TUSUK JELANGKUNG: DI LUBANG BUAYA (2018)

16 komentar
Welcome to another episode of “The Unlucky, Ugly, Very Very Gloomy Day of Rasyid Harry”. Setelah semesta sempat berpihak sehingga saya berkesempatan melewatkan Arwah Tumbal Nyai: Part Nyai dan Wengi: Anak Mayit, niatan untuk tidak menonton Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya pun timbul karena saya ingin fokus memanjakan diri dengan JAFF dan JCW. Sayang seribu sayang bisikan iblis datang lagi, kali ini dalam wujud Josep Sibuea (Postingan Biasa), yang didorong kemurahan hatinya, berbagi voucher agar saya bersedia (dengan amat sangat terpaksa) menonton horor memabukkan ini. “Biar lo bisa ikut ngetawain”, begitu katanya.

Tapi saya orangnya optimistis. Mustahil film ini—yang menurut sutradara Erwin Arnada (Guru Ngaji, Nini Thowok) bukan sekuel atau remake Tusuk Jelangkung (2002) melainkan revitalisasi—seburuk itu. Benar saja, optimisme saya terbukti. Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya memang suguhan inovatif. Didorong keinginan tampil beda, sebagaimana Tommy Wiseau menciptakan drama yang berbeda lewat The Room, berbagai formula didobrak, pemahaman baru pun dimunculkan.

Mungkin cuma alur dalam naskah tulisan Sigit saja yang formulaik, yakni tentang kenekatan kakak-beradik vlogger, Sisi (Nina Kozok) dan Arik (Rayn Wijaya), menyatroni daerah angker Taman Lubang Buaya demi memuaskan satu juta subscribers mereka. Tentu setibanya di lokasi, mereka mendapati diri tidak berdaya di hadapan para hantu. Apalagi saat boneka jelangkung yang akhirnya lepas dari kebotakan menahun turut ambil bagian.

Erwin menolak memperlihatkan riasan bubur basi khas horor murahan negeri ini. Saya mengapresiasi itu, walau salah satu wajah hantu jelas meniru Smiley (2012); satu hantu bayi CGI sukses membuat perempuan di belakang saya berujar, “Yah, nggak jadi takut deh...”; dan sosok misterius bertanduk selaku antagonis utama nampak bak cosplayer prajurit Viking yang tersesat di alam gaib. Bukan masalah, sebab terpenting adalah niat TAMPIL BEDA.

Pada dinding kamar protagonisnya, terpasang beberapa target lokasi angker untuk dikunjungi serta hasil-hasil riset. Terpampang pula foto Slenderman dilengkapi tulisan “Hantu Kepala Buntung”. Saya baru tahu dua mitologi tersebut berkaitan. Saya pun baru tahu kalau hantu kepala buntung rupanya kepalanya tidak buntung. Terima kasih Tusuk Jelangkung: Di Rumah Buaya, saya yang amatir soal ilmu perdemitan ini jadi tercerahkan.

Seperti judulnya, Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya—atau demi mempermudah kita sebut saja Tusuk Lubang—berlokasi di lubang buaya. Tapi ingat, ini film inovatif, sehingga lubang buaya yang dimaksud pun bukan terletak di Jakarta, melainkan Bali. Menurut Erwin, Taman Lubang Buaya di bali dahulu dipakai untuk melatih buaya sebelum ditinggalkan dan kini dianggap angker. Saya tidak menemukan hasil pencarian untuk tempat tersebut di Google, tapi mungkin saja karena letaknya amat tersembunyi. Sebab mustahil kalau pembuat film ini hanya mengarang cerita kan? Iya kan???

Menariknya, ada salah satu tokoh pendukung, yakni Kepala Desa setempat yang diperankan Slamet Ambari. Dari Turah (2016), kita tahu bahwa Slamet berlogat ngapak, dan di sini, logat itu terdengar begitu kental. Mari beri tepuk tangan bagi Tusuk Lubang yang berpartisipasi menegakkan diversity. Memang kenapa kalau orang berlogat ngapak jadi Kades di Bali? Itu hak semua WNI, bung! Saya hanya kecewa ia tidak diberi dialog,”Bli, nyong kencot kiye, nganti mumet endhase lah, tulung”.

Kecewa, sebab tokoh lain memperoleh banyak dialog ajaib yang tak terdengar seperti interaksi antara manusia. Satu lain poin menarik terkait penulisan naskah adalah mantra Jelangkung yang kembali diganti. Setidaknya, “Datang untuk dimainkan, hilang untuk ditemukan” lebih enak didengar ketimbang “Datang gendong, pulang bopong”. Hebatnya, mantra itu segera dimodifikasi lagi oleh Nina Kozok, menjadi “Datang untuk dimainkan, please help me find something”. Terima kasih Tusuk Lubang, saya yang amatir soal ilmu perdemitan ini jadi tahu bahwasanya hantu sekarang sudah mengikuti tren multilingualisme.

Tusuk Lubang nantinya berpuncak pada usaha Arik bersama kekasihnya, Mayang (Anya Geraldine), menyeamatkan Sisi yang terperangkap di alam gaib. Saya suka melihat Rayn dan Anya berakting di satu layar. Keduanya sungguh pemberani. Lihat saja, ketika ada hantu kain terbang, ekspresi mereka datar-datar saja, seolah itu hanya kain kiloan biasa yang dijual di Mayestik.

Apakah Tusuk Lubang menyeramkan? Tentu tidak. Ingat, ini sajian inovatif, horor pendobrak batas yannng tujuannya bukan lagi menakut-nakuti penonton, namun memancing tawa. Erwin paham betul tujuan itu, lalu memilih sudut-sudut kamera yang sama sekali tidak menstimulus rasa takut. Sungguh jeli sutradara kita ini! Bahkan hingga akhir, Tusuk Lubang masih sempat mengutarakan pesan soal penghematan air. Pesan seperti apa? Saksikan saja sendiri, tapi hati-hati. Menonton film ini memberi sensasi seolah lubang anda sedang ditusuk-tusuk.

16 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Yang paling hebat disini jelangkungnya, ngerti bahasa inggris. Pas si pemerannya baca mantra jelangkung jelangkung help me find something. Njir. Tuh jelangkung kira kira les dimana ya bang Rasyid wk��

KieHaeri mengatakan...

Yang bikin ngakak disini adalah hantu jelangkungnya yang kaya boneka sejenis bernie. Apalagi nakutinnya geleng-geleng kepala lagi. Hampir seisi bioskop ketawa ketika kemunculan hantu itu.....

Eldwin Muhammad mengatakan...

tetep kecewa gak ada review nyai 😭😭😭

Mofan Rizaldi mengatakan...

alhamdulillah... girangnya membaca review jelek (lagi) dari bang rasyid... 🀣🀣🀣
nunggu Aquaman nih bang...

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

kalimat terakhir sungguh menohok, pasti perih
*eh

Gre mengatakan...

Lebih Periiiiih buat yg udah ngerogoh kocek beli tiket wk wk wk

Rasyidharry mengatakan...

@Muhammad Bagus itu, Jelangkung yang terpapar globalisasi namanya

@Ungki Oo semua hantunya bikin ketawa kok πŸ˜‚

@Eldwin Saya lagi mau waras!

@Mofan Semoga besok Silam rada bener ya filmnya haha

@Teguh Iyalah, lubang hidung ditusuk kan perih 😏

@Okiyadi Semoga mereka yang rogoh kocek dapat pahala setimpal

Vian mengatakan...

Anya Geraldine itu siapa sih? Oh seleb dunia yang dulu suka bikin sensasi itu ya?

Kasian ya aktris2 lulusan jurusan teater macam Ana Pinem yang mentok di sinetron, atau aktris2 lain yang jam terbangnya sudah tinggi macam Ghea D'Syawal yang mandeg di FTV azab2an atau berkah2an. Pintu gerbang dunia film tertutup buat mereka yang memang basicnya sebagai pemeran, tapi sangat terbuka buat mereka yang mengawali "karier" lewat hal2 bombastis. Bisnis? :)

Maaf OOT komennya. BTW saya selalu menantikan review2nya ^_^

Rasyidharry mengatakan...

@Vian Alasannya beragam. Paling sering memang soal bisnis. Bahkan saat pemilihan bukan didasarkan sensasi, kan ada pertimbangan lain, khususnya tampang. Ya kalau di film komersil, cuma modal akting aja ya nggak jalan. Harus enak dilihat. Lain cerita di film alternatif.

Tapi bisa juga di pemainnya sendiri. Karena proses syuting FTV itu jauh lebih cepat & gampang. Dibayar sekitar 3-5 juta (bisa lebih kalau nama udah besar) buat akting ala kadarnya selama max 3 hari ya gimana nggak ketagihan?

Joe mengatakan...

Karena tahun ini udah mau abis, saya jadi ngebandingin penilaian bang Rasyid film2 Indo tahun ini ama tahun lalu.

Top 15 bang Rasyid tahun lalu ada 4 film Sangat Bagus (Marlina, Sweet 20, Posesif, Critical Eleven), 5 film Bagus (Bala Sinema, Pengabdi Setan, Banda, Nyai, Mobil Bekas) dan 6 film Lumayan yang masuk list (Night Bus, Kartini, Bid'ah Cinta, Dear Nathan, Ziarah, Galih & Ratna). Tahun ini cuma ada 1 film Sangat Bagus (Teman Tapi Menikah), apakah bakal langsung shoo in jadi film #1 nya bang Rasyid tahun ini?

Tahun ini film Bagus lebih banyak, ada 7 (Kucumbu Tubuh Indahku, Keluarga Cemara, 27 Steps of May, The Night Comes for Us, Menunggu Pagi, Sebelum Iblis Menjemput, Ku Lari Ke Pantai). Kalo saya mau prediksi, kayaknya top 5 film Indo bang Rasyid tahun ini:
5. Sebelum Iblis Menjemput
4. 27 Steps of May
3. Ku Lari Ke Pantai
2. Kucumbu Tubuh Indahku
1. Teman Tapi Menikah

Vian mengatakan...

Wah makasih lho sudah dibalas, Mas. Saya paham sih sebenarnya, tapi yang masih ngeganjal adalah: Bukankah faktor TAWARAN yang berperan pertama kali, ya, Mas? Aktris TV macam Ghea D'Syawal, Inne Azri, atau Jian Batari (ini dulu padahal cukup laris di film) jarang main film karena memang tidak ada yang menawari, kan? Bukan karena mereka "lebih suka main FTV ketimbang film".

Hehe, saya bukannya sirik sih, tapi lebih ke faktor kurang sreg melihat mereka yang lebih condong ke sensasi dibanding prestasi mendapat lapak yang lebih luas dibanding mereka yang lebih lama berdedikasi (ada yang sampai belasan bahkan puluhan tahun) tapi underrated. Saya pribadi percaya bila mereka diberi panggung yang lebih besar (minimal lebih merata-lah), mereka juga bisa unjuk gigi. Buktinya Ajeng Kartika bisa main di film 22 Menit.

Nice blog Mas Rasyid

Anonim mengatakan...

BTW mau koreksi komen saya yang pertama, maksudnya "seleb dunia maya"

Vian

Rasyidharry mengatakan...

@Joe Wow, that prediction's pretty close. Tapi (kemungkinan besar) Keluarga Cemara bakal masuk 2019, karena udah dapat tanggal tayang pasti. Tinggal nentuin nomor satu. Ada dua film yang masih dipertimbangkan.

@Vian Nggak bisa memastikan karena tiap orang pasti kondisi & alasannya beda, tapi bisa juga begitu. Mungkin juga dari si aktor sendiri yang nggak coba ikut casting film.

Tapi nggak semua casting mentingin sensasi kok. Bisa kita lihat dari film-film oke, pemilihan pemain juga nggak asal. Misal, kita nggak akan lihat selebgram tanpa talenta di film-film Joko, Mouly, Angga, dsb. Di konteks aktor panggung, banyak juga yang dapat kesempatan. Putri Ayudya misalnya.

Joe mengatakan...

Dari Marlina jadi Teman Tapi Menikah, film2 Indo memang agak downhill tahun ini.

Oh ya, ga post tentang FFI tahun ini bang? My summary untuk FFI tahun ini:
Pros: Marlina borong, Gading menang, Ayu Laksmi is flawless as always
Cons: Acara boring as hell, production berantakan, Nicholas Saputra ga dateng

Rasyidharry mengatakan...

Yah, harus diakui sayangnya begitu, biarpun overall masih memuaskan. Nanti ada 15 film di daftar terbaik 2018, dan cuma peringkat 1 yang sama sekali nihil hal yang ngganjel. Bahkan nomor 2 & 3 pun ada yang "mengganggu".

Nope, not interested. Senang Marlina bisa borong (udah seharusnya), tapi masih banyak momen "huh???" baik dari sistem sampai pelaksanaan.

Ferndan Putri mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.