Good Boys adalah sebenar-benarnya coming-of-age, di mana karakter bocahnya berpetualang merambah
teritori asing seperti seksualitas, perasaan pada lawan jenis, cita-cita, hingga
yang paling kompleks, perceraian orang tua. Jelas bukan tema baru, namun debut
penyutradaraan Gene Stupnitsky ini mempertahankan satu elemen yang belakangan kerap
dikesampingkan sajian coming-of-age (yang
dicap “berkualitas”) khususnya dari sinema arus alternatif, yakni kepolosan.
Kepolosan sering dikesampingkan
atas nama realisme. Good Boys membantah
anggapan tersebut. Menjelang usia remaja awal, anak-anak bukan berkontemplasi
soal esensi hidup, melainkan diam-diam menjadikan karakter gim sebagai bahan
masturbasi dan memendam rasa ke teman sebaya seperti Max (Jacob Tremblay),
ingin dianggap keren seperti Thor (Brady Noon), atau kebingungan menyikapi
perceraian orang tua layaknya Lucas (Keith L. Williams).
Ketiganya adalah sahabat yang
menamakan diri sebagai “Bean Bag Boys”.
Duduk di bangku kelas enam SD, mereka mulai memasuki fase tumbuhnya
ketertarikan untuk melanggar norma dan perintah orang tua, tapi terjebak dilema
ketika pendidikan tentang moralitas masih mengakar kuat di kepala. Alhasil, tatkala
Max hendak menghadiri kissing party yang
diadakan Soren (Izaac Wang) si bocah populer, agar bisa mencium gadis pujaannya,
Brixlee (Millie Davis), ketiganya justru terjebak petualangan penuh masalah.
Naskah buatan Gene Stupnitsky
bersama Lee Eisenberg (keduanya pernah berduet menulis 15 episode The Office) melahirkan observasi
mengenai pendewasaan secara cerdik, tatakala membuktikan bahwa kedalaman
penelusuran tidak melulu wajib disajikan serius. Humor-humornya beberapa kali
menyentuh ranah dewasa, khususnya yang berbau seksual, tapi dijabarkan melalui
kacamata anak, sehingga ketimbang jorok, kesan yang muncul adalah kepolosan.
Apa respon anak-anak bila menemukan
peralatan BDSM, boneka seks, atau narkoba? Bagaimana pula jika—serupa anak pada
umumnya—dengan kenaifannya, tokoh-tokoh film ini bersikap bak orang dewasa? Kelucuan
pun berhasil konsisten dihadirkan, apalagi naskahnya memiliki kreativitas
tinggi dalam memproduksi komedi dari hal-hal yang amat dekat dengan keseharian.
Kecerdikan humornya bukan cuma ada di perihal seksualitas. Salah satu favorit
saya adalah sosok Annabelle (tentu anda tahu karakter yang diperankan Lina
Renna terinspirasi dari mana), kakak perempuan Thor yang gemar muncul tiba-tiba
sambil berbicara dengan nada mengerikan.
Stupnitsky membawa Good Boys melaju dalam kecepatan serta
energi tinggi, penuh letupan hasil cekcok tiga protagonis, yang acap kali
justru menjadi bumerang, akibat monotonitas tempo. Hampir selalu berlangsung
tinggi, terkadang humornya meleset dari target. Tapi di sisi lain, inilah wajah
realisme versi Good Boys. Sebab, anak
kecil mana yang bertengkar dengan lembut bersama sahabat-sahabatnya?
Good Boys takkan sebaik ini kalau tidak didukung kehebatan tiga
pemeran ciliknya menjalin chemistry.
Apa pun kenakalan dan kesalahan yang diperbuat tidak mengurangi simpati saya pada
ketiganya, karena trio Tremblay-Noon-Williams mampu meyakinkan bahwa semuanya didorong
keluguan dan kesetiakawanan. Berkat solidnya para aktor menghidupkan
persahabatan karakternya, konklusi yang ditawarkan pun bisa menyentuh hati,
saat sekali lagi Good Boys melukiskan
realita (kali ini terkait hubungan pertemanan seiring pendewasaan) tanpa
kehilangan jiwa anak-anaknya.
Min ngeriview The Irishman nya scorsese sama Little Women (kalo ga salah sutradaranya film lady bird) nggak? Sama mau tanya min kalo mau nonton star wars nya j.j abrams apa harus nonton episode i - vi nya dulu baru bisa ngerti ceritanya? Btw reviewnya keren bang udah lama saya baca review film abang.. bagus banget bang. Gaskeun!! Salam dari sesama pecinta film...
BalasHapusNih film..keren banget..best movie in 2019..dr awal sampai akhir ngakak trs..
BalasHapus