The Divine Fury takkan secara ajaib meningkatkan keimanan penonton
saat ajakannya agar mempercayai Tuhan dipaparkan kurang meyakinkan (khususnya
bagi para skeptis), namun jika tujuannya adalah menyampaikan pesan soal “mengutamakan
kebaikan di atas segalanya” sekaligus membuat para ahli agama terlihat keren,
film ini berhasil menjalankan tugasnya.
Paruh awalnnya langsung menggigit
lewat rangkuman hal-hal yang menyulut ketertarikan sekaligus menata pondasi
narasi. Saat kecil, Yong-hoo (Park Seo-joon) harus kehilangan ayahnya yang
meninggal kala bertugas sebagai polisi, dan hendak mengejar pengendara mobil
yang mabuk, tanpa tahu ada iblis merasuki mereka. Yong-hoo yang berdoa sepenuh
hati pun berakhir membenci Tuhan setelah sang ayah pergi untuk selamanya.
Pembukaan itu memukau, sebab mampu
memberi alasan jelas sehingga kita mudah memahami kebencian Yong-hoo sembari
turut menyiratkan misteri mengenai serbuan iblis. Satu dekade berselang,
Yong-hoo adalah juara bertahan kompetisi bela diri yang tetap kesulitan
mengontrol emosi. Bisikan-bisikan kerap didengarnya. Pada satu titik, ia menggila
karena lawannya memiliki tato salib di punggung.
Kemudian hal misteris terjadi.
Tangan Yong-hoo mengalami luka sayatan dan tak pernah berhenti mengalami
pendarahan. Sewaktu pengobatan medis tak membantu, ia beralih meminta bantuan Ahn
(Ahn Sung-ki), pendeta utusan Vatikan yang menyambangi Korea guna memburu Dark
Bishop (Woo Do-hwan) si penyembah setan.
Luka itu rupanya merupakan stigmata
(munculnya luka di tubuh dengan letak sesuai dengan luka Yesus saat disalib)
yang dapat digunakan untuk mengusir iblis dalam tubuh manusia. Dari situlah
Yong-hoo mulai membantu Pendeta Ahn melawan Dark Bishop beserta sekumpulan
pasukan iblisnya (Legion). Hebatnya, melunaknya sikap Yong-hoo dipresentasikan secara
meyakinkan, karena: a) Dia tidak mendadak percaya Tuhan (bahkan masih
menyatakan skeptisme sebelum klimaks), dan b) Terdapat alasan personal.
Asalan tersebut tak lain penemuan
Yong-hoo atas figur ayah dalam diri Pendeta Ahn. Begitu rindu ia terhadap sang
ayah, Yong-hoo enggan kehilangan “ayah yang lain”. The Divine Fury memang kembali menegaskan keahlian sineas Korea
mencampur aduk ragam genre. Dasar ceritanya memang religi, namun mendapat
suntikan aksi, horor, fantasi, juga melodrama keluarga.
Dramanya ampuh mengaduk-aduk emosi
karena dibangun bertahap, dari paparan penderitaan batin Yong-hoo hingga ia
memperoleh “pencerahan”. Biarpun masih ada ceramah mengenai “Percayalah bahwa
Tuhan mencintaimu”, itu bukan pendorong perubahan sikap sang protagonis. Dia
berubah pasca menemukan kasih sayang (lagi), serta memahami betapa menolong dan
membahagiakan orang lain juga mendatangkan kebahagiaan baginya sendiri. Agama
menurut definisi The Divine Fury bukan
(cuma) soal memperbanyak ritual beribadah. Terpenting justru berbuat baik.
Mungkin film ini mengandung lebih
banyak adegan pengusiran setan bahkan dibanding film-film yang mencantumkan
kata “exorcist” atau “exorcism” pada judulnya, namun tak
pernah menjadikannya repetitif, sebab apa yang Yong-hoo dan Pendeta Ahn hadapi
bukan saja ancaman kekuatan fisik dan mistis para iblis, pula senjata paling
berbahaya mereka: tipu daya. Apalagi Dark Bishop selaku antagonis dibantu oleh
iblis berwujud ular (kalian tahu seperti apa sifat makhluk satu ini dalam
kitab-kitab suci) yang memasuki paruh akhir dihidupkan memakai efek praktikal
kelas satu.
Guna menghadapi lawan semacam itu
butuh jagoan mumpuni, dan Park Seo-joon, bermodalkan karisma, postur, dan
tentunya kemampuan bela diri memadai, melahirkan sosok protagonis badass. Silahkan lihat klimaksnya. Meski
diganggu oleh keberadaan elemen deus ex
machina, pertarungan puncaknya memamerkan koreografi beroktan tinggi, disokong
pengadeganan dinamis sutradara Jason Kim (Midnight
Runners), yang berhasil membangun tensi saat bersedia memperlihatkan jelas
detail perkelahian.
Nonton dmn bang ? Udah keluar ya ? Sepertinya wajib ditonton sembari menanti keluarnya once upon a time in holywood dan midsommar
BalasHapusSneak peek sampai tanggal 13, reguler mulai 14
HapusIni film ternyata horror toh kirain action. Byk setan2nya gak bang? Apa lebih ke adegan sadis aja?
BalasHapusYa action-horror. Setan yang nyurupin orang banyak. Adegan sadis malah dikit.
HapusJadi ingin nonton dan penasaran gmna lagi lagi ngeliat kehebatan sineas korea mengaduk aduk emosi dan genre..salute
BalasHapusKok review filmnya sekarang nggak ada niai bintangnya ya bang?
BalasHapusAda kok. Belum ke-load mungkin
HapusBaru baca di Twitter tweetnya @adiwr*Ter katanya midsommar gagal tayang di indo karena banyak sensornya gak nahan. Bener kah?
BalasHapusKarena sumbernya dari Mas Adi, 90% bisa dipercaya. Kecuali importir, eksibitor, dan lsf bisa diskusi untuk jalan tengah.
HapusKeren film nya.. thanks reviewnya mas Rasyid
BalasHapus