Perilisan "Midnight Show" merupakan bukti kuat bagaimana ganasnya gunting sensor LSF (Lembaga Sensor Film) memberi pengaruh siginifikan pada kualitas sebuah film. Sudah sering pemotongan adegan oleh LSF terasa mengganggu, tapi baru kali ini saya merasakan efek begitu besar, karena bukan sekedar koherensi suatu momen jadi terpotong, melainkan kekuatan film secara menyeluruh. Perlu diketahui bahwa film ini mendapat rating 17+ (untuk 17 tahun keatas) karena unsur kekerasan yang tinggi. Tidak mengherankan mengingat ini merupakan debut penyutradaraan Ginanti Rona yang selama ini menjadi langganan Mo Brothers dan Gareth Evans sebagai first assistant director. Bagai murid yang menyerap ilmu dari sang guru, Ginanti berusaha mengemas debutnya ini penuh pertumpahan darah serta pembunuhan sadis.
Filmnya ber-setting di sebuah bioskop yang tengah menghadapi kebangkrutan akibat minimnya penonton. Untuk mengembalikan minat masyarakat, sang pemilik bioskop (Rony P. Tjandra) memutuskan untuk memutar film kontroversial berjudul "Bocah" untuk pertunjukkan midnight. Film itu sendiri diadaptasi dari kisah nyata mengenai anak berumur 12 tahun yang membantai seluruh anggota keluarganya. Awalnya malam berjalan seperti biasa dengan ketiadaan penonton dan interaksi antara dua rekan kerja, Juna (Gandhi Fernando) dan Naya (Acha Septriasa). Namun ketika bioskop hendak ditutup, beberapa orang mulai berdatangan yang artinya pertunjukkan midnight dapat dilakukan. Satu yang tidak mereka tahu adalah pertumpahan darah di layar lebar akan jadi kenyataan ketika satu per satu pembantaian berdarah mulai terjadi.
Mudah menilai bahwa "Midnight Show" tak lebih dari suguhan slasher biasa tentang pembunuhan berantai. Hal itu tidaklah buruk, namun "Midnight Show" bukan sekedar slasher, setidaknya dari visi Ginanti Rona dalam mengarahkan departemen artistik. Surprisingly, film ini menghadirkan komparasi dengan Giallo, sebuah sub-genre horor dari Italia yang mengalami puncak popularitas pada era 70-an. Banyak unsur dari giallo bisa ditemukan disini, sebut saja sosok pembunuh bertopeng plus sarung tangan hitam dan bersenjatakan pisau, pemakaian warna cerah (kuning/merah) dalam pencahayaan, kentalnya unsur psikologis berbentuk trauma masa lalu, pemakaian sudut pandang sang pembunuh kala ia beraksi, hingga musik lounge yang membuat horor pertumpahan darah bak suatu keindahan puitis. Ini bukan sekedar gaya, tapi pembuktian kuatnya visi sang sutradara. Dia paham akar dari horor, lalu ia eksplorasi menjadi kebrutalan berbalut aspek teknis kelas satu.
Naskah hasil olahan Husein M. Atmodjo sebenarnya tidak istimewa dengan masih menggunakan pakem usang slasher berisi sempilan latar belakang seadanya, masuk ke kejar-kejaran antara korban dan pembunuh, kehadiran twist, lalu ditutup konklusi cliffhanger demi membuka ruang bagi sekuel. Tapi ingat, ini slasher, dan lagi menjurus kearah giallo. Artinya, alur paling nonsense sekalipun sangat bisa ditoleransi. Karena dalam giallo sendiri terdapat kecenderungan "mengacaukan" plot sebagai representasi gangguan jiwa karakternya (entah korban atau pembunuh). I know, this isn't a wholly giallo movie, especially without the excessive amount of sex, but you got the point, right? Apapun kekurangan dari segi plot, asal kesenangan hasil dari rangkaian pembunuhan bisa diberikan, tandanya film itu berhasil. Dan "Midnight Show" berhasil melakukan itu, membuai saya untuk melupakan kekurangannya. Buktinya, twist yang predictable itu tidak saya duga kedatangannya.
"Midnight Show" turut digunakan sebagai sarana Ginanti Rona dan Husein M. Atmodjo mengekspresikan kecintaan mereka akan bioskop beserta segala isinya sekaligus melontarkan kritik terhadap industri perfilman, baik itu produsen maupun konsumen. Penggunaan setting tahun 1998 pun memiliki nilai lebih, karena bioskop sebagai lokasi bukan seperti yang biasa kita datangi saat ini. Tiker seharga 1.500 rupiah, lollipop 100 rupiah, penggunaan film analog alih-alih digital, dan lain sebagainya. Menyenangkan melihat semua itu. Sayang, beberapa tokoh pendukung dengan sisi menarik masing-masing kurang dieksplorasi keunikannya. Padahal apabila mereka diberi waktu lebih banyak memperlihatkan "jati diri", niscaya bakal tercipta dinamika memikat sebagai penghantar sebelum panggung utama.
Menyoal karakter tentu tak bisa lepas dari akting, dan lewat peran pertamanya dalam film thriller, Acha Septriasa turut membuktikan versatility-nya sebagai seorang aktris. Dalam adegan berisi keseharian, penuturan dialog Acha yang natural membuat apapun yang diucapkan Naya menarik didengar. Tapi kekuatannya mencapai puncak saat dipaksa melakoni adegan penguras emosi. Totalitas mencurahkan emosi tanpa harus berlebihan sehinga situasi yang tengah dihadapi karakternya menjadi believable. Contoh performa itu dapat anda lihat pada bagian akhir trailer film ini. Sesungguhnya selain premis menarik, akting Acha pada sequence penutup trailer itulah alasan utama saya mewajibkan diri menonton "Midnight Show".
Kembali menuju persoalan sensor, gunting asal-asalan LSF sifatnya fatal, karena berujung pada kekurangan besar film dalam intensitas. Imbasnya besar saat "Midnight Show" tak berhasil mencapai klimaks ketegangan. Sebuah momentum tanpa sensor yang mestinya lebih dinamis dan variatif berujung monoton serta dragging. Momen puncak inovatif dipenuhi kegilaan itu seolah berjalan terlalu lama dan kehilangan taji. Bagi penonton berperut lemah mungkin sudah cukup "menyakitkan", tapi untuk pecinta horor yang mencari kegilaan maksimal, adegan klimatiknya datar. Tapi saya tekankan bahwa itu bukan kesalahan filmnya! Saya takkan mengkritisi karena perihal intensitas itu lebih disebabkan sensor asal potong, bukan pengaturan pace lemah atau kekacauan editing. Saya bisa membayangkan betapa menyenangkan "Midnight Show" bila tidak menjadi korban sensor ngawur. Untuk apa rating 17 tahun keatas kalau begitu?! "Midnight Show" is one of the closest thing to giallo ever made by Indonesian filmmaker, which is a great thing.
nonton dimana bang?
BalasHapus