(Tulisan ini mengandung SPOILER)
Once Upon a Time in Hollywood diawali dengan gaya, sebagaimana karya
Quentin Tarantino biasanya. Cuplikan serial televisi hitam putih era 1950an
berjudul Bounty Law yang dibintangi
sekaligus melambungkan nama Rick Dalton (Leonardo DiCaprio), diikuti dua
situasi yang muncul bergantian: Rick bersama stuntman-nya, Cliff Booth (Brad Pitt) berkendara, sementara Sharon
Tate (Margot Robbie) dan sang suami, Roman Polanski (Rafał Zawierucha) baru
turun dari pesawat. Menjadi latar adalah lagu Treat Her Right dari Roy Head.
Sebuah adegan pembuka keren yang
menset karakterisasi tiga protagonis: Rick si mega bintang yang popularitasnya
memudar, Cliff si stuntman tangguh,
dan Sharon si bintang muda. Tapi jangan tertipu, sebab Once Upon a Time in Hollywood bukan sajian khas Tarantino. Benar
bahwa filmnya dibangun oleh dialog, referensi budaya populer, lagu-lagu asyik,
juga penceritaan yang kerap menerapkan flashback,
namun siapa sangka ini menjadi karya paling dewasa sekaligus emosional dari
sanng sutradara. Seolah, mencapai karya kesembilan, Tarantino ingin berkata, “Saya
memiliki hati”.
Selepas adegan pembuka, alurnya
melaju bolak-balik antara persahabatan Rick-Cliff dan kehidupan Sharon. Rick
merasa ketenarannya anjlok drastis, karena alih-alih pemeran utama, ia cuma
menerima tawaran sebagai antagonis yang berakhir tewas atau dihajar oleh sang
jagoan, atau penampilan singkat di episode pilot. Akibatnya, Cliff pun kehilangan
lahan pekerjaan, menghabiskan hari-harinya mengatar-jemput atau memperbaiki
antena di rumah Rick.
Amat disayangkan, sebab Cliff
merupakan petarung badass. Bahkan ia
sempat menghajar Bruce Lee (Mike Moh) dalam satu momen yang menegaskan
kapasitasnya, agar penonton bisa mempercayai apa yang Cliff sanggup lakukan di
klimaks. Pitt, bersenjatakan persona bak koboi, tampil berkarisma bahkan saat
hanya berdiri diam, mengamati dari balik kaca mata hitamnya.
Berlawanan dengan Cliff, di layar,
Rick penuh wibawa, tapi di balik layar dia adalah pria penuh ketakutan,
keraguan, yang sering tergagap kala berbicara. Beruntung, bukan saja pegawai,
Cliff menjadi sahabat setia yang senantiasa mendukung Rick. Rasanya, bila
mampu, Rick bakal meminta Cliff untuk menjadi stuntman-nya di dunia nyata.
Memerankan Rick, DiCaprio
memamerkan salah satu performa paling berwarna sepanjang karir lewat
interpretasi luar biasa terhadap dua sisi (depan dan belakang kamera) Rick.
Dualitas sang aktor terpapar nyata saat Rick menjalani proses pengambilan
gambar sebagai antagonis serial televisi western.
DiCaprio menghantarkan jangkauan akting luas yang menyulut kekonyolan,
kepedihan, hingga kekaguman.
Kalau kisah Rick memaparkan
kejatuhan bintang di akhir golden age Hollywood,
maka Sharon menuturkan soal terbitnya bintang baru. Tapi serupa Rick, Sharon juga
“berwajah ganda”. Dan serupa DiCaprio pula, Robbie berhasil menghidupkan
dualitas tersebut. Sekilas Sharon cuma gadis muda yang gemar berpesta, namun di
balik itu, dia menjadi cerminan para pemimpi industri perfilman yang berharap
bisa menghibur penonton melalui kemunculannya di layar lebar. Kunjungan Sharon
ke bioskop untuk menonton The Wrecking
Crew yang ia bintangi (juga konklusi proses syuting Rick yang saya singgung
di atas) jadi ajang pembuktian sensibilitas Tarantino. Bahwa selain gaya dan
kekerasan, ia pun bisa menyentuh hati.
Secara spesifik bertindak selaku
penghormatan bagi Hollywood era 1960an, Once
Upon a Time in Hollywood tentunya dipenuhi referensi, misalnya penyebutan
beberapa judul film atau serial televisi (The
Man From U.N.C.L.E., Batman, The Dick Van Dyke Show, FBI, Rosemary's Baby, dan
lain-lain), cameo sosok-sosok nyata
seperti Bruce Lee dan Steve McQueen (Damian Lewis), atau modifikasi
elemen-elemen realita dari nama figur hingga peristiwa tertentu, contohnya perkelahian Cliff melawan Bruce Lee yang
terjadi pada set serial The Green Hornet.
Penonton yang familiar dengan
hal-hal tadi bakal menemukan surga, sebaliknya, bagi kalangan awam, Once Upon a Time in Hollywood bisa saja
terasa kosong atau bertutur tanpa fokus. Bukan sebuah dosa, karena sejak awal,
Tarantino memang berniat menulis surat cinta. Keinginan melahirkan surat cinta
itulah faktor kemenangan filmnya.
Berbeda dibanding Inglourious Basterds, imajinasi suka-suka
Tarantino kali ini, daripada didorong “kenakalan” eksplorasi, bagai sebuah curahan
hati tulus atas kondisi yang ia harapkan terjadi. Puncaknya terletak di
konklusi. Babak ketiganya, biarpun diawali kurang mulus akibat alasan yang
terkesan dipaksakan dalam usaha memodifikasi kasus pembantaian oleh Keluarga
Manson, jadi hiburan kelas satu berkat parade kekerasan favorit Tarantino. Tapi pesona terbesarnya bukan di situ.
(SPOILER STARTS) Klimaksnya
boleh merenggut beberapa nyawa, namun tujuan utama Tarantino justru
menyelamatkan nyawa. Melalui kelembutan yang belum pernah ditunjukkan, Tarantino
mengkreasi penutup magis nan menyentuh, di mana sosok-sosok fiktif macam Rick
Dalton dan Cliff Booth tercipta agar nyawa-nyawa yang melayang di malam
berdarah 8 Agustus 1969 berkesempatan melanjutkan tawa mereka, bahkan
membaginya pada orang lain. Bila semesta sinema Quentin Tarantino memang ada, Once Upon a Time in Hollywood mungkin
perwujudan surga semesta itu (SPOILER
ENDS).
Kok Sergio Leone menjadi Sergio Corbucci? Corbucci kan sutradara film Django sama The Great Silence, dll, mas. Bahkan disitu ditegesin kok kalo dia sutradara spaghetti western terbaik no. 2. Krna yg pertama Leone. Apa saya yg salah tangkap ya? Hehe
BalasHapusHaha maap saya yang teler. Maksudnya di situ mau masukkin Trudi Fraser, terus Leone & Corbucci masuk di referensi real people. Thanks, bisa nggak sadar kalau nggak diingetin
HapusSiapppp
HapusGue sempet berekspektasi elu ngasih penilaian sama ketika Nolan garap Dunkirk (Kalo gak salah inget waktu itu elu kasih Cukup), ee tapi trnyata ekspektasi gue salah wkwkwk. Justru menurut gue bang Rasyid, di sini Quentin terbilang berani, bukan hanya bermain-main dgn sejarah yg ada seperti halnya Ingloriuous Bastards, tapi juga berani mengorbankan durasi hampir satu setengah jam mendalami karakter2nya dengan konklusi yg sayangnya buat gue gak sehebat The Hateful Eight. Makanya bang meskipun gue tau referensi peristiwa aslinya, gue jujur menyayangkan keberanian Quentin dalam membangun suspense di akhir cerita. Penonton bakal kebelah dua setelah menonton film ini pasti: yg awam dan yg fanboy atau yg sudab research soal fakta-fakta ceritanga. But still, ini Quentin dan dia mau cerita dengan atau tanpa menyertakan hati, karya2nya doi emang selalu unconventional bagi gue hehe. Btw bang, Star Trek kemungkinan masuk listnya doi apa enggak ya? gue nonton wawancara doi sama Jimmy Kimmel kepotong pas mau masuk bagian itu anjritt wkwkwkwk
BalasHapusKalau konklusi sih kayak di bagian spoiler itu, this is my favorite ending in QT's film. Kalau di Basterds dia "Mampus lo Hitler!" Di sini dia kayak bikin adegannya sambil senyum & netesin air mata ngebayangin Sharon Tate.
HapusStar Trek emang impiam QT. Tapi ragu studio berani kasih proyek itu ke dia
Filmnya sangat segmented bagi yg gak tau Hollywood era 60'an itu kayak gimana, budaya hippies dan tragedi Sharon Tate, mesti cepat2 nonton sebelum turun layar dan benar aja sepi banget yg nonton, malah ada yg walk out, tapi saya sangat menikmati filmnya QT ini meski terkesan gak jelas ceritanya mau dibawa kemana, setuju juga nih endingnya sweet banget, duo Leo dan Brad sangat menghibur, yg cukup disayangkan adalah Sharon Tate yg kurang tereksplor dan boring bagi saya, adegan klimaksnya mantul dan bikin saya kegirangan, brutal tapi lucu.
BalasHapusAduh bang, baca Rosemary's baby saya jadi merinding (lagi)...
BalasHapusSetujuuu.., gw nikmatin bgt smua yg ada di film ini.. Tapi tumben kok elu ga sependapat ama arya cinecrib min?
BalasHapusSdh semangat pengen nonton tp baca kisruh soal penokohan sosok Bruce Lee yg dikecam oleh Putri Bruce Lee dan sahabatnya Kareem Abdul Jabar, sy jadi malas nontonnya, apalagi Lee adalah salah satu legenda di perfilman asia dan dunia
BalasHapusTarantino emang kampret sih Bruce Lee dibuat kayak bocah songong, menggelikan
HapusBruce Lee arogan itu fakta, tapi juga wajar orang-orang terdekatnya dia tersinggung. Arc itu juga bukan asal, berguna gambarin seberapa kuat Cliff. Banyak yang salah mengartikan jadi "Bruce Lee is nothing but a joke", padahal lebih ke "Cliff Booth is stronger than Bruce Lee"
HapusBruce Lee arogan itu fakta? Hmmm mungkin masih debatable, krn gw udh lihat beberapa film biopik maupun dokumenternya yg menyatakan hal sebaliknya. Kesaksian para aktor yg sezaman dgnnya pun menarik seperti Jackie Chan, Chuck Norris, Kareem Abdul Jabbar, Dan Inosato dll menyatakan pribadi yg bersahabat. Bahkan 2 nama terakhir itu sdh mengecam Tarantino.
HapusTarantino beranggapan Bruce Lee org yg songong hanya berdasarkan biografi Bruce Lee yg ditulis oleh Istrinya Linda Lee, dimana Tarantino mengutip pernyataan Lee bisa mengalahkan seorang Muhammad Ali.
Sayangnya, bagian buku yang dikutip Quentin dari buku biografi karya Linda Lee Caldwell yang berjudul 'Bruce Lee : The Man Only I Know' sebenarnya adalah tulisan seorang kritikus yang menyatakan,'Mereka yang menyaksikan (Bruce) Lee pasti akan bertaruh bahwa Lee akan mampu membuat Muhammad "Cassius Clay" Ali kehilangan akal'. Jadi, itu bukan tulisan Linda
Arogan di sini beda sama pecundang besar omong lho. Dan dia pantas bersikap arogan karena kehebatannya. Nggak mungkin juga mereka kasih testimoni buruk di dokumenter soal Bruce.
HapusMakanya coba ditonton dulu. Nggak adil juga judging keseluruhan film dari salah satu bagian yang bahkan belum dilihat langsung
Keren banget ! What A Gold 60's , dari Scoring sampai lagu lagunya yg 60's bikin suasana film nya enak dilihat. Ending yang aku ga habis pikir bisa dibuat jadi se 'komedi' itu , Porsi Margot mungkin yang sedikit kurang (padahal kutunggu tunggu di klimaks nya). One more thing, pengambilan kamera yang dari belakang mobil itu , KEREN BANGET !
BalasHapus