Bagaimana cara menjadikan horor
pendek tentang gangguan hantu di tengah salat sebuah film panjang? Cukup
meragukan, apalagi ditambah keterlibatan Baginda Dheeraj Kalwani. Tapi proyek
adaptasi film pendek berjudul sama karya Riza Pahlevi ini rupanya lebih baik
dari perkiraan jauh di atas produksi Baginda Dheeraj lain, meski pencapaian itu
terbilang mudah selama film anda bukan sampah.
Kisahnya membawa kita ke suatu
asrama yang dikepalai oleh Rosa (Reny Yuliana), menggantikan Ibu Kinanti
(Jajang C Noer) yang terbaring sakit. Berbeda dengan sang pendahulu, Rosa
bersikap keras cenderung kecam pada para penghuni, khususnya Nurul (Tissa
Bianni), Nisa (Bianca Hello), dan Putri (Adila Fitri) yang dilarang pulang
selama liburan akibat gagal mendapat rata-rata nilai 8.
Seolah belum cukup sial, bukan cuma
teror pengurus asrama galak saja yang mesti diadapi, pula sesosok makhluk halus
yang dijuluki “Hantu Makmum” karena kerap meneror kala mereka menjalankan
salat. Adegan pembukanya langsung menunjukkan peristiwa gaib tersebut, tatkala
sutradara Hadrah Daeng Ratu (Mars Met
Venus, Jaga Pocong, Malam Jumat the Movie) sanggup mereka ulang nuansa
atmosferik film pendeknya.
Sampai suatu ketika datang Rini
(Titi Kamal), mantan penghuni asrama yang menawarkan diri menjadi mentor pasca
pekerjaannya sebagai perias mayat gagal menghasilkan uang, membuatnya diusir
dari kontrakan. Penokohan Rini menarik. Dia bisa melihat hantu dan tidak takut
pada mereka. Bahkan Rini berani “menghardik” makhluk tak kasat mata yang
berbuat iseng ketika ia sedang bekerja.
Jarang horor lokal mempunyai
protagonis semacam itu. Saya pun menantikan bagaimana duet penulis naskah Alim
Sudio (Ayat-Ayat Cinta 2, Dimsum
Martabak, Kuntilanak) dan Vidya Talisa Ariestya mengembangkan tokoh Rini
begitu ia memutuskan membantu anak-anak asrama menyelidiki teror hantu Makmum. Tapi
harapan tinggal harapan. Di sisa durasi, Rini tak ubahnya protagonis horor
kebanyakan yang hanya mampu kaget, takut, lalu kabur, dan praktis
menyia-nyiakan talenta Titi Kamal.
Potensi Rini pelan-pelan terkubur,
berakhir sebagai satu lagi karakter yang mudah dilupakan. Satu poin yang terus
saya ingat mengenainya adalah luka bakar di tangannya. Mengapa ia tidak
mengenakan sarung tangan? Mungkin itu takkan banyak membantunya memperoleh
pekerjaan di dunia tata rias (manusia hidup), namun setidaknya mengurangi
kecanggungan saat berjabat tangan dengan orang asing.
Bagaimana usaha naskahnya
melebarkan cerita delapan menit menjadi 95 menit? Awalnya semua berjalan baik,
malah menarik kala mitologi soal Kanzan, alias hantu-hantu yang gemar mengusik
ibadah salat, diperkenalkan oleh Ustaz Ganda (Ali Syakieb). Sampai Alim dan Vidya seolah melupakan pembangunan
tersebut, kemudian memperkenalkan twist yang
justru menciptakan kontradiksi mengenai asal-usul si hantu pengganggu.
Masih terkait penulisan, Makmum juga terjebak kebiasaan buruk
film kita, khususnya horor, yakni pemakaian baris kalimat yang asal
mencampurkan diksi santai dan baku, yang berakhir terdengar kaku. Paling mendapat
kerugian dari gaya bahasanya adalah Arief Didu sebagai Slamet si penjaga
asrama. Arief yang biasanya luwes, di sini bak terbebani. Masalah berbeda
menimpa Tissa Biani. Seperti biasa, urusan olah emosi, aktris muda ini piawai,
tapi pelafalan Bahasa Jawanya mengganggu akibat terkurung stereotip buatan
sinetron dan FTV.
Makmum sejatinya bukan sajian murahan. Poin pembeda dari produksi
Baginda Dheeraj lain yakni keberadaan beberapa teror yang efektif. Memasuki
horor ketiganya, Hadrah semakin cerdik memainkan atmosfer sembari meminimalisir
pemakaian musik. Urusan timing pun ia
membaik, terlihat jelas dalam “jump scare
lemari” yang didahului pembangunan mencekam sebelum ditutup gebrakan
mengejutkan.
Sayang, begitu dihadapkan pada
sekuen berintensitas tinggi yang menuntut kejelian mengolah dinamika,
sebagaimana di Jaga Pocong dan Malam Jumat the Movie, Hadrah masih
canggung. Baik dari pilihan shot maupun
gerak kamera (yang artinya juga tanggung jawab Rendra Yusworo selaku sinematografer)
seperti kekurangan daya. Alhasil, kualitas klimaks di mana kekacauan memuncak
terjun bebas, bergerak layaknya orang kelaparan.
kirain reviewnya bagus n kasih 3,5...
BalasHapustrus weekend jadi nonton apa ya?
kasih saran dong,
bumi manusia, scary story to tell in the dark, atau makmum? atau sekalian nunggu angry bird 2 minggu depan?
Scary stories to tell in the dark, lebih bagus
HapusBumi Manusia! 😁
HapusTiti Kamal difilm ini gimana bung..film horor pertamanya kan yah
BalasHapusYa kayak di review, nggak dikasih materi mencukupi
HapusApapun review nya saya tetep nonton. Hehehe...
BalasHapusTermasuk Bumi Manusia
Sikat lah. Nggak busuk kok
HapusSaya ngeliat film ini tonenya kuning banget bang. Ketara waktu rini ketemu ganda di masjid. Kurang enak aja diliatnya. Terornya emang makin bagus diantara film horror baginda dheeraj sebelumnya. Cuma kurang sreg sama alasan si makmum bisa jadi hantu,yang awalnya bisa dibilang karena kelalaian sendiri 😂 Btw dee company kayaknya cocok kalo terus kerja bareng sama bu hadrah ya bang (belum nonton #malamjumat)
BalasHapusItulah inkonsistensi. Jadi mau nampilin Kanzan apa setan yang dendam?
HapusHadrah punya talenta yang layak garap film jauh lebih bagus dari Dee
Nah itu walaupun ada cerita kenapa di kanzam nongol di asrama itu. Mana endingnya cuma gitu doang. Harusnya bisa dibikin lebih greget lagi.
HapusKalo dapet ph yang mendukung mungkin bisa lebih bagus ya bang. Starvision mungkin...
Udah nonton
BalasHapusMenurut saya KK Dheeraj mengalami kemajuan jika dibanding era Genderuwo, Pocong mandi Goyang Pinggul, Hantu Pacar Perawan, Arwah Kuntilanak Duyung, dll
Sinematography Makmum cukup bagus dan enak dilihat
Ada salah satu jumpscare yang memang efektif. Bikin kaget penonton.
Tidak kecewa sih nontonnya. Cuma memang kurang sesuai harapan.
Kurang serem dan kurang banyak scene hantu makmum yang godain orang shalat.
"Cukup meragukan, apalagi ditambah keterlibatan Baginda Dheeraj Kalwani" R.I.P. Makmum
BalasHapus