18/12/25

REVIEW - AVATAR: FIRE AND ASH

0 View

Berbeda dengan film pertama (12 tahun selepas Titanic) dan kedua (13 tahun setelah Avatar), Fire and Ash hanya berjarak tiga tahun dari karya James Cameron sebelumnya, The Way of Water. Belum cukup lama waktu berlalu untuk memfasilitasi lompatan teknologi berikutnya. Tidak ada terobosan yang benar-benar baru. Tapi mengapa judul ketiga dari seri Avatar ini terlihat bak "film termahal sepanjang masa" kendati faktanya bukan (berada di urutan keenam dengan biaya 400 juta dollar)?

Poin di atas kerap gagal dilihat oleh barisan pembenci Cameron (dan Avatar). Sebelum berkembang jadi medium bercerita, sinema dirumuskan sebagai eksplorasi teknologi, dan tak satu pun sineas menguasai "wujud murni sinema" tersebut lebih dari Cameron. 

Fire and Ash berlatar hanya beberapa saat pasca konklusi The Way of Water, namun protagonisnya telah mengalami perubahan signifikan. Akibat kematian putra sulung mereka, Neteyam (Jamie Flatters), Jake Sully (Sam Worthington) sang "Toruk Makto" dikuasai amarah, sedangkan Neytiri (Zoe Saldana) si prajurit perkasa menghabiskan hari berdoa dalam lubang duka. 

"Ibuku berduka dengan jalan Na'vi, ayahku dengan jalan manusia", ucap Lo'ak (Britain Dalton) sang putra kedua. Jiwa Jake tetaplah manusia biarpun mengenakan kulit Na'vi. Naskah yang ditulis Cameron bersama Rick Jaffa dan Amanda Silver menggarisbawahi perihal identitas, bagaimana jati diri individu mustahil diubah, tapi tidak dengan cara berpikirnya. 

Kiri (Sigourney Weaver) yang lahir dari avatar Dr. Grace, Spider (Jack Champion) yang selaku manusia tak mampu menghirup udara Pandora, bahkan Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang) yang dihidupkan kembali sebagai avatar, juga melewati ragam dilema terkait identitas. Pilihan terletak di tangan masing-masing. Terus menipu diri, memaksa pihak lain berubah mengikuti mereka layaknya kelakuan penjajah, atau mau berasimilasi? 

Manusia yang tergabung dalam RDA (Resources Development Administration) masih jadi ancaman utama bagi Pandora, namun kali ini bahaya lain yang berasal dari rumah sendiri turut mengintip. Mereka adalah klan Mangkwan, yang di bawah pimpinan Varang (diperankan Oona Chaplin dalam lenggak-lenggok gestur luar biasa), mengasingkan diri di area gunung berapi dan menentang kebesaran Eywa. 

Sejenak kita diajak menyatroni kamp Mangkwan yang tandus, tapi sayangnya, 197 menit durasi Fire and Ash masih didominasi pemandangan hutan dan laut yang sudah secara tuntas ditelusuri oleh dua film pertama. Ada banyak kesempatan bagi naskahnya untuk memperdalam pemahaman atas Varang dan pengikutnya, sehingga mereka bukan sekadar dipotret sebagai suku barbar belaka. 

Untunglah beberapa elemen kultural klan api tersebut tak lalai dipaparkan, sebutlah ritual tari-tarian beraroma psikedelik yang jadi cara mereka berpesta, atau metode ala kamikaze yang digunakan kala perang, di mana prajurit Mangkwan bakal membakar tubuhnya sebelum menabrakkan diri ke arah lawan. Ekspedisi mengungkap kekayaan budaya Pandora memang salah satu menu paling lezat dalam Avatar. 

Tidak bisa ditampik bahwa alurnya cenderung generik karena bak pengulangan yang dipanjang-panjangkan dari judul-judul sebelumnya, namun tiap repetisi itu mulai terasa membosankan, Cameron melempar aksi bombastis berhiaskan parade visual luar biasa. 

Sekali lagi, memang tiada kebaruan dibanding betapa imersif teknologi 3D milik The Way of Water seolah menumpahkan air samudera langsung ke wajah penonton, tapi semuanya tetap memanjakan mata, entah berkat palet warna yang amat kaya, maupun pilihan shot megah yang disusun Cameron bersama sang sinematografer, Russell Carpenter. 

Cameron memandang HFR (High Frame Rate) yang menyusun sekitar 40% dari Avatar: Fire and Ash merupakan media penguat format 3D. Saya setuju. Di luar persoalan "benda-benda menonjol" semisal cipratan air atau percikan bara api yang seolah dapat disentuh, HFR yang memuluskan gerak gambar mampu meningkatkan kejernihan serta kedalaman dari format 3D. Belum lagi kualitas CGI yang serba nyata. Tidak satu sineas pun sanggup menandingi James Cameron mengenai eksplorasi teknologi. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar