Harus diakui kejayaan film horror Thailand sudah berlalu. Tidak hanya popularitasnya semakin pudar, kualitas yang dihasilkan pun tak sebaik dulu. Kini perfilman Thailand lebih identik dengan komedi-romantis berpangsa pasar remaja atau drama-komedi heartwarming konsumsi semua umur. Maka disaat menebarkan kengerian tidak lagi menciptakan antrian penonton, masih adakah peluang bagi keberhasilan horror Negeri Gajah Putih? Sesungguhnya terdapat jalan tengah untuk diambil, yakni dengan menggabungkannya dengan formula penarik animo terbesar. Tapi romantic comedy dengan overload cuteness nampak tidak mungkin dicampur bersama teror para hantu. Lewat "Senior", sutradara Wisit Sasanatieng berusaha mendobrak kemustahilan tersebut yang sesungguhnya tetaplah berpotensi mengecewakan para pencari straight horror.
"Senior" berfokus pada Adhiti atau lebih sering dipanggil Mon (Jannine Weigel), siswi kelas 12 suatu boarding school. Mon dijauhi teman-temannya karena dianggap aneh akibat sering bicara sendiri. Namun kenyataannya, Mon tengah bicara dengan sesosok hantu. Gadis ini memang punya kemampuan berinteraksi dengan hantu. Meski tidak dapat melihatnya, Mon mampu mencium aroma/hawa yang terpancar untuk mendeteksi keberadaan mereka, disamping bisa bicara secara langsung. Hantu yang belakangan mengikuti Mon punya panggilan Senior (Pongsakorn Tosuwan). Senior dulunya adalah murid di sekolah tersebut sebelum dipugar menjadi boarding school khusus wanita. Selama 30 tahun semenjak kematiannya, Senior berusaha menyelidiki misteri kematian seorang puteri yang kini rumahnya dipakai untuk bangunan sekolah itu. Mengetahui kemampuan Mon, Senior meminta bantuan sang gadis untuk memecahkan kasus tersebut.
Alur film menggunakan pattern kisah investigasi, dimana Mon dan Senior mengunjungi beberapa tempat serta saksi guna mencari fakta akan kasus yang diusut. Naskahnya sendiri tidak cukup kuat menghantarkan investigasi tersebut menjadi paparan menarik. Sebuah misteri akan menyedot atensi jika penonton dibuat penasaran akan jawaban sesungguhnya. "Senior" langsung menyodorkan misteri tanpa menarik minat saya untuk ikut mencari jawaban. Alhasil ketika kejutan yang kuantitasnya cukup banyak mulai diungkap, efek kejut pun tak terasa. Film ini terlalu berusaha keras memberi twist sebanyak mungkin, yang pada akhirnya berujung pada satu pola monoton. Entah berbentuk seperti apa, saya tahu akan muncul twist, yang mana mengurangi intensitas. Beberapa fakta mengenai identitas tokoh pun dipaksakan supaya berkaitan, hingga makin melemahkan narasi.
Masih membicarakan naskah, "Senior" punya konsep unik berisi "aturan" mengenai apa yang tidak dan bisa dilakukan oleh para hantu, seperti "bisakah mereka menyentuh orang hidup?" atau "bisakah mereka menembus tembok?". Pendekatan itu unik tapi bagai dua sisi mata pisau. Seharusnya "rule" tersebut berguna menghindarkan film ini dari plot hole. Jika ada pertanyaan "kenapa Senior tidak mengikuti Mon masuk ke suatu tempat?", maka aturan tadi bisa memberi jawaban. Tercipta kebebasan bagi naskahnya melakukan apapun, karena jika ada ganjalan, cukup beralasan bahwa itu bagian dari aturan. Tapi bahkan dengan kebebasan itu alurnya tetap meninggalkan banyak lubang disaat beberapa kali film ini melanggar aturan yang dibuat sendiri. Ironis ketika penciptaan aturan pula yang akhirnya menciptakan lubang, karena bila muncul "ketidakwajaran", naskahnya tak bisa berkilah dengan statement "hantu bisa melakukan apapun".
CUTENESS OVERLOAD!!!
|
Untungnya kelemahan naskah mampu ditutupi beberapa faktor. Paling mendasar -khususnya bagi penonton pria- berasal dari Jannine Weigel. Akting Jannine biasa saja, bahkan untuk beberapa scene terlalu datar cenderung menggelikan. But hey, isn't she the cutest thing? Wisit Sasanatieng paham betul pesona paras aktrisnya, maka ia sering menempatkan kamera secara close-up, sambil mengarahkan Jannine untuk bertingkah se-menggemaskan mungkin meski hanya lewat hal kecil seperti menjulurkan lidah atau sekedar diam. Saya dibuat tidak peduli pada inkonsistensi karakter Mon yang digambarkan pemurung tapi beberapa kali bertingkah cheerful. Inilah cuteness factor yang dimiliki "Senior" agar lebih komersil. Berhasil? Untuk para penonton pria sudah pasti. Untuk wanita saya tidak bisa berkomentar tentang "seberapa ganteng Pongsakorn Tosuwan?". Bukan porsi saya.
Hubungan antara Mon dan Senior punya potensi memberi romansa hangat, sayangnya ambisi dalam narasinya menghambat itu. Tidak hanya misteri pembunuhan dan cinta dua dunia, "Senior" masih dibumbui konflik persahabatan serta bullying di sekolah. Ketiga poin plot itu saling mengisi secara bergantian tapi tidak ada satupun yang berakhir maksimal. Masing-masing hanya dipaparkan seadanya, tanpa pendalaman berarti guna menjalin ikatan emosional dengan penonton. Padahal jika dimaksimalkan, baik persahabatan atau percintaannya bukan saja berpotensi memberi kehangatan termasuk berkat selipan komedi menggelitik, tapi juga emosional khususnya meihat konklusi masing-masing. Meski tidak mendalam, setidaknya saya masih dibuat tersenyum menyaksikan interaksi antar-karakter.
Kelebihan terbesar "Senior" (selain kecantikan Jannine) terletak pada visi pengadeganan Wisit Sasanatieng dalam mengemas gambar-gambar memikat yang turut diperkuat sentuhan musik ala choir Gereja. Keindahan audio-visual tersebut menjadikan pengalaman menonton film ini layaknya melihat suatu mimpi sureal penuh romantika yang mengalun dalam gerak lambat indah. Belum lagi ditambah beberapa voice over dari karakter Mon. Kalimat-kalimatnya puitis, tapi tidak berlebihan dan punya porsi secukupnya. Andai dihadirkan dalam bentuk novel, rasanya "Senior" akan menjadi bacaan indah. Beberapa sequence animasi yang diselipkan turut menambah daya tarik visualnya.
Lalu bagaimana dengan horror-nya? Diluar dugaan porsinya tidak banyak, tidak pula terlalu mengerikan. Hanya saja (lagi-lagi) insting visual Wisit Sasanatieng menjadikan momen penampakannya tidak hambar. Desain para hantu tidak selalu mengerikan, tapi cenderung aneh. Keanehan itu justru jadi kelebihan, karena setelah terbiasa dengan hantu wanita berambut panjang yang kerap menghiasi Thai-horror, "hantu popcorn" dan sosok mirip Rokurokubi (hantu dari Jepang) jelas memberi warna baru. Apalagi keduanya muncul dalam adegan yang menjadi highlight bagi sisi horror filmnya. Satu-satunya momen berisi kengerian menegangkan yang memikat berkat kreatifitas sutradara. Akhirnya, asal anda tidak mengharapkan sajian murni horror, "Senior" adalah hiburan menyenangkan, meski akan terlupakan tak lama setelah filmnya usai.....kecuali wajah Jannine Weigel.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar