28/03/19

THE HOLE IN THE GROUND (2019)

0 View
The Hole in the Ground melangkah di garis batas antara “horor hipster” yang identik dengan atmosfer, studi karakter, serta tempo lambat, dengan teror arus utama yang mengutamakan hiburan sarat jump scare. Sayang, alih-alih berhasil menyeimbangkan tiap sisi, film garapan Lee Cronin (segmen Ghost Train di antologi Minutes Past Midnight) ini justru berakhir campur aduk, gagal memenuhi potensi di kedua pendekatan beda gaya tersebut.

Lubang raksasa misterius di tengah hutan, makhluk berkemampuan alih wujud, anak kecil menyeramkan, hingga kematian tak wajar dalam posisi mengerikan. Menyaksikan film ini membuat saya terbayang apa jadinya bila komikus Junji Ito menekan kegilaannya untuk membuat film hibrida antara The Thing dan The Omen. Sungguh. The Hole in the Ground bisa sebagus itu, bahkan berpotensi menjadi “Penerus Hereditary” bila penggarapannya maksimal.

Sarah (Seána Kerslake) bersama puteranya, Chris (James Quinn), baru saja pindah rumah ke suatu daerah pinggiran di sebelah hutan. Disiratkan bahwa kepindahan tersebut didorong perilaku abusive sang suami terhadap Sarah. Sementara Chris adalah bocah pendiam yang kurang menyukai sosialiasi dan memilih menghabiskan waktu bermain action figure. Tapi niat Sarah memulai hidup baru nan bahagia tampak takkan berjalan mulus pasca bertemu wanita tua misterius bernama Noreen (Kati Outinen). Konon kabarnya, Noreen melindas anaknya setelah meyakini bocah itu merupakan makhluk yang menyerupai wujud sang putera.

Awalnya Sarah percaya akan anggapan warga setempat bahwa Noreen hanya wanita gila, namun tak lama kemudian, hal serupa turut menimpa dirinya. Di suatu malam, saat tengah mencari Chris yang berlari ke hutan, Sarah menemukan lubang berukuran masif menganga di tanah. Mungkin lubang itu disebabkan sebuah benda bak meteor yang sesaat sebelumnya dapat kita saksikan dari kejauhan sedang melintasi langit.

Sarah berhasil menemukan Chris. Bocah itu baik-baik saja, tapi sang ibu merasakan perbedaan. Dia berperilaku manis, patuh, dan aktif bergaul di sekolah, yang mana merupakan sikap-sikap yang sejatinya didambakan Sarah. Ketimbang bahagia, Sarah justru dilanda kecemasan. Dari sinilah naskah buatan Lee Cronin bersama Stephen Shields memunculkan ironi yang secara subtil mempertanyakan, “Apakah seorang anak memang lebih baik menjadi sebagaimana keinginan orang tua?”. Serupa Hereditary atau The Babadook, The Hole in the Ground menyentuh area seputar sisi gelap parenting. Pun konklusinya yang cenderung suram mampu menampar selaku penggambaran mengerikan tentang bagaimana pengalaman traumatis memancing sikap posesif orang tua terhadap anak.

Tapi The Hole in the Ground terlampau berkonsentrasi mengumpulkan subteks hingga melupakan jalinan alur permukaan yang solid. Sarah mulai mencurigai, apakah Chris sekadar melewati fase perubahan layaknya anak-anak kebayakan atau benar-benar telah digatikan oleh makhluk alih wujud. Lee dan Stephen membuat segalanya terlalu jelas, urung bermain-main dengan ambiguitas untuk melahirkan misteri menarik. Sederhananya, seluruh elemen film ini mudah ditebak, yang mana bukan sebuah dosa selama fase prosesnya menyimpan daya tarik. Masalahnya, selain ketiadaan misteri, The Hole in the Ground pun kekurangan pemandangan mencekam.

Bukan berarti tiada pengadeganan solid, sebab saya masih menemukan beberapa pertanda talenta mumpuni di penyutradaraan Cronin, seperti saat ia cerdik membangun intensitas kala nyanyian Chris tiba-tiba bertransisi menuju gemuruh tepuk tangan. Problema terletak di inkonsistensi. Beberapa imageries memancarkan kengerian, namun banyak pula yang jatuh ke ranah teror generik. Usaha memuaskan penonton umum lewat jump scare pun jauh dari impresif, akibat eksekusi medioker dibarengi keklisean musik berisik karya Stephen McKeon (The Tiger’s Tail, Blind Fight). Klimaks yang berpeluang jadi juru selamat justru minim energi, kreativitas, maupun tensi. Patut disayangkan, mengingat Seána Kerslake menghadirkan performa kuat sebagai ibu yang menghadapi teror berujung masalah psikologis.

1 komentar :

  1. Sebenarnya sudah lama sih saya download di torrent film ini (Jangan ditiru ya! :X), tapi sampai sekarang filmnya baru setengah aku tonton karena selalu ketiduran di pertengahan, mungkin karena efek saya nonton sambil rebahan atau filmnya yang cukup membosankan!! Atau efek karma buat saya karena nonton film bajakan! Hahahaha

    BalasHapus