GREEN BOOK (2018)

10 komentar
Meski jauh dari sempurna dan bukan yang terbaik di antara nominasi Best Picture Oscar tahun ini,  saya tak keberatan bila Green Book akhirnya keluar sebagai jawara. Penyutradaraan solo kedua Peter Farrelly sejak Dumb and Dumber (1994) ini mengingatkan kepada jajaran pemenang dari masa lalu, khususnya era 80 hingga 90-an, tatkala sajian menghibur nan hangat sekaligus kental pesan positif yang dipaparkan lewat optimisme mendominasi.

Ditulis naskahnya oleh Peter Farrelly, Brian Currie (Two Tickets to Paradise), dan Nick Vallelonga (Deadfall, Choker), kisahnya terinspirasi kisah nyata tentang Tony Vallelonga (Viggo Mortensen), pria Italia-Amerika yang menjadi sopir Don Shirley, pianis jazz Afrika-Amerika yang hendak menjalani tur di area Deep South Amerika. Tony, yang tengah mencari pekerjaan sementara pasca kelab malam tempatnya bekerja direnovasi, sebagaimana banyak orang di tahun 1960-an (hell, even until now) menyimpan ketidaksukaan pada kulit hitam.

Masalah terbesar Green Book terletak pada cara mempresentasikan perubahan sikap Tony. Kita sempat melihatnya membuang gelas yang dipakai dua tukang ledeng berkulit hitam minum. Peristiwa itu memotretnya bak “rasis sejati” yang memendam kebencian dan/atau rasa jijik terhadap kulit hitam. Benar bahwa ia bersedia bekerja untuk Don demi uang, dan sepanjang perjalanan ia kerap melontarkan celotehan stereotipikal, misalnya ekspresi keheranan Tony kala mengetahui Don tidak mendengarkan “black music” atau makan ayam goreng. Tapi dibandingkan aksi membuang gelas, karakterisasinya jelas berubah jauh lebih lembut, bahkan sebelum mengalami pengalaman berharga, yang jadi elemen penting dalam road movie semacam ini.

Andai “adegan gelas” itu tidak ada, atau naskahnya memberi gradasi lebih bagi proses yang terjadi, transformasi Tony bakal jauh lebih berdampak. Tapi di luar lubang tersebut, Green Book menyimpan setumpuk momen hangat meskipun karakternya harus menempuh jalan terjal, berjibaku melawan rasisme serta segala bentuk prasangka.

Film ini pun tampil unik ketika memposisikan dua tokoh utamanya dalam beberapa situasi terbalik terkait kondisi sosial dan stereotip terkait ras di masa itu. Tony si kulit putih menjadi pelayan kasar nan kurang berpendidikan, sedangkan Don memasang sikap yang lebih bermartabat juga bertabur kemewahan. Ketika Don dibanjiri tepuk tangan lewat permainan pianonya, Tony sibuk berjudi bersama para sopir berkulit hitam.

Perjalanan ini memantik rasa kemanusiaan Tony seiring banyaknya ia menyaksikan ketidakadilan menimpa Don. Berkebalikan dengan sang bos, Tony tak kuasa menahan luapan emosi. Bukan saja karena ia bersumbu pendek, pula karena tanpa sadar, Tony selalu menikmati hak istimewa sebagai pria kulit putih, yang takkan dibanjiri konsekuensi berbahaya bila berbuat kekeliruan. Bayangkan jika Don yang memukuli seorang pemicu keributan di awal film.

Don paham betul, bahwa untuk bertahan hidup dan lebih dihargai, ia wajib menjaga sikap. Bahkan setelah semua itu pun, sekadar memakai toilet pun ia tetap tak diperkenankan. Don berharap dihormati, tapi pilihan itu justru sering membuatnya serba salah, sebab ia tidak “cukup putih” untuk memperoleh perlakuan layak, pula “kurang hitam” untuk dianggap sebagai satu kaum. Di sinilah naskah Green Book menyentuh area kompleks isu rasisme, yakni mengenai tuntutan menjadi seragam agar bisa diterima dengan tangan terbuka. Bahwa rasisme atau bentuk opresi lain terjadi akibat keengganan manusia merayakan perbedaan. Green Book  berusaha melawan prasangka. Bahkan Don—yang acap kali jadi korban—pun terjebak dalam kecenderungan berprasangka.

Walau menyinggung subjek sensitif dan cenderung gelap, Green Book sejatinya tontonan crowd-pleaser. Beberapa momen kebersamaan mampu menghangatkan hati, dan tentu saja, serupa film-film Peter Farrelly lain, komedi jadi salah satu menu utama. Tidak seluruhnya tepat sasaran, tapi kreativitas dalam kejenakaan usil Farrelly bukan saja menghibur, juga menguatkan hubungan dua tokoh utamanya.

Berkat chemistry solid Viggo-Mahershala, Green Book menjadi buddy comedy renyah. Keduanya piawai menyeimbangkan porsi drama dan komedi, sambil terus saling melontarkan kelakar yang menjaga dinamika film, terlebih ketika Tony dan Don mulai meruntuhkan tembok pembatas di antara mereka. Berbeda dengan dua tahun lalu, kali ini saya mendukung Mahershala memenangkan Oscar keduanya. Kompleksitas gejolak batin Don sanggup dimunculkan, sambil sesekali memamerkan kemampuannya bermain piano.

10 komentar :

Comment Page:
Aan mengatakan...

Peran marshala di luke cage sbg cornell stoke yg dimatikan termasuk saya sesali.ketawa sinis nya keren...

Anna B mengatakan...

Setuju banget Ali menang Oscar, dia bener" pantes menang. So sad, no love for Hawke, Collette, Blunt, and Chalamet

Rasyidharry mengatakan...

@Aan Setuju ini. Setelah dia mati, serialnya langsung ambles. One of his best performance, even far more superior than in Moonlight.

@Anna Yah, sayang banget. Mereka keren semua. Khusus buat Collette, ini gara-gara A24 campaign-nya lemah banget tahun ini. Mau sebagus apa, kalau rilis awal tahun mesti genjot ekstra. Macam Get Out tahun lalu yang stabil kampanye begitu deket akhir tahun.

Willy C P mengatakan...

Iya, tahun ini A24 kayaknya lemah buat kampanye film-filmya. Ethan Hawke ama Toni Collette emang sayang banget ga dapet nominasi, padahal performa mereka pantes buat menang. Mudah2han ke depannya 2 aktor itu akan lebih sukses lagi dapet penghargaan. Tapi saya yakin performa Collette bakal lebih diinget di tahun-tahun ke depan dibanding performa Close (walau Close sendiri emang keren banget).

Btw, kok ini Collette sering banget ya meranin sosok ibu, dan bagus banget lagi kalo meranin ibu, kayak di The Sixth Senses, About a Boy, Little Miss Sunshine, The Way Way Back, dan di Hereditary ini paling gila

bais mustaqim mengatakan...

Jadi bang rasyid lebih jagoin film apa buat menang best picture

Unknown mengatakan...

Kenapa film yang bertema rasis kpd kulit hitam selalu masuk nominasi oscar ? Politik kah?

Rasyidharry mengatakan...

@Willy Nah itu. Hawke & Collette bagus banget. A24 yang biasanya pasti bisa dorong salah satu jadi nominasi. Minimal Hawke lah, juri Oscar masih kurang apresiasi horor soalnya. Well, her eyes actually scream "I'm a crazy mom" 😂

@bais Selain La La Land nggak pernah bener-bener punya jagoan sih. Tapi oke juga kalau Roma (biar film Netflix lebih dilirik) atau Black Panther (biar superhero movie dapat pengakuan & rating Oscar naik lagi).

@Rahmad Beberapa tahun terakhir kan Oscar emang mau kasih statement kalau mereka nggak anti-black movie sejak dikiritk "Oscar so white".

Unknown mengatakan...

Baru nonton tadi di cg*.
Rasisnya parah. Gw agak mewek dikit pas adegan hujan 🙃. Keren sih ni film

Gre mengatakan...

Road movie tentang kesetaraan manusia dan persahabatan, banyak moment yg unik dan mengundang senyum, di tutup dengan ending yg hangat, sederhana ,tapi kena dihati, dalem, indahnya kesetaraan manusia.

Unknown mengatakan...

Damn. Pemeran latino cowonya macho abis. *fanboying*