28/03/19

DUMBO (2019)

0 View
Di atas kertas, pilihan menunjuk Tim Burton sebagai sutradara adaptasi live action dari animasi berjudul sama rilisan tahun 1941—yang juga adaptasi novel karya Helen Aberson dan Harold Pearl—ini adalah pilihan masuk akal. Berlatar sirkus penuh anggota unik, menampilkan Colin Farrell sebagai ayah berlengan satu, dan punya protagonis seekor gajah terbang yang dianggap hina karena telinga lebarnya. Sepanjang karirnya, Burton terbukti ahli menangani sosok-sosok eksentrik yang diremehkan karena dipandang aneh.

Tapi sentuhan sang sutradara kentara memudar belakangan ini. Ketika Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (2016)—film dengan materi yang seolah ditakdirkan khusus untuk Burton—berakhir selaku tontonan ala kadarnya, saya yakin “Burton lama” telah hilang. Setidaknya sampai ia bersedia menepi sejenak dari dunia film studio berbujet besar yang menghalangi keleluasaannya. Tapi rasanya itu takkan terjadi dalam waktu dekat.

Dumbo pun serupa, tatkala Burton kesulitan memadupadankan keanehan dengan drama manis. Sayangnya, “manis” dan “Tim Burton” bukan dua hal yang serasi. Alhasil, sekali lagi kita disuguhi identitas khas karya modern sang sutradara: tontonan mudah dilupakan penuh latar CGI yang tak seberapa cantik, kreatif, apalagi menghadirkan terobosan visual.

Padahal kisahnya memiliki materi memadahi guna melahirkan drama keluarga menyentuh. Sepulangnya dari Perang Dunia I, Holt Farrier (Colin Farrell), kembali ke sirkus milik Max Medici (Danny DeVito), tempatnya dahulu angkat nama sebagai penunggang kuda. Tapi bukan saja mendapati kudanya telah dijual untuk menutup kesulitan ekonomi, Holt turut kelabakan menjalin hubungan dengan kedua anaknya, Milly (Nico Parker) dan Joe (Finley Hobbins). Tidak seperti mendiang istrinya, Holt tak tahu cara berkomunikasi dengan mereka.

Saya tidak menyalahkan Holt, sebab anak-anaknya, terlebih sang puteri yang bermimpi menjadi ilmuwan (elemen yang urung mendapat pengembangan maupunn payoff layak), bicara layaknya orang dewasa. Naskah tulisan Ehren Kruger (Transformers 2-4, Scream 3, The Ring) memaksa Milly bertutur terlampau bijak, yang acap kali menyulitkan si aktris cilik memberi penampilan maksimal.

Tanpa kudanya, Holt ditugasi merawat gajah bernama Jumbo yang tengah mengandung. Bayi Jumbo diharapkan dapat menarik pengunjung. Tapi begitu Dumbo (awalnya bernama Baby Jumbo) lahir dengan telinga super lebar, harapan itu perlahan sirna. Kelainan fisik Dumbo dianggap bencana, hingga Milly dan Joe mengetahui bahwa kepakan telinga itu mampu menerbangkan si gajah kecil ke angkasa.

Tentu orang-orang dewasa tak seketika mempercayai pengakuan dua bocah itu, memberi tantangan bagi mereka untuk membuktikan bahwa alih-alih kegagalan, Dumbo merupakan keajaiban. Pun merupakan tantangan bagi Burton mengeksekusi debut Dumbo terbang di hadapan penonton, yang patut disebut momen “make it or break it” filmnya, dan menentukan apakah atensi penonton bakal terjaga atau tidak. Beruntung, dibantu orkestra menggugah garapan Danny Elfman (Good Will Hunting, Big Fish, Spider-Man) Burton mampu menciptakan pemandangan uplifting agar Dumbo punya cukup tenaga melangkah ke fase berikutnya.

Fase tersebut memperkenalkan kita kepada V. A. Vandevere (Michael Keaton), pengusaha dunia hiburan yang berhasrat menjadikan Dumbo bagian pertunjukkan taman bermain Dreamland miliknya. Eva Green pun turut serta memerankan pemain trapeze dengan julukan “Queen of the Heaven” lewat aura menghipnotis seperti biasa. Mereka berdua mendatangi sirkus milik Max, menawarkan kerja sama bagi seluruh penampil, meski kita tahu betul ia hanya ingin merebut Dumbo.

Lalu apa yang terjadi pasca bergabungnya sirkus dengan kemeriahan Dreamland? Latihan dan atraksi terbang tentu saja. Dumbo berlatih lalu tampil di pertunjukan yang senantiasa menghasilkan masalah. Terus demikian, sampai membuat film ini bagai 112 menit kombilasi latihan terbang tanpa dibantu narasi memadahi. Saya dibuat bertanya-tanya, apa yang naskahnya coba sampaikan? Nilai kekeluargaan? Larangan menilai orang hanya lewat penampilan luarnya? Ajakan untuk berbuat baik? Semua ada dan dicampur paksa. Dampaknya, konklusi Dumbo gagal mengaduk perasaan, sebab proses yang karakternya lalui tak pernah jelas.

Klimaksnya melibatkan misi penyelamatan, tatkala para anggota sirkus berkesempatan unjuk gigi kemampuan masing-masing (Butuh waktu lebih dari 90 menit sampai mereka menjadi lebih dari sebatas pajangan). Momen tersebut bisa terasa menghibur sekaligus rewarding andai (A) Bukan cuma numpang lewat; dan (B) Bersedia mengeksplorasi unsur soal orang-orang (dan hewan) “aneh” yang senantiasa dicemooh. Mungkin naskahnya menghindari kesan eksploitatif, lalu memutuskan bermain aman dengan menyajikan kisah setengah matang.

Filmnya begitu datar dan dingin, hanya menyisakan mata serta senyum Dumbo sebagai satu-satunya hal yang memancarkan hati. Sebuah adegan berpotensi tampil magis, ketika gelembung-gelembung sabun raksasa membentuk wujud cantik gajah-gajah merah muda. Sayang, keajaibannya seketika memudar kala Burton menyusunnya sebagai sekuen konyol dan cartoonish. Sama seperti keseluruhan Dumbo, yang menjadi salah satu adaptasi live action modern Disney terburuk akibat kehilangan sihir sumber adaptasinya.

17 komentar :

  1. Kalau saya sih puas dan suka nontonnya
    Emosi bener2 campur aduk waktu nontonnya
    Dan sama sekali ga tau cerita versi asli nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Jackman, iya bagi saya film Dumbo juga sudah dapat nilai bagus, wkwkwkwk..
      Istilahnya, selama 2 jam saya nggk melihat jam tangan sama sekali.. walaupun durasi panjang, tp nggk bosen..

      Penilaian Mas Rasyid itu memang tinggi, jadi bener² selera kritikus film yg nggk hanya butuh kata "manghibur" saja, harus ada nilai lebih lain..

      Pokoknya klo dapet bintang 5 dari Mas Rasyid, udah pasti film bagus, wkwkkwkwk.. mantul Mas!!!

      Hapus
    2. Tinggi bagemane? Saya mah kalau bisa nangis udah cukup (and I easily cried). Tapi Dumbo kagak terharu apalagi nangis, soalnya bingung, ini proses yang mau ditangisin apaan? 😅

      Hapus
  2. Cerita aslinya sangat jauh lebih menyayat2 hati, recommended banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Alasan kenapa Disney masuk era keemasannya dulu

      Hapus
  3. Anonim4:50 PM

    akhirnya sekuel Batman Returns rilis juga setelah sekian lama

    BalasHapus
  4. Setuju. Gue terpukau sama aksi Dumbo, tapi filmnya hampa. Mungkin yang bagus buat gue cuma lagu Baby Mine versi Arcade Fire, meskipun lagunya kalah bagus sama lagu Arcade Fire yang lain kayak Dimensions, Some Other Place, Song On The Beach, Photograph dan Loneliness #3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh lah lagunya. Apalagi pas malem-malem

      Hapus
  5. Setuju banget sama kak rasyid,sentuhan ala burton nya menghilang sudah :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anonim11:02 PM

      Udah dari lama kali menghilangnya

      Hapus
  6. Efek CGI nya tidak lebih baik dari Marry Poppins apalagi ALITA: BATTLE ANGEL. Tp Dumbo cute bgt, gemesinnn..

    BalasHapus
  7. Sudah tdk berharap byk dgn tim burton sejak dark shadow.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejak era 2010-an, film Burton yang bener-bener bagus emang cuma Frankenweenie

      Hapus
  8. Lucass10:49 PM

    Mungkin kurang johnny deep yang telah jadi partner setia Burton di film yg ngandung unsur karakter 'aneh' jadi ide gila nya kurg tersalurkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, ada Depp makin ancur lagi ini macam Dark Shadows. Makin jadi karikatur buat dirinya sendiri si Depp itu

      Hapus
  9. Eva Green sekarang udah jarang ya tampil buka-bukaan. Then live action gini ampe kapan ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai stoknya bis dan nggak laku haha. But that's fine. Di antara yang kurang oke macam Dumbo & Nutcracker (plus mungkin Aladdin), ada emas kayak Beauty and the Beast, Cinderella, The Jungle Book. Lion King juga menjanjikan.

      Hapus