Pernikahan itu menyeramkan.
Pertanyaan “sudahkah aku siap?” bakal setia menggelayuti. Tapi kita takkan
pernah siap berada di posisi Grace (Samara Weaving), tatkala keluarga sang
suami (Keluarga Le Domas) bukan cuma menolak, tapi berusaha membunuhnya. Dan
sembari Grace ketakutan setengah mati, penonton diajak bersenang-senang
menikmati penderitaan sang protagonis.
Sejatinya Grace telah mengetahui
bahwa Alex (Mark O’Brien) punya keluarga disfungsional. Si ayah mertua (Henry
Czerny) membencinya, si kakak ipar (Adam Brody) gemar merayunya, sementara
Helene (Nicky Guadagni), bibi Alex, terus memandanginya lewat tatapan
menghantui. Grace siap menghadapi kesulitan adaptasi, tapi tidak dengan ritual
aneh yang memaksanya mengikuti permainan tepat tengah malam selepas upacara
pernikahan.
Ritual ini adalah rutinitas,
layaknya perploncoan bagi calon anggota keluarga baru. Kenapa melalui
permainan? Karena kekayaan melimpah Dinasti Le Domas dibangun di atas bisnis
permainan. “Kamu hanya perlu bermain”, demikian ucap Alex guna menenangkan sang
istri. Tiba tengah malam, dan Grace mesti memilih jenis permainan dengan
mengambil kartu acak dari kotak misterius, yang konon diperoleh kakek buyut
Keluarga Le Domas dari seorang pria bernama Mr. Le Bail.
Grace menarik kartu bertuliskan “Hide & Seek”. Bukan petak umpet
biasa tentunya, karena di sini Grace mesti bersembunyi dari kejaran Keluarga Le
Domas yang berusaha membunuhnya sebelum matahari terbit. Muncul pertanyaan, “Apa
yang terjadi bila Grace mendapat kartu lain?”. Permainan lain jelas lebih
ringan, melihat banyaknya menantu Keluarga Le Domas yang selamat. Sebuah
eksplorasi tambahan yang niscaya menambah daya tarik, namun ketiadaannya
bukanlah dosa.
Terpenting, bagaimana Ready or Not menghantarkan hiburan
efektif melalui sajian horor/thriller seru
berbumbu komedi hitam yang cenderung brutal. Tingkat kekerasannya di atas
rata-rata, yang bersumber dari situasi sepeti wajah meledak, kepala pecah,
pemenggalan, dan lain-lain. Tapi hampir seluruh kebrutalan tersebut berujung
memancing tawa, tatkala duo penulis naskahnya, R. Christopher Murphy (Minutes Past Midnight) dan Guy Busick,
berani menerapkan selera humor unik sekaligus sakit milik mereka.
Filmnya semakin menggelitik pasca
kondisi berbalik, ketika Keluarga Le Domas yang awalnya ditampilkan bak
gerombolan psikopat, mulai memperlihatkan kecanggungan, ketidakmampuan, serta
kebodohan masing-masing, sedangkan Grace sang buruan pelan-pelan menemukan
pijakan bahkan berbalik mengancam para pemburunya.
Diperankan begitu apik oleh Samara
Weaving, sosok Grace jadi bukti nyata bahwa skena horor butuh lebih banyak figur
protagonis wanita yang sanggup melawan balik. Selain tampak tangguh, Samara pun
mampu menangani sikap (dan tutur kata) “peduli setan” milik Grace untuk
menciptakan situasi komedik yang tak jarang histerikal. Serupa kesuksesan
Jessica Rothe dalam peran serupa di seri Happy
Death Day, Samara Weaving pantas mendapat perhatian lebih selepas film ini.
Sayang, penyutradaraan duet Matt
Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (V/H/S,
Devil’s Due, Southbound) kerap kurang mampu mengejar naskah playful dan performa energetik sang
aktris utama. Di beberapa kesempatan, khususnya momen aksi bernuansa kacau,
sulit melihat detail kejadian akibat pemakaian close up plus pergerakan kamera yang terlampau cepat. Pun keduanya
tak kuasa memberi pertolongann saat naskahnya sempat kehabisan ide jelang babak
ketiga, di mana jalan menuju ke sana disusun oleh repetisi melelahkan.
Beruntung, baik departemen
penulisan maupun penyutradaraan sama-sama enggan menahan diri meluapkan banjir
arah pada klimaks yang menyentuh ranah horor splatter, bak gabungan Scanners
dan Dead Alive. Pun selagi menggila,
Ready or Not tak ketinggalan menyisipkan
pesan, dari persoalan keluarga seperti pola asuh, keserakahan, sampai
pertanyaan, “Jika seseorang memihak keluarga ketimbang pasangan hidupnya,
apakah itu sungguh wujud kasih sayang atau sebatas sikap pengecut?”
Apakah ada bagian yang disensor?
BalasHapusAda tapi nggak berasa
Hapus[(Mungkin) SPOILER ALERT]
BalasHapusPas lihat trailer, awalnya mikir film ini kayak film2 horror thriller pada umumnya. Ternyata salah. Disini semua kata2 kotor dimuntahkan, darah dimana-mana. Bahkan proses kematian yang ditampilkan lewat suara kesedak saja lumayan bikin bergidik.
Saya tetap ngeri dengan adegan Paku. gak A Quiet Place, gak di film ini, benar2 bikin ngilu.
Demen sama komedinya. Biasa kan yang bertindak "bodoh" itu korban2nya, ini malah para pembunuh2nya.
@Unknow : ada beberapa yang dipotong. Tapi tidak kasar pemotongannya seperti Hellboy. Efek rating yang 17+.
Saya suka bagaimana grace mengucapkan kata "FUCK" dengan penuh penjiwaan haha
BalasHapusMr. Le bail tampaknya juga segan sama si grace
Ditunggu mas review gundala nya
BalasHapusBahasin Mindhunter napa bang... Udh 2 season di NF
BalasHapusLagu yang di nyanyiin pembantu cowok itu judulnya apa bang?
BalasHapus