Bali: Beats of Paradise memberi saya salah satu pengalaman gala
premiere paling sureal. Pertama mesti dipahami dulu, dokumenter ini merupakan
karya Livi Zheng, sineas yang memperoleh popularitas di Indonesia berkat Brush with Danger (2014), yang akibat
kemalasan media serta masyarakat menggali info ditambah pembiaran dari Livi,
digembar-gemborkan sebagai peraih nominasi Oscar.
Saya pun terkejut ketika sebelum
pemutaran, ia tak menyampaikan sambutan. “Apakah Livi sudah berubah, mulai
merendah, dan membiarkan karya yang bicara?”, begitu pikir saya. Sungguh saya
salah mengira. Sang sutradara telah mempersiapkan absurditas lain. Dimainkanlah
video gelaran premiere di Amerika Serikat, rekaman konferensi pers bersama
beberapa Menteri termasuk Sri Mulyani, deretan pesan video himbauan menonton
dari figur-figur “pembesar” negara, liputan-liputan media soal “kesuksesan”
Livi “menembus Hollywood”, hingga trailer
film-filmnya yang lain, dari Brush
with Danger hingga Insight yang
dibintangi Tony Todd.
Tidak berlebihan jika Livi disebut
narsis pula haus popularitas, sebab kesan itu pun begitu kentara dalam hasil
akhir Bali: Beats of Paradise, walau
sejatinya, tuturan di paruh awal membuka kisah secara meyakinkan. Kita diajak
melihat bagaimana musik gamelan amat dikagumi, berpengaruh, dan diperdalam oleh
masyarakat luar negeri, termasuk Amerika. Biarpun singkat, setidaknya penuturan
para narasumber sedikit menjelaskan alasan kekaguman mereka kepada gamelan.
Lalu diperkenalkanlah para tokoh
sentral, pasangan suami istri Nyoman Wenten dan Naniek Wenten, dua musisi
sekaligus penari Bali yang sudah 40 tahun tinggal di Amerika, guna mengajar di
departemen Etnomusikologi di UCLA, juga CalArts. Pak Nyoman dikenal ramah, kenyamanan
bukan hanya dirasakan murid-muridnya, begitu pula saya selaku penonton. Ada
kehangatan kala mendengarkannya bercerita tentang karir sampai hubungan dengan
sang istri.
Timbul juga kekaguman menyaksikan
pasangan ini berkesenian di satu panggung, menunjukkan talenta yang sudah
membuat ribuan (bahkan sepertinya lebih) manusia terpesona. Livi tidak perlu berbuat
macam-macam, Bali: Beats of Paradise sudah
terkatrol kualitasnya berkat subyek luar biasa miliknya. Tapi bukan Livi Zheng namanya
kalau tidak macam-macam.
Titik balik filmnya terjadi kala
Pak Nyoman mengutarakan niat mengunggah video tentang gamelan ke YouTube, dengan
target sejuta penonton. Harapannya, masyarakat khususnya generasi muda lebih
mengenal kesenian tradisional ini. Beliau pun merasa “sutradara kita, Livi
Zheng, pasti bisa membantu”. Dimulailah acara pamer CV sutradara
internasional peraih nominasi Oscar kebanggaan tanah air proses produksi
video tersebut. Jangan kaget saat rekaman acara televisi plus kutipan berita
layaknya kliping tentang “prestasi” Livi Zheng kembali bermunculan di layar.
Saya bakal diam, membiarkan yang
bersangkutan pamer sesuka hati, bila filmnya sungguh berkualitas. Masalahnya,
Livi tampak tidak tahu apa-apa, baik terkait tata cara bercerita maupun proses
produksi. Alkisah, terjadilah kolaborasi antara Pak Nyoman dan Bu Naniek dengan
Judith Hill, musisi funk yang pernah menjadi penyanyi latar bagi Michael
Jackson, Stevie Wonder, hingga Josh Groban. Kisah Hill sendiri pernah diangkat
dalam dokumenter 20 Feet from Stardom (2013),
di mana ia turut mengisi suara untuk lagu berjudul sama yang memenangkan Grammy
Awards di kategori Best Music Film.
Rencananya, Livi bakal
menyutradarai video klip lagu kolaborasi mereka yang berjudul Queen of the Hill. Sewaktu ditanya
perihal kesulitan proyek ini, Livi menjawab kurang lebih demikian, “Kesulitannya
adalah harus merekam lagu, membuat koreografi, dan merekam video”. Jawaban tersebut
mengesankan ketidaktahuan sang sutradara akan proyek yang dikerjakannya.
Livi pun tergagap dalam bertutur. Terdapat
banyak modal cerita, dari perjalanan karir Pak Nyoman, proyek bersama Judith
Hill, dan tentunya perkembangan gamelan itu sendiri. Tapi dari modal sebanyak
itu, tak satupun sempat dieksplorasi. Durasi 56 menit (termasuk 3 menit 43
detik video Queen of the Hill sebelum
kredit) sudah menyiratkan itu. Livi sebatas melontarkan gagasan-gagasan yang
makin lama makin bertumpuk, membuatnya kerepotan mengatur aliran cerita yang
terus melompat secara acak dari satu tema ke tema berikutnya.
Anda bakal sering mempertanyakan
esensi dimunculkannya sesuatu. Mengapa Balawan sering tiba-tiba datang lalu
pergi? Menjelang akhir, sempat muncul narasi singkat mengenai pemakaian gamelan
di karya-karya besar seperti Avatar, Fellini
Satyricon, Akira, hingga Star Trek.
Mengapa tak memperdalam bahasan itu, yang pastinya lebih menarik ketimbang satu
jam aktivitas di balik layar pembuatan video klip? Livi pun tak mengeksplorasi
proses kreatif yang terjadi, baik di antara tiga seniman hebat itu maupun
dirinya sendiri. Kita cuma melihatnya memegang clapperboard alih-alih menyutradarai.
Selain dangkal, Bali: Beats of Paradise adalah
dokumenter canggung. Tentu dalam dokumenter tetap ada momen rekayasa. Tugas
sutradara adalah menjadikannya nampak alami. Livi tidak mampu. Diskusi awal
antara Pak Nyoman dengan Judith contohnya, dikemas bak variety show kacangan khas televisi kita. Singkatnya, Bali: Beats of Paradise merupakan salah
satu dokumenter paling buruk yang pernah saya saksikan.
Saingan ratna sarumpaet ini mah si livi
BalasHapusOscar winner best hoax category
Livi ini setipe dg Damien dematra ya? Sutradara yang sprti punya dunia sendiri. Tidak FFI oriented.
BalasHapusLebih gila sih mainnya Livi ini. Serem.
Hapussaya butuh review RITUAL...
BalasHapusLewat. Seminggu ini belum sempet ke bioskop soalnya
Hapusyah satu-satunya harapan review "kocak" tinggal Cinecrib kayaknya..
Hapuslivi, vicky prasetyonya perempuan :')
HapusReview midsommar mana?
BalasHapusDurasi film nya hanya satu jam yak?
BalasHapusMas Rasyid, review MoveOnAja doonk..
Bang Rasyid ikut komentarin film Gundala yakk.
BalasHapusBang nanti review gundala colab sama cine crib
BalasHapusSayangnya eps bahas Jagat Sinema Bumi Langit kemarin itu jadi perpisahan. Saya udah nggak di Jakarta. Mungkin nanti reuni collab pas bahas rapor horor lokal akhir tahun plus JAFF (baru rencana)
HapusMidsommar review juga bang...
BalasHapusSetelah tahu Livi Zheng dan cerita mumbo jumbonya tentang prestasi yang bersangkutan, saya jadi yakin kalo Tommy Wiseau itu gak buruk-buruk amat.
BalasHapusOrang kayak Livi ini bisa bahaya kalo dibiarin kang rasyid, bisa bikin rusak nama perfilman Indonesia khususnya dan bisa bikin rusak nama Indonesia pada umumnya karena bisa2 orang Indonesia dicap sebagai tukang tipu
BalasHapusBang keren kau bang masuk metro tv gegara review nih film ngakak banget lah. Kayaknya nih film bakal lebih ada isinya kalau fokus aja sama pak nyoman wenten dan eksistensinya terhadap gamelan bali. Tapi jadi endorsment livi zheng jadi pengen nyinyir kan. Mending livi jd produser aja kali yaa kan banyak duit mending danain filmmaker biar bisa produksi film sekeren avenger, dan real bersaing di "oscar" 😆
BalasHapusNamanya review film ya review isi, cerita, presentasi, cinematography, kreativitas, sound design, dan banyak hal lain. Tapi anda membahas kontroversi dan sifat produser yang tak berhubungan dengan isi film. Memang tak ada standar untuk isi review yang baik, tapi review ini sudah jauh di luar batas dan tak representatif
BalasHapusKalau dipikir2 pendapat anda benar juga.. tapi.. kelihatannya reviewernya juga berharap agar bisa mengomentari isi filmnya.. masalahnya kn isinya itu ngga ada..
Hapus