ARCTIC (2018)

Tidak ada komentar
Meski bukan yang pertama melakukannya, Arctic tetap patut mendapat tempat spesial di jajaran film survival terkait tuturannya yang bukan cuma berkutat soal “every man for himself”, melainkan tentang usaha mempertahankan hati nurani dan sisi kemanusiaan, bahkan tatkala insting dasar manusia untuk bertahan hidup mengambil alih, di tengah situasi kritis saat maut mulai mengintip.

Film dibuka dengan memperlihatkan Overgård (Mads Mikkelsen) tengah menggali salju. Begitu telaten ia melakukan itu termasuk memindahkan batu yang menghalangi jalan, wajar jika mengira Overgård adalah tukang gali salju. Sampai terungkap jika rupanya ia sedang membuat tulisan “SOS” besar di sebuah tempat antah berantah di Lingkar Arktik setelah pesawatnya jatuh.

Overgård sendirian, meski tersirat bahwa pesawatnnya mengangkut penumpang lain saat dia mendatangi suatu tumpukan batu yang nampak seperti nisan. Tapi satu hal pasti, Overgård harus berjuang bertahan hidup seorang diri. Kesehariannya selalu sama: mengecek apakah umpannya berhasil memancing ikan, lalu memancarkan sinyal marabahaya, berharap memperoleh respon. Setelah beberapa lama, alarm jam tangannya berbunyi, pertanda Overgård mesti berpindah ke aktivitas berikutnya.

Semua hal di atas merupakan elemen standar film survival, yang bertujuan memberi penonton pemahaman bagaimana karakternya mengakali keterbatasan demi bertahan hidup. Sudah berulang kali menyaksikan pemandanga serupa, saya tetap mendapat kepuasan, sebab sekuen semacam itu selalu melibatkan kreativitas protagonisnya menyusun rencana yang tak jarang penuh keunikan.

Pada mayoritas kesempatan, Arctic memang mengikuti pola genrenya. Berarti, anda harus bersiap melihat gambar-gambar menyakitkan berisi luka-luka yang Overgård alami. Pun bisa saja Arctic terus bertahan di jalur formulaik, mengingat masih terdapat daya tarik kala menanti bagaimana cara Overgård keluar dari ragam permasalahan, khususnya setelah ia menyadari ada beruang kutub yang menjadi “tetangganya”.

Tapi formula tersebut mempunyai batasan, dan para penulis naskah yang terdiri atas duet Ryan Morrison bersama sang sutradara, Joe Penna, memahami betul batasan itu, sehingga mereka memberikan titik balik di alurnya. Saya tak bisa mengungap insiden pastinya, tapi setelah itu, Overgård tidak lagi sendirian. Ditinjau dari sudut pandang penceritaan, insiden itu memberi bobot emosi sekaligus tujuan bagi narasinya. Sekarang ada tujuan jelas yang mesti dicapai daripada “cuma” usaha bertahan hidup.

Didorong alasan logis, Arctic pun menjadi film minim dialog, dan itu melahirkan tantangan lebih bagi Joe Penna selaku pencerita. Beruntung, sang sutradara adalah pencerita visual yang bertalenta. Penna memakai dua jenis shot guna menjabarkan detail, supaya penonton bisa memahami segalanya, termasuk isi pikiran si protagonis. Dua shot tersebut yaitu penggambaran lingkungan sekitar dan ekspresi Mikkelsen, yang muncul silih berganti. Kamera yang kerap menangkap reaksi Overgård berfungsi menggiring penonton masuk ke dalam pikirannya, mengira-ira apa yang dipikirkannya.

Berkat kepiawaian Mikkelsen bicara bannyak melalui mata maupun ekspresi wajah membuat segalanya jelas. Kemudian, begitu situasi semakin genting, sang aktor pun semakin habis-habisan menghidupkan kondisi tatkala luka fisik pula psikis mendorongnya menuju ketidakberdayaan dan keputusasaan yang menyakitkan. Bertambah sukar bagi psikis Overgård, sebab ia pun terjebak dalam ujian terhadap nuraninya.

Overgård bisa saja bersikap egois, memilih mengambil jalan yang lebih aman nan mudah tanpa perlu bersusah payah menantang maut. Tidak ada yang akan menyalahkannya, karena demikianlah insting bertahan hidup manusia. Di sebuah kesempatan, Overgård sempat terdoronng untuk mengikuti insting itu, hingga alam “menghukumnya”, membuatnya menyadari kalau tak semestinya ia meninggalkan peri kemanusiaannya di bentangan salju Arktik.

Biarpun cuma bergulir sepanjang 97 menit, keterbatasan materi di naskahnya semakin lama semakin kentara, dan memproduksi beberapa penurunan intensitas. Sementara keputusan Penna menghindari pendekatan dramatis bagi konklusinya (yang diharapkan menghadirkan penebusan emosional) harus diakui berpotensi mengecewakan beberapa kalangan. Tapi sejatinya, pilihan tersebut sesuai dengan kesunyiann serta kesubtilan sepanjang film. Penna hanya berusaha menjaga supaya Arctic tidak tersasar keluar jalur.

Tidak ada komentar :

Comment Page: