WONDER PARK (2019)

5 komentar
Wonder Park hadir di antara tren film keluarga (animasi dan live action) yang berpesan supaya kita tak kehilangan imajinasi masa muda yang penuh kebahagiaan, meski beratnya realita mulai merambat masuk. “Keep that little light in you shining bright”, demikian ucap ibunda sang protagonis. Kalimat yang berfungsi sebagai poros tuturan drama milik animasi produksi bersama tiga studio (Paramount Animation, Nickelodeon Movies, Ilion Animation Studios) ini.

Membangun taman bermain imajiner bernama Wonderland merupakan hal yang June (Brianna Denski) selalu lakukan bersama ibunya (Jennifer Garner). Wonderland adalah taman penuh wahana fantastis dan dikelola oleh hewan-hewan berkemampuan bicara layaknya manusia, yang “hidup” dari boneka June. Simpanse bernama Peanut (Norbert Leo Butz) menjadi maskot taman tersebut. Dia bisa membuat wahana apa pun memakai spidol ajaib tiap kali June dan sang ibu berbisik di telinganya.

Waktu berlalu dan rumah June dipenuhi taman bermain mini yang disusun menggunakan barang seadanya. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama, sebab sang ibu menderita sakit keras dan mesti meninggalkan rumah demi mendapat perawatan. Kita bisa menerka apa penyakitnya (kemungkinan kanker), namun Wonder Park tak pernah mengucapkannya secara gamblang, karena film ini diceritakan lewat perspektif June, si gadis cilik yang hanya mengetahui satu hal: Tanpa sang ibu, cahaya kehidupannya meredup.

June mulai menyingkirkan Wonderland, diganggu kecemasan dan ketakutan berlebih akan semua hal, kemudian menjadi (terlalu) dewasa sebelum waktunya. Sampai lewat sebuah kebetulan, ia menemukan pintu masuk menuju Wonderland, mendapati taman ajaib itu telah porak-poranda dikuasai kegelapan, sementara para hewan mesti bersembunyi dari serbuan Chimpanzombie, boneka simpanse menggemaskan yang berubah jadi pasukan buas.

Mengejutkan kala mengetahui filmnya enggan terburu-buru menyeret kita memasuki Wonderland. Naskah garapan duet Josh Applebaum dan André Nemec  (Mission: Impossible – Ghost Protocol, Teenage Mutant Ninja Turtles) bersedia bersabar mengembangkan elemen dramatik dari kehangatan hubungan ibu-anak yang takkan sulit menyedot air mata penonton dewasa, setidaknya sepanjang 30 menit pertama yang begitu emosional.

Keputusan di atas tepat, karena kita tahu apa yang menanti di Wonderland: Petualangan sarat komedi slapstick yang berisik dan chaotic. Bahkan kita langsung disambut banter bernuansa rusuh antara karakter hewan, yang dikemas sedemikian rupa supaya petualangannya terkesan bertenaga, tapi justru hanya melahirkan kekacauan yang sukar dinikmati, bahkan nyaris menelan habis potensi humornya.

Bermodalkan bujet $80-100 juta, Wonder Park memang tak semewah produksi Dinsey, Pixar, atau DreamWorks, dan itu nampak jelas pada kualitas visualnya. Animasi Wonder Park  bukan suguhan photo realistic kelas wahid, tapi serupa esensi filmnya, visi serta imajinasi adalah yang terpenting. Beruntung, visualnya memiliki dua elemen tersebut. Dibungkus warna-warni juga cahaya gemerlap, mata kita bakal dipuaskan meski tak sampai dibuat terpana.

Awalnya Wonder Park disutradarai oleh Dylan Brown, animator bagi film-film Pixar seperti Finding Nemo, The Incredibles, hingga Ratatouille. Tapi ia dipecat akibat skandal pelecehan seksual, kemudian posisinya digantikan oleh David Feiss (Open Season: Scared Silly), Clare Kilner (American Virgin, The Wedding Date), dan Robert Iscove (From Justin to Kelly, She’s All That). Entah sejauh apa progres film ini sebelum pemecatan Brown, tapi pastinya, penyutradaraan merupakan salah satu kelemahan besar Wonder Park.

Ya, beberapa adegan sanggup menyentuh hati, namun itu keberhasilan naskahnya, dan semestinya jauh lebih emosional kalau bukan gara-gara lemahnya (para) sutradara membangun momentum. Khususnya momen jelang akhir yang seharusnya jadi puncak penebusan dari segala proses yang June lalui. Hangat, tapi ada potensi untuk mengolah rasa lebih jauh lagi.

Berkat pondasi dari naskahnya, Wonder Park urung porak poranda layaknya Wonderland. Applebaum dan Nemec cukup rapi mengaitkan problematika kehidupan nyata dengan konflik di Wonderland. Kuncinya adalah, konsisten menjadikan hubungan ibu-anak sebagai inti segalanya, baik itu penyebab permasalahan, maupun cara menyelesaikannya. Alhasil, di luar sederet kekurangannya, Wonder park tetap perjalanan memuaskan tentang menghadapi kegelapan demi mengembalikan cahaya.

5 komentar :

Comment Page:
aryo mengatakan...

Komedinya gimana bang?

Rasyidharry mengatakan...

Standar slapstick dan jokes verbal yang chaotic. Kekuatannya lebih di drama.

Anonim mengatakan...

nunggu hollywood bikin animasi dengan style anti-mainstream lagi, setelah Spiderverse

Zulfikar Knight mengatakan...

nama para sutradaranya tidak tercantum di wikipedia, IMDB dan RT

Rasyidharry mengatakan...

Di IMDb ada, tapi di bagian cast, kreditnya "directed by".