REVIEW - THE CONJURING: LAST RITES

Tidak ada komentar

Saya berasumsi bahwa orang-orang di belakang The Conjuring: Last Rites, yang bertindak selaku penghormatan bagi pasutri Warren, lebih tertarik membuat biopik dramatik, yang pada eksekusinya terasa lebih superior baik dari segi kualitas maupun kuantitas, ketimbang elemen horor yang mendefinisikan franchise-nya. 

Tengok saja sekuen pembukanya yang lebih mengedepankan perjuangan Lorraine muda (Madison Lawlor) melahirkan putrinya, daripada kasus yang ia dan Ed (Orion Smith) mesti tangani, di mana untuk kali pertama, keduanya mesti berhadapan dengan iblis yang besemayam dalam sebuah cermin. Tidak mengejutkan, mengingat aroma drama keluarga berbumbu romansa memang sudah sejak dulu mendominasi seri The Conjuring. 

Sekitar dua dekade berselang, cermin terkutuk itu tiba di kediaman Keluarga Smurl. Mereka yang tadinya begitu harmonis, senantiasa menghabiskan makan malam bersama dengan penuh tawa, mendadak dikuasai ketakutan. Sebuah penegasan dari filmnya, bahwa terburuk yang bisa roh jahat lakukan adalah menggantikan kehangatan antar manusia dengan hawa dingin mencekam. 

Banyak karakter film horor terlalu bodoh untuk menyadari ancaman dari artefak terkutuk, lalu membiarkannya tetap bersemayam di rumah mereka hingga semuanya terlambat. Tidak dengan Heather (Kíla Lord Cassidy) dan Dawn (Beau Gadsdon), dua putri tertua Keluarga Smurl, yang segera membuang cermin tersebut. Langkah pintar, walau kita tahu entitas supernatural terlalu keras kepala untuk bisa diusir segampang itu. 

Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine (Vera Farmiga) kelak bakal menolong Keluarga Smurl, tapi tidak sebelum filmnya menginjak pertengahan durasi. Memburuknya kesehatan Ed, ditambah keinginan menghabiskan waktu bersama sang putri, Judy (Mia Tomlinson), yang memiliki "berkah" serupa ibunya, jadi alasan pasutri Warren memilih pensiun dari dunia pengusiran setan. 

Skrip buatan Ian Goldberg, Richard Naing, dan David Leslie Johnson-McGoldrick mengerahkan segala amunisinya untuk menjalin ikatan emosi antara penonton dengan tokoh-tokohnya. Beberapa momen haru pun berhasil diciptakan, terutama berkat jalinan chemistry Patrick Wilson dan Vera Farmiga selaku motor penggerak, yang memudahkan kita meyakini betapa pasutri Warren saling mencintai. 

Lain cerita bila membicarakan caranya menakut-nakuti. Ide naskahnya terlampau generik. Di kursi sutradara, Michael Chaves (The Curse of La Llorona, The Nun II, The Conjuring: The Devil Made Me Do It) memang mau menyusun jumpscare yang tahu kapan harus mengutamakan visual berbalut keheningan alih-alih asal tampil berisik, tapi pada era di mana horor modern sudah secara rutin menyuguhkan teror yang jauh lebih kreatif, The Conjuring menampakkan keusangannya, bak manusia tua yang kehilangan relevansi.  

Belum lagi membicarakan tendensi Chaves yang berusaha terlalu keras mengikuti cetak biru pengarahan James Wan dalam dua film pertama, lewat pembangunan intensitas pelan nan panjang. Masalahnya, Chaves hanya bisa meniru tanpa menguasai substansi. Daripada memupuk ketegangan, build up sang sutradara cenderung terkesan berlarut-larut dan melelahkan. 

Babak ketiganya dimulai dengan kuat, membangun harapan akan hadirnya pertarungan puncak seru, sebelum bermuara pada situasi konyol, kala wujud lawan pamungkas yang pasutri Warren harus hadapi dalam kasus terakhir mereka akhirnya terungkap. Klimaks tersebut, juga momen saat Annabelle muncul sejenak untuk menakut-nakuti Judy yang bagaikan berasal dari video game horor murahan, lebih pantas muncul di b-movie yang menyengajakan kekonyolan ketimbang franchise "kelas A" macam The Conjuring. 

The Conjuring: Last Rites bukan sebuah bencana. Tapi di saat sebuah film horor tampil lebih menarik dalam mempresentasikan kecanggungan menggelitik yang perlahan beralih ke arah ikatan hangat antara Ed dan tunangan Judy, Tony (Ben Hardy), daripada menu utamanya, rasanya asumsi saya di paragraf pembuka tidaklah mengada-ada. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: