Pada review untuk Asih (baca di sini), saya
mengapresiasi bagaimana seri Danur,
meski setapak demi setapak, terus menunjukkan peningkatan. Jadi alangkah
mengecewakan mendapati Danur 3: Sunyaruri
merupakan langkah mundur, yang seolah menekan tombol reset bagi progres
adaptasi novel-novel Risa Saraswati ini.
Menit-menit awal film ini
sebenarnya menjanjikan. Dibuka melalui visualisasi novel buatan Risa (Prilly
Latuconsina), yang memperlihatkannya dikejar oleh Canting, hantu penari dari ending Maddah, di suatu gedung pertunjukkan.
Pemakaian bayangan adalah trik menakut-nakuti sederhana tapi ampuh memancing
kengerian, sementara musik garapan Ricky Lionardi (Asih, Sunyi, Pretty Boys) mampu menggedor jantung ketimbang
menyakiti telinga.
Daya tariknya berlanjut kala krisis
persahabatan Risa dengan Peter dan kawan-kawan mulai diperkenalkan. Khawatir
bakal ditinggalkan, Risa menyembunyikan kemampuan mistisnya dari Dimas (Rizky
Nazar). Risa tidak lagi sempat bermain bersama teman-teman hantunya, bahkan
kerap memarahi mereka. Di mana lagi kita melihat protagonis film horor
mengomeli hantu? Sekilas terdengar konyol, tapi ini keunikan selaku pembeda
Risa dengan karakter horor lain.
Tidak lagi tahan dengan keusilan para
bocah itu, Risa memilih menutup mata batinnya. Alih-alih menyelesaikan masalah,
keputusan itu justru mengundang bahaya kala sesosok hantu wanita misterius
menyatroni rumahnya bersama hujan lokal misterius yang tak kunjung usai, mengancam
keselamatan Risa beserta teman-temannya.
Membahas progres, naskah buatan
penulis langganan Danur, Lele Laila,
setidaknya bukan lagi kompilasi jump
scare sebagaimana dua judul perdana. Tapi serupa Asih (dan deretan horor lokal kebanyakan), penyakit lama masih
menjangkiti. Seolah sang penulis alergi dengan kata “eksplorasi”. Walau tidak
diisi pawai penampakan, alurnya jalan di tempat, terkesan kosong, meski
menyimpan banyak bekal misteri. Siapa identitas si hantu wanita? Mengapa ia
mengincar Peter dkk.? Apa penyebab hujan yang terus turun?
Daripada menggalinya satu per satu,
Lele Laila memilih menerapkan pola lama, yakni menyimpan semuanya hingga
konklusi, sehingga menciptakan fase pengungkapan yang terburu-buru. Kelemahan
itu turut mempengaruhi twist-nya yang
terkesan mencurangi penonton, akibat hadir tiba-tiba tanpa diawali “penanaman
benih” terlebih dahulu.
Urusan teror, Sunyaruri mengeskalasi tingkat bahaya yang mengancam Risa. Bukan
saja teror psikis, kali ini fisiknya pun dihajar habis. Bertambahnya ujian bagi
Risa berbanding lurus dengan beban Prilly, yang berkesempatan menampilkan
jangkauan akting (sedikit) lebih luas, karena dituntut tampak meyakinkan
memerankan seseorang yang tersiksa mental pula fisik. Tugas ini dijalankan
cukup baik oleh Prilly.
Secara mengejutkan, penurunan
justru datang dari penyutradaraan Awi Suryadi. Masih ada segelintir teror
solid, termasuk jump scare mengejutkan
yang melibatkan ember, tapi di sini Awi bagai terbuai akan eksplorasi sudut
kamera. Dia lebih tertarik bergaya, mengaplikasikan sudut-sudut “berbeda” yang
minim substansi perihal membangun kengerian. Ditunjang tata artistik yang
digarap apik, visual Sunyaruri mungkin
tampak cantik dan unik, namun rasa takut gagal dipantik.
Selain jump scare medioker, kurangnya daya cengkeram turut diakibatkan
lemahnya desain hantu. Pasca tampilan ikonik Ivana, Sunyaruri kembali memoles antagonisnya dengan riasan muka rusak
klise. Membosankan. Sama membosankannya dengan lagu Boneka Abdi yang diulang belasan kali (lagu tema tidak wajib
diputar lima menit sekali), maupun babak ketiga yang bak melupakan hakikatnya
sebagai klimaks, dengan mengakhiri konflik secara prematur sebelum mencapai
titik puncak.
dan kemungkinan juga kayanya kkn desa penari bakalan ama awi suryadi juga nih
BalasHapusfeeling gue
mudah mudahan dapet penulis naskah yg lebih solid
feeling gw sih nayato 😊
HapusNope, bukan Nayato. Manoj emang cari duit dan sering bikin felem jelek, tapi nggak segila itu. Tunggu aja
HapusKalo bukan nayato,, mngkin kuya pagayo ato ian jacobs ato mngkin jg pingkan utari
HapusHahaha
Jangan nayato lah. Auto hancur ngeshootnya ala tahun 2009
HapusBagus juga tuh klo Ivana di bikin film'nya, hehehehhe..
BalasHapusKecewa berat nonton film ini, lebih bagusan DANUR 2 drpd DANUR 3 ini. Ending nya begitu doang?? Ya ampun. Walaupun ekting prilly ada kemajuan, tp tidak membantu film ini. Klo untuk jumlah penonton sih 2juta pasti tembus, cuma kualitasnya itu apakah layak ditonton 2juta orang? Hmmmm..
BalasHapusSutradara spesialis horor yang oke zaman now ini siapa ya selain Rizal Mantovani n Jokan?
BalasHapusSayang banget KKN Desa Penari kalau d garap asal2an euy
Big project MD, biarpun nggak selalu bagus, nggak pernah asal. Danur pun sering jelek tapi jelas bukan felem asal
Hapus@lord mahendrata
HapusAku kurang setuju klo jokan disebut spesialis horor. Krm film jokan temanya ganti2. Romcom, fantasi, noir, horor n superhero. Setahuku dya gk stag di horor ja filmnya. Cuman krn film pengandi setan bgus bukan brarti dia spesialis horor. Kcuali klo smua filmnya horor bru disebut spesialis.
dari saya sih cukup 2 dari 5..hampir sama kayak maddah.. tipikal film yg doyan gelap2an..sayang kualitas film Awi Suryadi malah menurun setelah SUNYI sama ASIH... padahal boleh dibilang DANUR itu jualan utama MD tpi kualitasnya justru malah lebih bagus spinoff nya
BalasHapusapa jangan2 Sunyaruri di shoot sebelum ASIH sama SUNYI ya
Nggak kok, Sunyaruri baru shoot tahun ini
Hapus