BUMI MANUSIA (2019)
Rasyidharry
Agustus 16, 2019
Andhika Triyadi
,
Ayu Laksmi
,
Bagus
,
Drama
,
Giorgino Abraham
,
Hanung Bramantyo
,
Indonesian Film
,
Iqbaal Ramadhan
,
Kelly Tandiono
,
Mawar de Jongh
,
REVIEW
,
Romance
,
Salman Aristo
,
Sha Ine Febriyanti
25 komentar
Timbul kontroversi kala Hanung
Bramantyo (Ayat-Ayat Cinta, Sang
Pencerah, Kartini) menyatakan bakal memfokuskan Bumi Manusia pada elemen percintaan remaja. Banyak orang murka,
tapi mungkin mereka lupa, kurang (atau menolak) memahami, bahwa novelnya
sendiri mengetengahkan romantika. Tepatnya, Pramoedya Ananta Toer tahu jika cinta
sepasang kekasih merupakan perihal universal
yang mudah menyerap di hati.
Tujuan novelnya adalah membuat
pembaca jatuh cinta bersama Minke dan Annelies, memedulikan mereka, sehingga
tergerak mengutuk kolonialisme, rasisme, atau tindak ketidakadilan secara umum,
selaku kebiadaban yang berpotensi merenggut keindahan rasa bernama “cinta”. Dan
Hanung bersama Salman Aristo (Garuda di
Dadaku, Athirah, Mencari Hilal) sebagai penulis naskah, menangkap esensi
itu dengan baik.
Minke (Iqbaal Ramadhan) adalah
pribumi beruntung yang berkesempatan menuntut ilmu di Hogere Burgerschool
(HBS), sehingga bisa terpapar ilmu pengetahuan serta pola pikir modern, hal-hal
yang jauh dari jangkauan mayoritas pribumi. Minke merasa “tahu”, sampai tiba
kunjungannya ke kediaman keluarga Mellema di Wonokromo, Surabaya.
Bertemulah ia dengan Nyai Ontosoroh
(Sha Ine Febriyanti). “Nyai” merupakan panggilan bagi wanita pribumi simpanan
orang Belanda. Masyarakat memanang rendah para nyai, menganggap mereka sebatas
gundik kelas rendah tak berpendidikan. Tapi anggapan itu—yang turut menancap di
otak Minke—dipatahkan Nyai Ontosoroh. Dia pintar, penuh harga diri, kaya akan
pengetahuan, pula bertindak sebagai ketua pelaksana seluruh bisnis Keluarga
Mellema, menggantikan sang suami, Herman Mellema (Peter Sterk) yang sibuk
mabuk-mabukkan. Bahkan Nyai Ontosoroh berani berdiri melawan Herman.
Tapi sambaran lebih kuat ke hati
Minke ia rasakan kala berjumpa dengan puteri Nyai Ontosoroh, Annelies (Mawar de
Jongh), gadis indo (berdarah campuran) yang berkebalikan dengan sang kakak,
Robert (Giorgino Abraham), ingin menjadi pribumi. Minke jatuh cinta pada
pandangan pertama. Annelies pun demikian. Namun cinta mereka takkan mudah,
sebab ketidakadilan hukum, budaya, juga persepsi sosial yang menggelayuti bumi
manusia senantiasa siap menghancurkan hubungan ini.
Apabila pernah membaca novelnya,
tentu anda tahu sudut pandang ceritanya selalu berganti, dari Minke, Annelies,
Nyai Ontosoroh, sampai PSK asal Jepang bernama Maiko (Kelly Tandiono).
Naskahnya sanggup merangkum semua, menyederhanakannya tanpa kehilangan
substansi.
Pun pemakaian durasi mencapai tiga
jam tidak sia-sia, kala Bumi Manusia menghasilkan
sebuah adaptasi yang setia. Tentu beberapa aspek perlu diringkas, dihapus, atau
dipindah penempatannya, namun Salman Aristo jeli memilih, mana yang wajib dipertahankan,
mana yang bisa diubah. Saya masih menemukan pergerakan kasar, misalnya saat di
suatu subuh Minke dijemput paksa oleh polisi, tapi keseluruhan, filmnya
mengalir mulus berbekal konsistensi pacing
juga tensi.
Itulah mengapa penunjukkan Hanung tepat.
Tidak banyak sutradara yang siap menangani drama kolosal berdurasi tiga jam
supaya gampang dinikmati, bahkan oleh penonton muda yang mungkin datang hanya
demi melihat Iqbaal. Dibutuhkan fokus, energi, sekaligus jam terbang tinggi.
Dan Bumi Manusia merupakan karya
penyutradaraan terbaik Hanung selama beberapa tahun terakhir, di mana ia sukses
meraih apa yang ia kejar sepanjang karir: melahirkan drama emosional yang bisa
menjangkau penonton umum, namun tetap elegan agar tak berakhir murahan.
Pendekatan tersebut menjadikan Bumi Manusia sebuah romansa epik,
dibantu musik Andhika Triyadi (Dear
Nathan, Dilan 1990, Dua Garis Biru) yang sempurna mewakili kemegahan kisah
berskala besar. Satu departemen sayangnya melemahkan kesan epik itu: tata
dekorasi. Ya, rumah Keluarga Mellema dan lokasi-lokasi lain sekilas tampak
bagus, terlalu bagus dan terpoles sehingga mengurangi kesan realistis. Bangunan-bangunannya
artificial layaknya panggung yang
(baru) dibangun ketimbang lingkungan nyata.
Apalah arti suguhan drama tanpa
performa apik jajaran pemain. Banyak orang menyuarakan keraguan terkait
pemilihan Iqbaal. “Kenapa Minke diperankan Dilan?!”, begitu ujar mereka. Tapi
pengalaman Iqbaal menghantarkan gombalan Dilan membantunya menghadapi
kalimat-kalimat romantis di film ini. Mampu pula ia seimbangkan sisi rapuh dan
kokoh Minke, meski saat tiba waktunya melakoni adegan yang menuntut luapan rasa
(orasi berapi-api, tangisan, dan lain-lain), ekspresinya kerap kurang natural.
Sedangkan bagi Mawar, Annelies
merupakan peran yang bakal melambungkan status kebintangannya. Bukan cuma
memiliki kecantikan, serupa Iqbaal, Mawar bisa menyeimbangkan dua sisi
karakternya. Dibuatnya kita gemas pada kemanjaan Annelies, sementara di lain
kesempatan, kekaguman terhadap ketangguhannya tak tertahankan.
Tapi tiada satu pun sanggup
menandingi Sha Ine Febriyanti, yang tampil bagai kekuatan alam yang menyedot
seluruh gravitasi di ruangan di tiap kemunculan, bahkan tanpa harus mengucap
sepatah kata pun. Sosoknya mantap, intimidatif, namun berhiaskan kehangatan
juga, tergantung situasi atau dengan siapa sang Nyai berinteraksi. Kemudian
sewaktu Ine mulai meningkatkan kadar emosi, hati ini pun ikut bergetar hebat.
Di tangan Ine, Nyai
Ontosoroh bagaikan figur pemimpin perjuangan tokoh-tokoh wanita film ini, yang
seluruhnya kuat, sanggup “berdiri dengan kaki sendiri” juga menaklukkan semua
pria, baik menggunakan cara keras (diwakili Nyai Ontosoroh) atau kelembutan (diwakili Ibunda Minke yang diperankan penuh kehangatan oleh Ayu Laksmi).
Inilah alasan, walau novelnya
terbit hampir 40 tahun lalu dan mengusung latar 121 tahun lalu, Bumi Manusia masih relevan. Perjuangan
menegakkan keadilan (ras, gender, agama) berlandaskan asas kemanusiaan masih
berlangsung sampai sekarang. Sebuah perjuangan yang dipersenjatai hati dan
cinta ketimbang (sekadar) amarah. Perjuangan tersebut bergema kuat, mungkin
sekitar separuh durasi, saya kesulitan menahan haru.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
25 komentar :
Comment Page:Mantap, Bang.
Tinggal nunggu 'Perburuan' nih...
Oke fix nonton, nunggu review dari mas rasyid dulu baru berani nonton ini.. karena ekspektasi saya rendah banget untuk film ini, bukan karena iqbal tapi karena penyutradaraan hanung yg beberapa tahun ini kurang memuaskan.
Kayaknya beneran harus nonton, nih... 😁
Berhubung aku jualan buku online, jadinya punya tetralogi pulau buru... BUMI MANUSIA masih nangkring manis aja di rak buku, sayangnya😊
Secara keseluruhan sependapat dengan review nya Mas Rasyid,hanya ada sedikit pertanyaan di hati saat meninggalkan bioskop,yaitu sikap Annalies yg semula tangguh mempertahankan cinta, Mama dan segala yg dimilikinya, kurang tersampaikan kepada penonton alasan yg membuat ia menjadi begitu nerimo, legowo, bahkan mempersilahkan officer penjemput membantunya berkemas, apakah karena ia tidak mau ada jatuh korban lebih banyak, atau sudah patah semangat,atau ada planning lain. Itu saja sekedar uneg uneg dari penonton awam yg kebetulan belom pernah baca buku nya.
Saya kaget kenapa Maiko jadi seperti itu.
Perburuan, well....
Hanung lagi prima ini. Dapet skrip & aktor yang oke pula.
Semoga setelah film ini pada tertarik baca ya :)
Di novel juga (seinget saya) nggak diceritakan gamblang. Tapi di situ cinta dia ke semua hal udah jauh lebih besar dari cinta ke diri sendiri.
Jadi Kelly 😂
Kata Hanung, ending-nya bakal tragis. Tapi, ternyata terllau tragis. Saya belum pernah membaca novelnya, jadi ya tidak siap dnegan ending-nya. :-(
Oh iya, sejauh ini, ini satu-satunya film Indonesia yang membuat saya harus sering membaca subtitle ketika menonton. Alasannya? Saya tidak mengerti bahasa Belanda dan hanya secuil mengerti bahasa Jawa.
Aku aja baca novel nya nangis wkwk
Sebenernya sih kalo dari yg aku baca di novel, ya yg aku tangkep sih, krn annelies itu kan polos banget ya. Jadi kayaknya sih lebih karna shock gitu lho dia, makanya sempet gabisa diajak ngomong gitu. Ya karena saking polosnya trus dia kaget gitu
Aku pesimis malah sama perburuan wkwk
Pendapat pribadi malah kecewa banget sama penulisan naskahnya seakan akan kalo mau nonton filmnya harus baca novelnya dulu. Jujur gue bukan pembaca novel tapi ngikutin banget film makanya ya mantengin film adaptasi ini tapi pemilihan subplot2 oleh Salman seakan-akan bingung, banyak adegan yg gak berarti dan gajelas endingnya kemana. Sebagai non-pembaca malah bingung ini arah ceritanya tuh mau kemana sih, main plot emg jelas tapi subplotnya bener2 membingungkan. Akhir film banyak yg tepuk tangan...aneh banget maap, emg secara produksi keren abis tapi duh naskahnya memalukan. Maaf tidak sependapat, kan saya juga berpendapat hehe.
Iqbaal sempat di remehkan ketika jd Minke, pdl sebenarnya relevan mengingat di novel Minke emang sebaya dgn Iqbaal, dan saya yakin Iqbaal bisa meranin krn Iqbaal aktor yg cerdas. Seneng bgt adaptasinya bs detail mewakili isi bukunya. Hanung sdh dpt momentumnya kembali. Bumi manusia menurut saya merupakan film Indonesia terkeren dan terbagus sejauh ini.
3 jam yang menarik dan tidak bikin ngantuk
Padahal belum baca novelnya
Tapi sangat menikmati filmnya
Akting pemain bagus
Visual juga oke
Sependapat sih. Menurut gw film ini sama sekali ga mendekati angka 8. Pada akhirnya w kasih 7. Bingung antara 6 apa 7. Spt yg disebutin ama TS, kebanyakan subplot jadinya kuranv fokus ceritanya. Mana editingnya jelek lagi, baru masalah muncul. 3 menit kemudian masalah terselesaikan. Ntar muncul lagi masalah, 3 menit lagi selesai. Jatuh malah super boring.
Untuk aktingnya buat aktor aktris yg udah dewasa emg pada bagus semuaaa. Mungkin krn pengalaman juga. Yg muda2 masih kurang. Kadang kaku, kadang overacting. Setidaknya makin ke ending, makin natural sih aktingnya. Dari segi score juga b aja. Ga ada yg wow. CGI nya juga ga bagus. Tp ini masih okelah. Negara kita emg belum bisa buat CGI cantik, jadi w maklumin. Cuman kurang suka aja pemilihan buat tone filmnya, terlalu hijau kalo kata gw. Jadi keliatan rada kusam filmnya. Padahal kalo tone gambarnya lebih ke coklat bakalan cantik pasti. Overall kecewa sih sama filmnya. Definitely not gonna watch the sequel (kalau ada).
Yap bener banget, dengan novel yg kompleks subplotnya jadi dipaksa masuk semua, alih-alih setiap bagian dari ceritanya terwakilkan ehh malah jadi percuma, bakal lebih bagus kalo subplotnya ditebas sekalian atau kelarin sekalian. Elemen utama yg bener2 flawful bikin gue sendiri ngasih 2.5/5 sih haha appreciate dikit usaha dari segi teknisnya.
Iya emg scorenya tuh sebenernya maju banget menurut gue tapi malah overplayed dan jadi ganggu. Cginya yap lumayan lah untuk indo, tapi cacat visualnya adalah palet warna yg saturasinya ketinggian dan produksi set yg terlalu "fresh". Kalo acting selain sha ine febriyanti, standar ke nanggung si.
Saya pembaca novelnya. Ketika nonton film bikin nangis dan ketawa yang gak saya rasakan pas baca bukunya (in good way). Bagian sungkem, jamuan makan, sidang, suapan, pamit juga keren banget sumpah sesuai ekspektasi. Sayangnya bagian paling favorit yaitu saat Minke jalan jongkok sambil pikirannya mengkritisi tradisi jawa di film ini selewat doang. Padahal saya berharap ada monolog.
Satu lagi, kenapa ya hal remeh kayak motif Gendut Penguntit sama motif Babah Ah Tjong gak dijelasin di film? Keknya orang yang belum baca bakal kebingungan deh
Digarap oleh Hanung saja sudah bagus begini, gimana ya kalau waktu itu Oliver Stone diijinkan yg garap filmnya?
Entah sih gue justru ga yakin sama sutradara/produser luar untuk garap film berlatar sejarah indonesia, apalagi sutradara amerika, you know lah, amerika. Selain ga relate sama ceritanya, perspektif orang amerika terhadap negara asing itu cenderung merendahkan, jangankan Indonesia yg sering dianggap negara antah berantah, eropa aja mereka anggap rendah. Liat adaptasi Hollywood dari novel-novel Eropa pemenang Nobel, sama sekali ga ada respect-nya sama source material. Novel latar Rusia kebudayaan Rusia tapi diperankan oleh aktor-aktor Amerika dengan bahasa Inggris aksen Amerika. Kalo Hollywood garap Bumi Manusia. Ujung-ujungnya filmnya jadi punya intensi menyimpang dan mengandung propaganda tersembunyi. Ga aneh kalo semasa hidupnya Pram menolak novelnya diadaptasi oleh produser asing.
Aku malah merasa akting Iqbaal yang paling canggung di antara pemain muda di sini. Paling terkesan sm yg jd suurhof dan annelies.mungkin,...entahlah.ekspresi wajah dan gerak terasa kaku..minke adalah pemuda penuh kritik dan pada saat bersamaan juga "laid-back" dg gadis, tetapi ketika melihat iqbaal sy merasa sosok minke berubah menjadi...bukan Minke. Itu pendapat saya.Secara keseluruhan, pusat karakter di film ini adalah Nyai Ontosoroh..
Nyai ontosoroh emang bener bener femme fatale banget. Unch
Waktu nonton Sha Ine Febriyanti di ¤Nay.. sy suka banget aktingnya yg kuat sekali di film.
Film alternatif mini aktor yg berkat peranan Ine jadi bagus banget.
Hebat Hanung bisa menemukan Ine berperan di filmnya.
Padahal di ¤Nay, doi terkesan selebor banget.
Ine bermetamorfosa demikian cantik, anggun & berkharisma.. super kaget bisa seperti itu setelah lihat ¤Nay.
Dan.. sy nangis deras di ending, berkat adegan s**p di kamar (spoiler).
Yg pernah broken heart & kehilangan dijamin hancur luluh lantak hatinya.
Tksh Hanung.. utk film yg demikian bagus.
Harus baca novel ¤Bumi Manusia setelah ini.. kalimat-kalimat Pramoedya magis.
Posting Komentar