THE PHOTOGRAPH (2007)
Mungkin sekarang nama Nan Achnas sudah asing di telinga penonton film Indonesia, karena selain sudah sekitar lima tahun tidak membuat film, film-film buatan Nan Achnas selama ini adalah film yang bisa dibilang merupakan sebuah art-house yang jarang disukai penonton awam. Nan Achnas yang terlahir di Sinagpura mengawali karir sutradaranya dengan menyutradarai Kuldesak bersama Riri Riza, Mira Lesmana dan Rizal Mantovani. Tiga tahun kemudian tepatnya pada 2001 dia menyutradarai Pasir Berbisik yang sukses di berbagai festival film internasional. Setelah membuat Bendera pada 2003 dia absen selama empat tahun sebelum pada 2007 dia merilis The Photograph yang sampai sekarang merupakan film terakhirnya. Selain dibintangi oleh beberapa aktor dan aktris lokal macam Shanty, Lukman Sardi dan Indy Barens, film ini juga memasang aktor Singapura Lim Kay Tong dalam jajaran pemeran utamanya. Lim Kay Tong sendiri sudah beebrapa kali bermain di film Hollywood meski belum mendapat peran besar. Diantaranya adalah Brokedown Palace (dibintangi Claire Danes & Kate Beckinsale) dan It Could Happen to You (dibintangi Nic Cage dan Bridget Fonda).
The Photograph berpusat pada kehidupan dua orang tokoh utamanya, yaitu Sita (Shanty) dan Pak Johan (Lim Kay Tong). Sita yang bekerja sebagai penyanyi di sebuah karaoke bar adalah wanita yang harus menanggung beban ekonomi yang berat. Dengan penghasilan tidak seberapa ia harus rutin mengirim uang kepada anaknya dan neneknya yang sedang sakit di kampung. Hal itu membuat Sita harus bekerja ekstra keras bahkan sampai harus rela menjual tubuhnya sebagai pekerja seks. Hal itu dilakukan akibat hutang yang ia punya kepada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota. Suatu hari Sita terpaksa pindah dari rumah saudaranya, Rosi (Indy Barens) dimana selama ini ia menumpang tinggal disana. Sita akhirnya pindah mengontrak sebuah kamar kecil dan kotor di loteng milik Pak Johan, seorang fotografer keturunan Tionghoa yang sudah tua dan sering dianggap aneh oleh masyarakat sekitar. Awalnya Sita juga melihat Pak Johan sebagai sosok yang aneh, begitu pula Pak Johan yang dingin terhadap Sita. Tapi perlahan keduanya mulai akrab dan saling mengenal. Tidak hanya itu mereka berdua mulai saling mempelajari kehidupan dari satu sama lain. Sita juga akhirnya berkeinginan membantu Pak Johan memenuhi tiga keinginan yang ingin ia capai sebelum meninggal dunia.
The Photograph pada dasarnya adalah kisah tentang Sita dan Pak Johan. Jika dilihat lebih dalam maka ini adalah kisah dua hal berbeda jauh yang tiba-tiba harus dipersatukan dan berbenturan. Dua hal tersebut tergambar pada diri Sita dan Pak Johan. Sita adalah wanita muda, penuh semangat hidup dan menjalani hidupnya dengan berorientasi untuk memandang masa depan. Sedangkan Pak Johan adalah pria tua yang dingin, pemurung dan menjalani hidupnya dengan terus menengok kembali ke masa lalu. Dari situlah konflik antara keduanya dimulai saat kedua hal yang bertolak belakang tersebut saling bersinggungan. Kemudian kita akan diajak mengikuti indahnya perjalanan antara kedua hal tersebut dimana keduanya perlahan tapi pasti mulai saling memahami satu sama lain. Kehidupan memang tidak akan pernah terlepas dari masa lalu dan masa depan, tinggal bagaimana cara kita menyeimbangkan kedua hal tersebut. Pak Johan yang terlalu larut dalam masa lalu, atau istilahnya "gagal move on" menjalani hidupnya dengan murung dan penuh penyesalan. Sedangkan Sita yang terlalu berorientasi pada masa depan tanpa memikirkan konsekuensi lebih jauh juga terlibat dalam masalahnya sendiri. Kedua kisah tersebut saling beriringan dengan indah sampai kita diperlihatkan pada sebuah fakta mengejutkan sekaligus menyedihkan tentang masa lalu yang terjadi.
Diluar kisahnya yang mengalun dengan indah meski terasa perlahan dan mungkin agak berat bagi penonton awam, The Photograph sebenarnya juga punya masalah atau kekurangan yang cukup mengganggu berkaitan dengan storytelling. Cara bercerita film ini terasa tidak konsisten, dalam artian terkadang terasa rapih dan indah namun kadang-kadang terlihat terburu-buru, dipaksakan dan membingungkan akibat ceritanya yang beberapa kali tiba-tiba melompat. Penonton bisa jadi kebingungan dengan hal tersebut seperti misalnya saat Pak Johan pingsan dan tiba-tiba adegan berpindah ke sebuah kuil atau saat Suroso sedang mengejar Sita dan tiba-tiba saja adegan berpindah ke rel kereta api dan sesaat kemudian adegan selesai. Terasa terburu-buru dan tidak rapih. Tapi diluar itu The Photograph tetap bercerita dengan cukup baik dan dibalut dengan visualisasi yang menawan. Beberapa gambar terlihat begitu indah meski hanya menampilkan suasana sederhana seperti rangkaian foto-foto, adegan memotret dan masih banyak lagi. Layaknya sebua foto yang mampu menangkap gambar-gambar kehidupan dan keindahan dunia, The Photograph juga mampu menyajikan semua itu dengan indah. Film ini juga seolah menggambarkan bahwa sebuah foto bisa begitu bermakna karena bisa membuat sebuah memori selalu hidup walaupun objek dalam foto tersebut telah mati.
Kekuatan lain film ini juga terletak pada kualitas akting dua pemainnya. Shanty mampu memikul beban sebagai seorang lead woman dalam film ini. Tidak hanya menyajikan akting yang baik, Shanty juga berhasil membuat tokoh Sita sebagai karakter yang lovable. Sangat mudah bagi penonton untuk menyukai Sita dan ikut simpati atas nasib buruk yang menimpanya. Beberapa kali tokohnya juga menghadirkan celotehan sederhana yang bisa memancing senyuman bahkan tawa penonton atas tingkah lakuknya. Singkatnya, Shanty sebagai Sita adalah karakter wanita yang sangat mudah dicintai oleh penonton. Sedangkan Lim Kay Tong sebagai Pak Johan membuktikan bahwa memilih seorang aktor luar negeri dalam film lokal tidak selalu hanya untuk memancing sensasi tapi juga karena kebutuhan peran. Terlihat dari begitu cocoknya ia menjadi Pak Johan yang dingin dan menyimpan beban masa lalu yang misterius. Meski begitu, untuk masalah pelafalan dialog dari Pak Johan memang sangat mengganggu. Sering sekali saya tidak paham apa yang ia katakan karena logatnya yang memang asing dan pelafalannya yang pelan sekaligus menggumam. Memang sih sesuai dengan karakternya tapi tetap saja terasa mengganggu. Selain keduanya kita juga akan menemukan beberapa cameo yang punya karakter yang menarik dan lucu.Tentu saja yang paling mengejutkan dan mencuri perhatian adalah Nicholas Saputra. Overall film ini adalah sebuah sajian yang indah namun sayang masih kurang bisa menjerat penonton pada keseluruhan kisahnya walaupun bisa membuat kita bersimpati pada tokoh-tokohnya.
RATING:
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar