Jika The Artist tidak dikategorikan sebagai 100% film bisu maka Metropolis garapan sutradara Fritz Lang ini adalah film bisu pertama yang saya tonton dari awal hingga akhir. Dulu saya sempat menonton Nosferatu tapi tidak secara utuh. Jika Nosferatu bisa ditemukan dengan mudah di YouTube, tidak begitu dengan Metropolis yang meski sudah mengalami restorasi pada 2008 lalu tetap tidak akan bisa kita lihat lagi versi aslinya secara lengkap. Versi asli film ini mempunyai durasi hingga 153 menit, sedangkan yang saya tonton adalah versi yang "hanya" 117 menit. Sedangkan jika anda mencari di YouTube hanya akan ada yang berdurasi 60an menit kalau saya tidak salah. Saat ini Metropolis tidak hanya menjadi film langka namun juga dianggap merupakan salah satu film bisu terbaik yang pernah ada. Bahkan tidak hanya diantara film-film bisu saja Metropolis dianggap sebagai salah satu yang terbaik. Konsep tentang masa depan yang begitu "berani" (untuk sebuah film yang dibuat 85 tahun yang lalu) itulah yang membuat Metropolis disebut sebagai salah satu yang terbaik.
Kisahnya ber-setting di masa dystopia dimana pada saat itu jarak antara si kaya dan si miskin sudah sangat jauh. Disaat Joh Fredersen (Alfred Abel) yang merupakan pemilik kota Metropolis tinggal disebuah gedung super tinggi yang penuh dengan kemewahan dan taman yang amat indah, para buruh yang dari pagi hingga malam bekerja keras baginya tinggal jauh dibawah tanah dalam kondisi yang sangat sederhana. Disaat yang dipikirkan Fredersen hanyalah keuntungan pribadinya, sang anak, Freder (Gustav Frohlich) menyaksikan pemandangan mengerikan di pabrik milik sang ayah dimana para buruh bisa saja terbunuh tiap saat. Hal itulah yang membuat Freder tergerak dan akhirnya ikut membaur bersama para buruh. Disanalah ia bertemu dengan Maria (Brigitte Helm) yang menjadi penggerak para buruh dalam menghadapi rezim Fredersen tapi tanpa harus menggunakan kekerasan. Tidak butuh waktu lama bagi Freder untuk jatuh cinta pada Maria begitu juga sebaliknya. Tapi disisi lain sang ayah bersama seorang ilmuwan gila bernama Rotwang (Rudolf Klein-Rogge) punya rencana lain untuk membuat sebuah robot tiruan yang amat identik dengan Maria dengan segala kemampuan seperti manusia umumnya.
Sangat menarik melihat bagaimana sineas di tahun 20an memaparkan gambaran masa depan yang ada dalam pikirannya. Yang cukup menarik adalah gambaran masa depan yang ada disini ternyata tidak jauh beda dengan apa yang sudah ada sekarang ini semisal gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, monorail, hingga robot yang nampak seperti manusia meski pada kenyataannya robot zaman sekarang belum secanggih seperti yang ada di Metropolis tapi arah kesana sudah ada. Maka dari itu bagi kita yang melihat film ini sekarang mungkin tidak akan terlalu terasa nuansa future dalam film ini karena memang kecanggihan yang ditampilkan di film ini sudah banyak yang bisa kita temui sekarang. Tapi bagi penonton jaman dulu hal ini tentu saja terlihat begitu unik sekaligus aneh. Rasa aneh tersebut terlihat dari fakta bahwa film ini tidak terlalu sukses secara komersil pada awal perilisannya karena dianggap terlalu aneh dan mungkin rumit. Hal yang wajar mengingat saat itu adalah dekade-dekade awal perfilman dan Fritz Lang sudah mengusung konsep sci-fi yang rumit untuk ukuran saat itu.
Coba bandingkan dengan beberapa film George Melies yang sering menampilkan sci-fi dalam film bisu miliknya. Fritz Lang mengedepankan unsur realistis dan sindiran sosial yang kuat sedangkan film-film Melies meski mengusung sci-fi tapi juga terdapat unsur fantasi yang kental dan membuat film-filmnya lebih ringan untuk dicerna. Selain terasa realistis, konsep masa depan yang diusung dalam Metropolis juga memberikan dampak yang cukup besar pada genre sci-fi di kemudian hari. Beberapa diantaranya adalah Ridley Scott yang dalam membuat Blade Runner cukup terinspirasi dari kisah film ini dan tentunya desain karakter C-3PO dalam Star Wars milik Lucas yang sangat mirip dengan desain robot milik Rotwang disini. Singkat kata jika bicara masalah visual dan konsep sci-fi yang diusung maka Metropolis adalah juaranya Sulit dipercaya pada masa dimana usia dunia perfilman masih belum lama sudah ada yang mengusung konsep sci-fi seperti ini. Bujet raksasa yang digelontorkan untuk masa itu ($15 Juta) pada akhirnya memang terasa dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Kisahnya cukup menarik diikuti meskipun tanpa dialog dan tentu saja kualitas editingnya masih sangat sederhana. Beberapa hal dimasukkan kedalam kisah film ini. Yang paling jadi sorotan utama dan sebagai tema utama adalah mengenai bagaimana kapitalisme yang makin menggila dimana sang pemimpin kekuasaan sudah tidak mempedulikan apapun selain kepentingan pribadinya. Saat itulah rakyat kecil seolah menjadi boneka bagi sang penguasa seperti terlihat di adegan awal saat para pekerja berganti shift dimana bahasa tubuh mreka lebih tampak seperti robot daripada manusia. Lalu ada kisah tentang bagaimana sebuah revolusi yang dijalankan dengan hanya kekerasan akibat rasa marah tak terkendali tidak akan berakhir baik walaupun mungkin kekuasaan yang coba digulingkan berhasil jatuh pada revolusi tersebut tapi pasti akan ada banyak dampak negatif yang timbul karenanya. Selain kedua hal yang bisa dibilang cukup gamblang tersebut masih ada juga beberapa hal tersirat yang penafsirannya tergantung pada masing-masing penonton. Ada teman saya yang mengaitkan Metropolis dengan pergerakan dan simbol-simbol Illuminati yang memang cukup terlihat baik itu gamblang ataupun tersirat. Saya rasa penafsiran seperti itupun sah-sah saja. Saya sendiri lebih suka melihat film ini sebagai kisah tentang bagaimana kapitalisme memperbudak manusia baik itu penguasa ataupun rakyatnya serta bagaimana sang penguasa tersebut menebar kepalsuan-kepalsuan kepada rakyat.
Pada akhirnya sangat disayangkan ada beberapa bagian film yang tetap tidak bisa ditemukan karena sangat terasa bahwa ada missing reel dalam film ini yang cukup mempengaruhi alurnya dan kadang terasa agak membingungkan dengan adanya bagian yang hilang tersebut. Menonton film ini kita juga harus sadar bahwa Metropolis adalah film tahun 1927 yang tentunya masih berisi berbagai kesederhanaan untuk aspek teknis, penggarapan adegan dan metode akting para pemainnya. Sering terasa adegan yang jika dilihat dari kacamata film masa kini adalah adegan yang penuh kebodohan dan punya banyak lubang atau plot hole. Sedangkan untuk akting para pemainnya mungkin akan terlihat agak annoying karena memang untuk film bisu apra aktornya lebih dituntut melakukan gestur-gestur yang besar dan ekspresi yang cukup berlebihan juga. Sekali lagi harus diingat Metropolis adalah film tahun 1927 dan masih berupa film bisu. Jika anda menontonnya denagn pola pikir seperti itu maka yang anda akan dapatkan adalah sebuah suguhan sci-fi yang penuh konsep luar biasa dan memuaskan. Mungkin satu hal yang agak mengganggu adalah mengenai sosok Maria. Siapakah dia hingga kata-katanya begitu didengar? Saya ragu dia adalah murni pemimpin pemberontakan. Apakah ia merupakan simbol bagi seorang prophet?
RATING:
Masbro admin gmn caranya sampeyan bisa dpt film sejadul ini?
BalasHapusKebetulan saya dapet di warnet, buat downloadnya udah ada beberapa kok tinggal googling. Malah kalau nggak salah di youtube udah ada beberapa yang ngeupload juga :)
Hapuskalau filmnya bisu...
BalasHapusnggak perlu pake sub indo donk
perlu' soalnya ada beberapa teks yang di selipkan dalam film sebagai pengganti beberapa adegan yang hilang
BalasHapus