secara puitis. Kalimat itu entah mengapa terdengar mengganggu, sehingga saya pun berniat mengolahnya lebih jauh di perjalanan pulang.
Sembari makan malam seusai menonton, istri saya menyampaikan ketidaksukaannya akan kalimat di atas. "Daripada menyukai berjalan di bawah hujan kenapa tidak mencari payung sendiri? Kenapa perempuan harus bersikap pasif terhadap penderitaan?", ungkapnya. Kami pun mendiskusikan filmnya, dan banyak sudut pandang dia memberi saya pencerahan.
Kebetulan, keengganan memahami perspektif pasangan jadi alasan utama kehancuran karakter ayah dalam Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah. Tio (Bucek Depp) adalah definisi sempurna dari "lelaki mokondo". Di pagi hari, kala sang istri, Wulan (Sha Ine Febriyanti), sibuk mengurus rumah tangga, sementara tiga putri mereka, Anis (Eva Celia), Alin (Amanda Rawles), dan Asya (Nayla D. Purnama), tidak kalah repot mengawali rutinitas, Tio cuma duduk sembari mengisap rokok. Tiada bantuan ia tawarkan.
Kalau kalian gemar dibuat naik darah, maka film ini bisa jadi pilihan. Naskah buatan Evelyn Afnilia memastikan tiap tindakan yang dilakukan (atau tak dilakukan) oleh Tio menyulut amarah penonton. Sewaktu atap rumah mereka jebol di tengah hujan deras, para perempuan lah yang cekatan mencari solusi. Tio yang baru pulang setelah menghabiskan hari ongkang-ongkang kaki di warung kopi sambil berjudi hanya merespon, "Kok bisa bocor?".
Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah adalah tipikal film yang tiap sudutnya menyediakan masalah. Entah berupa penderitaan yang karakter perempuannya alami, atau polah mengesalkan si ayah. Durasi yang cenderung terlalu panjang (119 menit) tak dipakai menghantarkan cerita solid, melainkan disusun atas sketsa-sketsa kaya derita yang seluruhnya sarat skenario klise.
Ibu yang kelelahan menaiki sepeda untuk bekerja? Beasiswa jalur tidak mampu yang mendadak dicabut? Sandal murah yang tiba-tiba rusak? Semua ada. Baik ide dari naskah maupun pengadeganan Kuntz Agus selaku sutradara tak menyisakan jejak kreativitas (tonton 1 Kakak 7 Ponakan untuk tahu bagaimana kreativitas dikawinkan dengan melodrama). Belum lagi kala alurnya merambah area penyakit kronis, yang membuat saya cuma bisa bergumam, "Sudah kuduga."
Walau demikian, Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah tetap punya relevansi. Digugatnya para laki-laki dari beragam generasi, yang punya tendensi merusak hidup pasangan maupun anak mereka, lewat kekangan berlandaskan ego sebagai "kepala keluarga". Filmnya pun coba menyadarkan soal pentingnya perempuan mempelajari kemandirian, ketimbang memercayai anggapan kalau pernikahan adalah jalan keluar permasalahan.
Sayang, Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah tidak pernah benar-benar memberdayakan, akibat penggambaran jajaran tokoh perempuannya yang begitu pasif, seolah dipaksa menikmati segunung derita hanya demi mengemis tangis penonton. Karakternya terlalu betah berjalan di bawah guyuran hujan hingga terserang penyakit, biarpun mereka memiliki opsi untuk sejenak berteduh sembari membuat payung sendiri.
Padahal film ini tidak kekurangan jajaran pelakon perempuan yang piawai memamerkan kekuatan mereka. Sha Ine Febriyanti sebagai ibu yang tetap kokoh biarpun dihantui rasa sakit, Amanda Rawles yang berapi-api, Eva Celia dengan tatapan tajam serta kata-kata pedas yang senantiasa mencuri sorotan, sampai Nayla D. Purnama yang enggan tertinggal dari para seniornya.
Konklusinya memang menolak bersikap permisif terhadap keburukan si ayah, namun ia luput memperhatikan satu detail: bagaimana mungkin muncul kesan empowering, jika tidak menggiring karakternya secara tegas berinisiatif meninggalkan keburukan, dan justru sebaliknya, membuat keburukan meninggalkan mereka?
Pasca berdiskusi dengan istri, saya lanjut membaca novel Circe karya Madeline Miller, sebuah adaptasi progresif mengenai kisah Circe, nymph yang kerap dianggap tak berguna oleh para dewa, sebelum perlahan menemukan jati dirinya sebagai penyihir, hingga berani menantang nama-nama seperti Athena, bahkan ayahnya, Helios si Dewa Matahari. Rasanya Circe takkan betah bersikap pasrah akan guyuran hujan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar