Film
pertama The Purge jelas merupakan
kesuksesan ditinjau dari segi finansial, dimana film tersebut berhasil
mendapatkan $89 juta dollar dari bujetnya yang hanya $3 dollar. Meski mendapat
banyak respon negatif dari kritikus, tidak butuh waktu lama bagi Universal
Pictures untuk membuat sekuelnya. The
Purge: Anarchy pun dirilis setahun setelah film pertamanya dan masih
disutradarai serta ditulis naskahnya oleh James DeMonaco. Sebuah pekerjaan
besar bagi DeMonaco untuk menambal banyak keburukan film pertama, khususnya pada
kegagalannya untuk membuat film yang sama menarik dengan premisnya. The Purge memang punya ide dasar gila
yang menarik sebelum akhirnya berakhir menjadi sebuah film home invasion yang membosankan. DeMonaco pun memutuskan membuat Anarchy lebih besar dari fim pertamanya,
sebuah formula standar dalam sekuel tapi dalam kasusk The Purge hal tersebut memang perlu dilakukan untuk memaksimalkan
potensi dari premisnya.
The Purge: Anarchy akan berfokus pada jumlah karakter
utama yang lebih banyak dimana mereka semua adalah muka-muka baru yang tidak
muncul di film pertama. Kita akan dibawa mengikuti usaha bertahan hidup dari
lima orang yang terjebak diluar saat Purge
berlangsung. Eva (Carmen Ejogo) dan putrinya Cali (Zoe Soul) berada diluar
setelah secara mendadak rumah mereka diserbu oleh pasukan bersenjata milik pria
misterius bernama Big Daddy (Jack Conley) sebelum akhirnya diselamatkan oleh
Leo Barnes (Frank Grillo). Leo sendiri sebenarnya tengah berada dalam
perjalanan untuk melakukan “pembersihan” tapi rasa iba membuatnya memilih
menyelamatkan Eva dan Cali. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan Shane
(Zach Gilford) dan mantan pacarnya, Liz (Kiele Sanchez) yang terjebak diluar
setelah mobil mereka dirusak oleh sekelompok orang bertopeng. Bersama-sama,
mereka berlima harus bertahan hidup melewati malam disaat pasukan bersenjata
milik Big Daddy dan pria-pria bertopeng misterius yang mengejar Shane dan Liz
sama-sama memburu mereka semua.
Pertanyaan
pertama yang hadir setelah menonton sebuah sekuel tentu saja “apa lebih bagus
dari film sebelumya?” Untuk The Purge:
Anarchy jawabannya adalah “ya”. Film ini memang lebih bagus dari film
pertamanya. Dengan konsep yang ambisius, menjadikan The Purge sebagai home
invasion berskala kecil memang menyia-nyiakan potensi, karena itu keputusan
DeMonaco memperbasar skalanya disini bisa dibilang tepat. Unsur horror dan thriller yang kental di film
pertama diturunkan, dan disuntikkanlah dna film aksi disini. Hasilnya memang
membuat Anarchy lebih terasa sebagai
action berbumbu thriller daripada horror. Bagi yang berharap horror mungkin
bakal kecewa tapi harus diakui perubahan tersebut membuat film ini jauh lebih
seru dengan tempo yang lebih cepat dan terjaga daripada pendahulunya. Masih
banyak momen yang digarap kurang maksimal, tapi Anarchy tidak terasa membosankan seperti film pertamanya.
Sebagai
usaha mencapai ambisinya yang besar, DeMonaco tidak hanya memperbesar skala
tapi juga membuat ceritanya lebih kompleks dengan suntikkan subplot tentang
para revolusioner, konspirasi pemerintahan, serta kritikan terhadap kaum-kaum
elit yang menindas rakyat kecil. Kritik sosial terhadap orang-orang kaya memang
membuat kisahnya jadi lebih menarik dan tidak sehampa film pertamanya, tapi
tetap saja ambisi besar DeMonaco untuk membuat thriller yang penuh kisah
kompleks dan cerdas masih belum berhasil. Kisah para revolusioner belum terlalu
digali dan saya cukup yakin kisah itu sengaja disimpan untuk film ketiga yang
rencanaya bakal rilis tahun depan. The
Purge: Anarchy juga masih terlalu kecil untuk memenuhi ambisi DeMonaco
walau skalanya sudah jauh lebih besar dibanding film pertama. Kita masih buta
tentang sosok new founding father, kisah
para revolusioner dan lain sebagainya. Anarchy
juga sudah dikemas lebih brutal namun belum segila ide dasarnya.
Biar
bagaimanapun, franchise The Purge
memang dibuat untuk menarik sebanyak mungkin orang, jadi kegilaan yang hadir
pun tidak akan bebas berkeliaran. Salah satu yang masih amat saya sayangkan
adalah penggamabaran “malam pembersihan” yang masih terlampau “aman”. Saat
mendengar tentang sebuah malam saat kriminalitas dibebaskan di kepala saya
terbayang sebuah perang besar yang brutal di seluruh penjuru kota. Akan ada pembunuhan
dimana-mana, perampokan, penculikan, sampai pemerkosaan. Tapi bahkan film
keduanya yang bertajuk “Anarchy” masih belum menggambarkan segala kegilaan itu,
dan anarki yang muncul masih amat minim.
Kekurangan
besar lainnya dari film ini adalah karakter. Tentu saja saya tidak berharap
mendapat karakter yang tereksplorasi mendalam pada film seperti ini, tapi
mayoritas karakter utamanya benar-benar menyebalkan. Dari lima tokoh utama,
kita punya Eva, Cali dan Shane sebagai sosok yang saya harap dibunuh saja.
Mereka adalah orang-orang menyebalkan, selalu merengek, egois, tidak tahu
terima kasih, dan sangat cerewet. Liz tidak menyebalkan lebih karena karakternya
tidak banyak berbuat apapun. Hal itu menyisakan Leo Barnes-nya Frank Grilo
sebagai satu-satunya karakter yang menarik diikuti. Karakternya memang standar one-man army, tapi sosok Frank Grilo
yang keras, penuh charisma dan punya wajah tidak “sebaik” action heroes pada umumnya membuat Leo menjadi karakter yang cukup
keren. Overall, Anarchy memang
peningkatan dibanding film pertama. Jauh lebih menghibur, dan lebih mendekati
keambisiusan premisnya meski masih belum bisa memenuhi semua potensi yang ada.
Dengan topeng, slow-motion dan gimmick lainnya DeMonaco tampak berusaha
membuat filmnya terasa keren dan stylish
tapi ironisnya, momen dengan gaya dan aspek visual paling keren justru closing credit-nya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar