REVIEW - LUPA DARATAN
Saya ingat betul bagaimana lewat Ngenest satu dekade lalu, Ernest Prakasa mengubah persepsi banyak orang tentang "film komika". Setelahnya, ia menyegel status sebagai sutradara/penulis dramedi yang jago membaurkan humor dengan konflik keluarga menyentuh. Tapi selepas karya terbarunya yang dibintangi Vino G. Bastian sebagai aktor yang lupa cara berakting, saya mulai khawatir Ernest sendiri turut lupa cara melahirkan drama keluarga yang apik.
Karakter peranan Vino bernama Vino Agustian, satu dari beberapa nama selebritas dunia nyata yang film ini parodikan (Arie Kribo, Morgan Woo, Lukman Sarbi, dll.). Sederhananya, Lupa Daratan adalah sentilan Ernest bagi industri perfilman Indonesia yang: Dikuasai produser keturunan India, menganaktirikan karya non-komersial, serta diisi para pelaku dan enabler pelecehan terhadap perempuan. Presentasinya masih di taraf permukaan, sehingga layak digali lebih mendalam di film berbeda.
Alkisah, Vino dengan segala talentanya dikenal luar biasa sombong, sampai sang asisten, Dimi (Dea Panendra yang kembali mencuri perhatian lewat celetukannya), kerap dibuat kelabakan. Bagi Vino, ia tak perlu uluran tangan orang lain. Makanya terasa janggal ketika si protagonis, biarpun sambil ogah-ogahan, mau menghadiri pemutaran film pendek buatan teman lamanya, Andi (Sadha Triyudha), alih-alih menerima tawaran pekerjaan dari manajernya, Hasto (Emil Kusumo). Sebuah inkonsistensi penokohan dalam naskah buatan Ernest.
Sampai tiba-tiba ia kehilangan kemampuan berakting, tepat sebelum produksi proyek besar yang membawanya memerankan Sudibyo (Arswendy Bening Swara), mantan Presiden Indonesia, bersama Sheila (Sheila Dara) si spesialis melodrama selaku partner. Meski tampil singkat, Sheila Dara tetap memikat.
Tidak sulit menebak jika peristiwa di luar nalar itu terjadi akibat Vino sudah lupa daratan. Dahulu ia berakting karena ingin bertransformasi menjadi individu berbeda, supaya dapat kabur sejenak dari kemonotonan hidup. Tapi Vino kabur terlampau jauh sehingga tersesat. Sayangnya nyaris tiada upaya dicurahkan untuk menyoroti proses Vino menyiasati keburukan aktingnya, yang mana potensial melahirkan momen-momen unik.
Semakin terasa bahwa Lupa Daratan berambisi mengangkat pokok pembicaraan sebanyak mungkin, di saat problematika yang Ernest paling ingin bahas adalah perihal keluarga. Diperkenalkanlah kita pada Iksan (Agus Kuncoro), kakak Vino yang terlupakan, walaupun dulu mati-matian menyokong sang adik sebelum kesuksesan menghampiri.
Agus Kuncoro tampil hebat. Guratan ekspresi yang bisa memancing tangis penonton, kepiawaiannya menyampaikan barisan kalimat sarat petuah, pula tutur katanya yang kaya akan campur aduk emosi, semuanya hebat. Apa yang tidak hebat adalah teknik kilas balik yang Lupa Daratan pakai untuk mengeksplorasi hubungan masa lalu Vino dan Iksan. Kemunculannya selalu (ingat, tidak hanya "kadang" atau "sering" melainkan "selalu") kasar, terkesan acak, bak baru dipikirkan belakangan oleh sang penulis, kemudian dipaksa masuk secara asal.
"Kacau" merupakan kata yang paling tepat mendeskripsikan Lupa Daratan. Tatkala "anak-anaknya" di Imajinari konsisten menelurkan humor yang semakin tajam, Ernest malah masih berkutat dalam banyolan tak kreatif yang sudah terlampau familiar. Belum lagi selipan "cerita moralitas" mengenai rokok. Apabila Sore: Istri dari Masa Depan jeli memposisikan isu serupa sebagai keping penting narasinya, Ernest sebatas menjadikannya bagai iklan layanan masyarakat terselubung.
(Netflix)


Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar