Saya termasuk orang yang terkejut saat judul film ini menutup daftar nominasi Best Picture untuk Oscar tahun ini. Awalnya film ini adalah proyek yang amat menjanjikan dan bisa dibilang "Oscar banget" melihat dari segala aspeknya. Cerita berbasis dari tragedi 9/11 yang tentunya punya banyak sisi drama yang bisa dieksplorasi. Lalu di kursi sutradara ada nama Stephen Daldry yang punya magnet kuat bagi para juri Oscar. Hal itu terlihat dari catatan yang ia miliki dimana dari ketiga film yang telah ia buat (Billy Elliot, The Hours & The Reader) ketiganya selalu menghasilkan nominasi Best Director baginya meski belum ada satupun yang berhasil ia menangkan. Sedangkan dari ketiga film tersebut, dua diantaranya (The Hours dan The Reader) juga mendapatkan nominasi Best Picture. Extremely Loud & Incredibly Close juga punya beberapa nama besar jaminan mutu seperti Tom Hanks, Sandra Bullock, Viola Davis dan Max von Sydow. Tapi ternyata film ini mendapat tanggapan yang tidak terlalu baik dari para kritikus. Jika menilik di web Rotten Tomatoes, film ini hanya mendapat nilai 47% yang jelas termasuk rendah untuk ukuran nominator Best Picture.
Sempat tersiar sentilan bahwa film ini masuk nominasi hanya karena faktor Stephen Daldry yang karya-karyanya disukai para juri Oscar. Jadi pertanyaan saya sebelum menonton film ini adalah "apa itu benar atau sebenarnya film ini layak jadi nominasi tapi terlalu underrated?" Dibuka dengan sebuah adegan yang cukup indah bagi saya, film ini nantinya akan mengajak penonton mengikuti kehidupan bocah bernama Oskar Schell (Thomas Horn) yang pasca tragedi 9/11 harus kehilangan ayahnya (Tom Hanks) yang menjadi salah satu korban tewas dalam peristiwa tersebut. Oskar sendiri menghadapi hal tersebut dengan caranya sendiri yang unik mengingat ia adalah penderita asperger. Setahun setelah kematian sang ayah yang ia sebut sebagai "the worst day", Oskar menemukan sebuah kunci di lemari pakaian milik ayahnya. Merasa itu adalah sebuah peninggalan ayahnya, Oskar berusaha mencari orang yang punya pasangan/gembok dari kunci tersebut meski itu artinya ia harus menjelajahi kota New York tanpa sepengetahuan ibunya (Sandra Bullock). Dalam pencariannya tersebut ia juga bertemu dengan pria tua ( Max von Sydow) yang tidak pernah berbicara yang menyewa kamar di apartemen milik nenek Oskar. Berhasilkah Oskar mencari "hal" yang perlu ia temukan?
EL&IC sejauh yang bisa saya tangkap adalah mengenai sebuah pencarian. Dalam pengemasannya, film ini berusaha menampilkan kisah yang jelas-jelas dibuat dengan harapan membuat penontonnya tersentuh tapi juga mampu menginspirasi dengan melihat perjuangan Oskar. Tapi sangat disayangkan film ini berlalu begitu saja tanpa sanggup membuat terharu apalagi menginspirasi. Untuk membuat film yang mengharukan lebih mudah daripada membuat film yang menginspirasi. Untuk menguras air mata penonton, tinggal sajikan film dengan karakter yang punya kisah hidup menyedihkan, sajikan momen-momen menyedihkan dengan sedikit dilebihkan, maka muncul sebuah film yang sedih atau disebut tearjerker. Tapi Stephen Daldry nampaknya enggan membuat film ini jadi melodrama, tapi juga berusaha membuatnya menginspirasi. Tapi hasil akhirnya justru nanggung di kedua sisi. Mengurangi adegan penguras air mata yang sebenarnya berpotensi muncul di beberapa bagian, EL&IC tidak mampu terasa mengharukan.
Sayangnya film ini juga gagal menginspirasi. Perjuangan Oskar memang terasa istimewa tapi tidak sampai menyentuh perasaan saya. Toh yang kita lihat disini hanyalah Oskar yang tiap hari pergi berkeliling mencari seorang bernama belakang "Black" dan perjalanannya tidak menimbulkan bekas dan hanya sambil lalu. Terlalu banyak orang yang ia temui adalah permasalahan film ini. Saya membayangkan andaikan film ini hanya mengisahkan Oskar bertemu dengan beberapa orang saja yang ternyata orang-orang tersebut juga memiliki permasalahan tersendiri dalam hidup mereka dan pada akhirnya pertemuan mereka dengan Oskar mampu membuat hidup mereka lebih baik dan juga sebaliknya. Jika EL&IC berjalan dengan pola seperti itu saya rasa kisahnya akan jauh lebih menyentuh. Dengan pattern seperti itu maka tokoh-tokoh yang ada bisa lebih dimaksimalkan seperti tokoh yang diperankan Viola Davis yang sebenarnya punya peran tidak kecil tapi disini justru punya screen time yang sedikit.
Toh meski kurang maksimal saya masih bisa menikmati film ini dan ada beberapa bagian yang menarik disimak hanya saja adegan-adegan tersebut tidak sampai membuat saya terenyuh. Salah satu contoh adalah saat Oskar memperdengarkan isi pesan dari ayahnya kepada Renter. Adegan itu berpotensi jadi adegan yang mengiris, apalagi saat itu identitas sang Renter mulai menemui titik terang, tapi sekali lagi pengemasannya kurang maksimal. Masih banyak lagi adegan yang berpotensi besar tapi digarap dengan terlalu biasa dan tanggung sehingga tidak berhasil memancing emosi penonton. Sama seperti film ini secara keseluruhan yang sebenarnya punya berbagai potensi yang lengkap dari semua aspek tapi hasil akhirnya biasa saja.
Bicara soal karakter, sebenarnya masing-masing karakter punya faktor yang bisa memancing para pemainnya mengeluarkan akting terbaik mereka, hanya saja yang jadi permasalahan adalah screen time dan porsi kemunculan mereka. Oskar adalah sosok yang menarik. Mungkin banyak yang berkata ia sangat menyebalkan, tapi toh Oskar adalah penderita asperger yang tengah mengalami kehilangan mendalam. Anak asperger sulit dekat dengan seseorang dan Oskar hanya dekat dengan sang ayah. Lalu saat dia kehilangan ayahnya tentu kesedihan yang ia alami luar biasa. Hanya satu yang mengganjal bagi saya yaitu pada karakter Oskar yang terasa sering terlalu mudah berkomunikasi dengan orang asing meski memang caranya berkomunikasi tidaklah terlalu normal, tapi saya rasa bagi penderita asperger dia masih bagus dalam sosialisasi. Akting Thomas Horn sendiri amat meyakinkan disini, dan mampu menunjukkan perasaan seorang Oskar dengan baik. Lihatlah perbedaan akting Thomas dengan aktor cilik lain yang mendapat peran bocah menyebalkan, terasa jauh bedanya.
Karakter lain sayangnya punya porsi yang kurang. Max von Sydow adalah yang porsinya paling mendekati Oskar. Tanpa dialog dia tampil dengan bagus meski saya rasa tidaklah terlalu spesial. Konklusi untuk karakternya juga kurang memuaskan dan terlalu terburu-buru. Viola Davis sangat disayangkan muncul sebentar padahal karakternya masih bisa ditambah kemunculannya. Toh dia kembali membuktikan bahwa dengan screen time sedikit dia mampu tampil baik. Tom Hanks tidak kalah baik, meski jangkauan emosi yang harus ia munculkan tidak lebar, tapi dia mampu mendefinisikan seorang ayah yang berusaha membimbing anaknya yang menderita asperger dengan baik. Sandra Bullock juga tampil dengan salah satu performa terbaiknya sepanjang yang pernah saya tonton, tapi sekali lagi faktor karakterisasi dan jatah muncul yang kurang menjadi masalah. Sosok ibu yang ia mainkan terasa terlalu pasif dalam film ini padahal jelas bahwa ia mencintai anaknya.
Extermely Loud & Incredibly Close tidak hanya mengenai pencarian tapi juga mengenai serba tanggung dan kegagalan memaksimalkan modal yang begitu banyak dan potensial. Juga merupakan film yang gagal mengeksekusi semua aspeknya dengan baik. Mungkin ini juga disebabkan oleh penulis naskah Eric Roth yang kurang baik dalam mengadaptasi novel berjudul sama yang jadi basis film ini. Apapun itu meski masih bisa dinikmati amat disayangkan film ini tidak maksimal. Bahkan pada akhirnya saya menganggap film ini adalah nominator Best Picture dengan kualitas paling buruk pada Oscar tahun lalu. Bagi saya film-film macam The Girl With the Dragon Tattoo, The Ides of March ataupun Drive masih jauh lebih baik dan pantas sebagai nominasi. Benarkah film ini masuk nominasi hanya karena nama Stephen Daldry? Mungkin.
RATING:
mong kosong!! Ini film drama terburuk yang pernah saya tonton! Ini hanya kisah anak manja!! Ga kliatan kl dia anak spesial need, tapi cuma anak manja yg cerdas tp penakut, ga sopan, kurang ajar, parah!!! Cm buang-buang waktu nonton film ginian. Emosinya berantakan, ga dapet sama sekali! Endingnya worse!! Cuma ngajarin anak main ayunan??!! Bullshit!
BalasHapus