Apakah dunia lebih baik tanpa agama?
Saya ragu, tapi untuk film ini, dengan mantap saya menjawab, “YA!”. Wedding Agreement adalah romansa bernyawa yang jadi bermasalah
akibat perspektif agama—yang kebenaran interpretasinya pun layak diperdebatkan—yang
tampak kolot pada era sekarang, di mana kesadaran akan isu gender serta kesejahteraan
dalam pernikahan.
Premisnya sendiri memancing
setumpuk pertanyaan. Alkisah, Bian (Refal Hady) dan Tari (Indah Permatasari)
terpaksa menjalani proses perjodohan. Ketika Tari ikhlas menerima dan berusaha
menjadi istri sebaik mungkin, Bian justru menawarkan perjanjian berisi
persetujuan bahwa keduanya akan bercerai setelah setahun. Alasan utamanya, ia
masih mencintai mantan tunangannya, Sarah (Aghniny Haque).
Apakah Tari coba menyelamatkan
pernikahan ini karena sungguh mencintai Bian atau sekadar obligasi? Mengapa
Bian tak menikahi Sarah? Apakah Sarah bukan wanita baik? Jawaban bagi deretan
pertanyaan itu sifatnya signifikan guna menentukan apakah sudut pandang film
ini meresahkan atau tidak. Bukan hanya soal setuju atau tidak setuju, tapi
perihal tanggung jawab sebuah film terhadap target pasarnya.
Apabila Tari memang mencintai sang
suami, maka perjuangannya patut didukung, sebab bukan bentuk pemenuhan
kewajiban istri sebagai “pelayan suami”. Apalagi jika ternyata Sarah punya
keburukan yang sukar ditoleransi, yang gagal Bian lihat akibat dibutakan cinta.
Kalau memang demikian, perjodohan dua karakterya masih pantas dijustifikasi.
Saya tak bisa membocorkan semua jawabannya secara detail, kecuali bahwa saya
gagal dibuat memihak Wedding Agreement sepenuhnya.
Ada dua pernyataan berbahaya
terkait religiusitas di sini. Pertama, bahwa perceraian dipicu oleh bisikan
setan. Saya tidak sedang mendukung perceraian, namun di beberapa kasus, itu
memang diperlukan, khususnya dalam lingkup target pasar Wedding Agreement, di mana kuku patriarki masih kuat menancapkan
kekuasaan dan kerap menghasilkan pernikahan abusive.
Berbahaya jika seorang istri dalam kondisi pernikahan tersebut menonton film
ini, dan nekat bertahan demi menghindari tudingan “teman setan”.
Kedua, tatkala Bian bebas pergi
sesuka hati tanpa pamit dan segalanya baik-baik saja, tetapi tatkala Tari
melakukan itu, perjalanannya berantakan, seolah Tuhan turun tangan melempar
azab. Mau sampai kapan istri-istri Indonesia beranjak dari status “bawahan
suami” kalau persepsi seperti ini masih diagungkan? Bukan sepenuhnya kekeliruan
Archie Hekagery (Lo Gue End) selaku
sutradara sekaligus penulis naskah, mengingat ini merupakan adaptasi novel
berjudul sama karya Mia Chuz yang turut terjun menulis naskah bersamanya.
Biar begitu, berbeda dibanding
mayoritas film religi lain, fakta-fakta di atas tak memancing amarah. Saya
justru sedih, karena di luar persoalan itu, Wedding
Agreement adalah sajian romansa memikat. Buktinya, meski dihadapkan pada
banyak elemen problematik, saya tetap mendukung bersatunya Tari dan Bian.
Interaksi keduanya hidup, utamanya
berkat chemistry solid Indah dan
Refal. Begitu mereka mulai menjalani masa-masa bahagia, lalu sama-sama
tersenyum, saya bisa merasakan cinta. Sebuah cinta yang hangat. Terlebih Indah,
lewat aksi olah rasa mumpuni yang seketika merenggut perasaan, otomatis membuat
saya berharap Tari memperoleh keinginannya. Indah bagai perwujudan kebaikan
hati, yang menjadikan perubahan sikap Bian bisa dipercaya.
Penampilan Aghniny Haque juga jadi
faktor penentu agar penonton semakin mendukung Tari. Bukan karena ia berakting
luar biasa, sebaliknya, begitu buruk performa Aghniny, berat rasanya merelakan
Bian berakhir menikahi Sarah. Seolah sang aktris melakukan pengambilan gambar
sambil membaca naskah dengan pikiran kosong. Bahkan Ria Ricis sebagai Ami,
sahabat Tari, yang tampil mengolok-olok personanya selaku YouTuber, jauh lebih nyaman disaksikan.
Rasa milik Wedding Agreement menguat, berkat pemahaman Archie perihal
memunculkan rasa manis bahkan kesan magis kala jatuh cinta, dalam
pengadeganannya. Berbekal ketepatan bermain tempo plus musik gubahan Andhika
Triyadi (Warkop DKI Reborn, Dilan 1990,
My Stupid Boss 2), momen kala kedua protagonis akhirnya sungguh-sungguh “berbagi
kamar” terasa indah nan sakral. Begitu pula klimaksnya, yang secara cerdik
mengiklankan MRT sebagai pilihan transformasi penangkal macet. Saya tidak
merasa Wedding Agreement harus
melucuti seluruh elemen agamanya, tapi menambahkan humanisme niscaya bakal membuat
kualitasnya melambung.
Premisnya buat saya ga menarik blass
BalasHapusBerarti sebab kenapa bian tak bisa menikahi sarah tak dijelaskan ya mas? Kalo di novel sih ada... Padahal bagian penting itu.
BalasHapusDijelasin kok. Karena ibunya nggak setuju kan? Dan karena ibunya kanker. Tapi kenapa ibunya nggak setuju? Ada hal jelek apa di Sarah? Kalau nggak ada ya nggak bisa dikustifikasi.
HapusGregetan sama aktingnya Sarah yg kayak di hipnotis karena suka pasang tatapan kosong dan kurang natural sebagai orang ketiga. Filmnya dari awal udah kebaca tapi tetap worth it buat ditonton.
BalasHapusApakah ini mirip film2 religi di Indosiar produksi MKF demenan emak ane bang?
BalasHapusYa jauh bagusan ini dong 😁
HapusKalau saya sih suka banget sama filmnya
BalasHapusWalau sekilas premis nya seperti FTV
Tapi penggarapan adegannya bagus dan menarik
Bikin senyum2
Cuma endingnya aja yang kurang bombastis
Lebih baper nonton film ini ketimbang Dilan yang malah bikin kesel
Hehehe...
Oh iya, kalau urusan drama-romance emang bagus ini. Punya rasa. Religinya yang agak-agak
HapusJustru adegan masuk kamar itu bang yg bikin saya kerut. Kok tari mau2nya gitu sblm ada kepastian bian bakal milih siapa. Toh agreementnya juga masih berjalan kan.
BalasHapusBagus filmnya. Ada unsur religi dan positif. Di saat banyak film yang nilainya kurang atau sekedar komedi garing
BalasHapus