I WANT TO EAT YOUR PANCREAS (2018)

4 komentar
Pembaca reguler blog ini pasti tahu bahwa “kelemahan” saya adalah romansa bittersweet dramatis (tahun ini sudah ada On Your Wedding Day, The Hows of Us, Color Me True dan lain-lain). I Want to Eat Your Pancreas—selaku adaptasi novel berjudul sama karya Yoru Sumino yang sebelumnya telah diterjemahkan dalam format live action lewat Let Me Eat Your Pancreas (2017)—bisa tergabung dalam jajaran tontonan yang dengan senang hati saya tangisi, andai saja filmnya bersedia menghilangkan, atau setidaknya mengurangi usaha memenuhi “mimpi basah” pria-pria kesepian di paruh awal.

Protagonis kita adalah laki-laki tanpa nama (Mahiro Takasugi), seorang antisosial yang menenggelamkan diri dalam buku, mengaku lebih menikmati novel ketimbang dunia nyata, dan menjauh dari teman-teman sekelas karena berasumsi, mereka takkan mau bergaul dengan orang membosankan sepertinya. Bahkan matanya pun senantiasa sendu. Hingga Sakura Yamauchi (Lynn) si gadis populer, cantik, ceria, dan blak-blakan, memasuki hidupnya.

Keduanya bertemu di rumah sakit saat protagonis kita (selanjutnya kita sebut saja “A”) menemukan buku harian Sakura yang tertinggal. Tanpa basa-basi, Sakura memberitahu bahwa hidupnya takkan lama lagi akibat kanker yang menggerogoti pankreasnya. Tapi tidak seperti orang lain yang langsung bersikap luar biasa baik karena kasihan, A merespon dengan dingin. Bagi Sakura, itu justru bentuk kejujuran, yang membuatnya tertarik pada A, bahkan meminta si pria penyendiri menghabiskan waktu bersamanya, mendatangi tempat-tempat yang ingin ia kunjungi sebelum mati.

Sakura merupakan karakter menarik yang secara santai mengucapkan kata “mati” seolah itu tak berarti apa pun. Karena memang demikian adanya. I Want to Eat Your Pancreas membawa pesan mengenai kematian sebagai sebuah kepastian. Manusia bisa mati kapan saja. Seperti kata Sakura, orang yang sehat bisa saja meninggal lebih dulu daripada dia, dan mengetahui bahwa kanker kelak akan membunuhnya, tidak membuat Sakura merasa kondisinya spesial.

Melalui hubungan kedua tokoh utama (yang cenderung ke arah platonik), sutradara sekaligus penulis naskah Shin'ichirô Ushijima membawa kita untuk mengobservasi dampak dari rasa cinta, yang dapat mendorong seseorang berubah jadi lebih baik. Bukan atas dasar permintaan sang pujaan hati, melainkan karena seseorang mengalami suatu pembelajaran, yang membuatnya yakin jika perubahan tersebut perlu terjadi demi kebaikannya sendiri.

Benturan dua pribadi yang bertolak belakang kerap menghadirkan situasi menggelitik, namun seperti telah disinggung di atas, paruh pertamanya memunculkan kesan berbeda. Pendekatan aktif Sakura terhadap A bukan gambaran sosok yang mengagungkan hidup bebas, penuh semangat, dan tanpa rasa takut, tapi sebatas perversion terselubung. Saya bagai melihat fantasi pria yang bermimpi didatangi gadis cantik, yang menganggap sikap sinis dan kesendiriannya menarik. Beruntung hanya ada satu gadis. Jika lebih, I Want to Eat Your Pancreas bisa masuk kategori harem.

Ketidaknyamanan memuncak sewaktu filmnya mulai menyentuh tensi sensual di antara A dan Sakura. Berulang kali saya coba menampik pemikiran negatif itu, namun ketika melihat A melakukan hal kelewat batas yang begitu mudah Sakura maafkan (bahkan mempererat hubungan mereka), pemenuhan fantasi film ini tidak lagi bisa diterima. Saya sempat ingin keluar dari studio. Untungnya niat itu dibatalkan, sebab setelah melintasi separuh jalan, I Want to Eat Your Pancreas mulai berevolusi ke arah presentasi manis, bahkan indah, mengenai takdir, dengan taburan bumbu romansa.

Dibungkus goresan warna lembut, seiring A yang lebih terbuka dan belajar banyak hal dari Sakura, kehangatan mulai menyebar. Sampai tiba-tiba, dada ini rasanya seperti ditusuk-tusuk tatkala I Want to Eat Your Pancreas mengungkap kejutannya, yang masih menyinggung perihal misteri takdir. Narasinya cerdik mempermainkan ekspektasi penonton. Walau ditutup oleh epilog yang bergulir agak terlalu lama, konklusinya efektif mengaduk-aduk perasaan, sembari memberi resolusi memuaskan bagi perjalanan (salah satu) karakternya. Di luar babak awal yang “sakit”, I Want to Eat Your Pancreas tetap sebuah cerita bermakna yang layak dicoba.

4 komentar :

Comment Page:
Nugroho Suhartanto mengatakan...

Lebih bagus mana kalau dibandingkan versi Live Action nya, bang..?

Rasyidharry mengatakan...

Wah malah belum nonton versi live action

Satria wibawa mengatakan...

sempet surprise di endingnya

Badminton Battlezone mengatakan...

Barusan nonton film ini. Ada 2 perasaan yang muncul. Perasaan nyesel,knapa harus nonton ni anime yang bikin melowwww abis. Perasaan selanjutnya yg muncul,perasaan langsung pengen ngechat orang yang tercinta...karena hidup itu berharga...eyaaa