TEMBANG LINGSIR (2019)

3 komentar
Setidaknya karya teranyar Rizal Mantovani ini sedikit lebih “tepat” perihal penggambaran latar lagu Lingsir Wengi, yang kerap salah dipahami sebagai “mantera pemanggil hantu”. Sebuah interpretasi yang dipopulerkan belasan tahun lalu oleh film Rizal lainnya. Tapi jangan salah sangka mengira bahwa dengan itu, Tembang Lingsir otomatis menjadi sajian berkualitas. Lihat saja rumah produksi di belakang film ini. Dan mustahil sebuah film berlatar modern, di mana karakter yang tidak mampu bicara memilih papan tulis sebagai alat bantu komunikasi ketimbang telepon genggam, berakhir memuaskan.

Filmnya berkisah tentang Mala (Marsha Aruan) yang kehilangan suaranya untuk sementara dan harus tinggal bersama kerabatnya, Om Gatot (Teuku Rifnu Wikana) dan Tante Gladys (Meisya Siregar), pasca insiden mistis yang merenggut nyawa sang ibu. “Dia aneh!”, demikian protes Desi (Aisyah Aqilah), puteri Gladys, merujuk pada kebiasaan Mala yang kerap tiba-tiba diam sebelum menyanyikan Lingir Wengi. Tapi selain perilaku Mala, ada misteri lain terkait keluarga tersebut.

Seperti biasa, eksplorasi plot atau misteri bukan hal yang menarik (atau sanggup?) dilakukan oleh penulis naskah horor negeri ini. Alhasil, guna mengisi durasi, Andhika Lazuardi memakai kumpulan gangguan mistis, yang menimpa satu per satu anggota keluarga. Jika teror terhadap Mala usai, kita akan dilempar menuju teror terhadap Tante Gladys, Om Gatot, dan seterusnya.

Semakin terasa bagai filler akibat pendekatan Rizal, yang menyeret pembangunan tensi—yang tak pernah sekalipun menyimpan atmosfer mencekam atau ketegangan—sebelum menutupnya lewat jump scare semurah kerupuk di warteg. Rizal bukan sutradara horor hebat. Tapi bahkan dibandingkan Jelangkung atau Kuntilanak, performanya di sini terlihat malas. Tidak kalah malas adalah tata riasnya. Walau sosok Kanjeng Ratu dengan semua aksesoris akar pohon jauh dari buruk, namun hantu yang secara reguler meneror Mala sekeluarga, punya bekas luka di wajah yang tampak seperti ditempeli pizza bekas makan malam.

Ketika teror absen mengisi, Tembang Lingsir semakin membosankan sebagai dampak pemakaian kalimat-kalimat dangkal, yang bahkan seorang Teuku Rifnu pun tak kuasa menyelamatkannya walau telah berusaha sekeras mungkin. Sementara itu barisan kebodohan pun tak ingin kalah eksis. Salah satunya saat dua teman Desi ketakutan lalu memilih meninggalkan rumahnya. Terdengar pintar, sampai kita melihat mereka memutuskan berjalan kaki masuk hutan di tengah malam. Bukankah sebelumnya mereka mengendarai mobil?

Kebodohan itu penulisnya pilih agar Tembang Lingsir berkesempatan menginjeksi alurnya dengan sentuhan slasher, yang sejatinya berpotensi menghibur andai penempatan unsur gore-nya—yang memaksa filmnya diberi rating “17 tahun ke atas”—tepat. Paling tidak, melihat karakternya memotong kaki manusia seolah-olah itu daging sapi bisa membuat saya terjaga lebih lama. Klimaks Tembang Lingsir ditutup tanpa taring pula begitu mendadak setelah Mala melantunkan Lingsir Wengi. Ya, horor produksi Baginda KKD alias Maharaja Dheeraj Kalwani ini selesai setelah satu nyanyian pendek. Mungkin suara Mala begitu jelek sampai Kanjeng Ratu tak mampu bertahan kemudian musnah. Sayangnya film ini tidak ikut musnah.

3 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Ngakak baca reviewnya bang Rasyid..
Besok mw membukti'keun kocaknya film ini..
Doa'in yak gw tahan sampe akhir film, wkwkwkwk..

Review Mermaid donk bang, besok mw nuntun Mermaid dan film kocak satu ini..

Rasyidharry mengatakan...

Duh disayang duitnya, weekend nonton beginian😂

Hugo mengatakan...

Ada apa dengan Rizal Mantovani dan Jose Purnomo...kenapa film horor mereka sekarang2 ini jadi menurun ya bang rasyid?apa mereka harus belajar dari Joko Anwar atau Timo Tjahjanto ya cara buat film horor yang bagus