27/09/19

DANUR 3: SUNYARURI (2019)

0 View
Pada review untuk Asih (baca di sini), saya mengapresiasi bagaimana seri Danur, meski setapak demi setapak, terus menunjukkan peningkatan. Jadi alangkah mengecewakan mendapati Danur 3: Sunyaruri merupakan langkah mundur, yang seolah menekan tombol reset bagi progres adaptasi novel-novel Risa Saraswati ini.

Menit-menit awal film ini sebenarnya menjanjikan. Dibuka melalui visualisasi novel buatan Risa (Prilly Latuconsina), yang memperlihatkannya dikejar oleh Canting, hantu penari dari ending Maddah, di suatu gedung pertunjukkan. Pemakaian bayangan adalah trik menakut-nakuti sederhana tapi ampuh memancing kengerian, sementara musik garapan Ricky Lionardi (Asih, Sunyi, Pretty Boys) mampu menggedor jantung ketimbang menyakiti telinga.

Daya tariknya berlanjut kala krisis persahabatan Risa dengan Peter dan kawan-kawan mulai diperkenalkan. Khawatir bakal ditinggalkan, Risa menyembunyikan kemampuan mistisnya dari Dimas (Rizky Nazar). Risa tidak lagi sempat bermain bersama teman-teman hantunya, bahkan kerap memarahi mereka. Di mana lagi kita melihat protagonis film horor mengomeli hantu? Sekilas terdengar konyol, tapi ini keunikan selaku pembeda Risa dengan karakter horor lain.

Tidak lagi tahan dengan keusilan para bocah itu, Risa memilih menutup mata batinnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, keputusan itu justru mengundang bahaya kala sesosok hantu wanita misterius menyatroni rumahnya bersama hujan lokal misterius yang tak kunjung usai, mengancam keselamatan Risa beserta teman-temannya.

Membahas progres, naskah buatan penulis langganan Danur, Lele Laila, setidaknya bukan lagi kompilasi jump scare sebagaimana dua judul perdana. Tapi serupa Asih (dan deretan horor lokal kebanyakan), penyakit lama masih menjangkiti. Seolah sang penulis alergi dengan kata “eksplorasi”. Walau tidak diisi pawai penampakan, alurnya jalan di tempat, terkesan kosong, meski menyimpan banyak bekal misteri. Siapa identitas si hantu wanita? Mengapa ia mengincar Peter dkk.? Apa penyebab hujan yang terus turun?

Daripada menggalinya satu per satu, Lele Laila memilih menerapkan pola lama, yakni menyimpan semuanya hingga konklusi, sehingga menciptakan fase pengungkapan yang terburu-buru. Kelemahan itu turut mempengaruhi twist-nya yang terkesan mencurangi penonton, akibat hadir tiba-tiba tanpa diawali “penanaman benih” terlebih dahulu.

Urusan teror, Sunyaruri mengeskalasi tingkat bahaya yang mengancam Risa. Bukan saja teror psikis, kali ini fisiknya pun dihajar habis. Bertambahnya ujian bagi Risa berbanding lurus dengan beban Prilly, yang berkesempatan menampilkan jangkauan akting (sedikit) lebih luas, karena dituntut tampak meyakinkan memerankan seseorang yang tersiksa mental pula fisik. Tugas ini dijalankan cukup baik oleh Prilly.

Secara mengejutkan, penurunan justru datang dari penyutradaraan Awi Suryadi. Masih ada segelintir teror solid, termasuk jump scare mengejutkan yang melibatkan ember, tapi di sini Awi bagai terbuai akan eksplorasi sudut kamera. Dia lebih tertarik bergaya, mengaplikasikan sudut-sudut “berbeda” yang minim substansi perihal membangun kengerian. Ditunjang tata artistik yang digarap apik, visual Sunyaruri mungkin tampak cantik dan unik, namun rasa takut gagal dipantik.

Selain jump scare medioker, kurangnya daya cengkeram turut diakibatkan lemahnya desain hantu. Pasca tampilan ikonik Ivana, Sunyaruri kembali memoles antagonisnya dengan riasan muka rusak klise. Membosankan. Sama membosankannya dengan lagu Boneka Abdi yang diulang belasan kali (lagu tema tidak wajib diputar lima menit sekali), maupun babak ketiga yang bak melupakan hakikatnya sebagai klimaks, dengan mengakhiri konflik secara prematur sebelum mencapai titik puncak.

12 komentar :

  1. dan kemungkinan juga kayanya kkn desa penari bakalan ama awi suryadi juga nih
    feeling gue
    mudah mudahan dapet penulis naskah yg lebih solid

    BalasHapus
    Balasan
    1. feeling gw sih nayato 😊

      Hapus
    2. Nope, bukan Nayato. Manoj emang cari duit dan sering bikin felem jelek, tapi nggak segila itu. Tunggu aja

      Hapus
    3. Kalo bukan nayato,, mngkin kuya pagayo ato ian jacobs ato mngkin jg pingkan utari
      Hahaha

      Hapus
    4. Jangan nayato lah. Auto hancur ngeshootnya ala tahun 2009

      Hapus
  2. Bagus juga tuh klo Ivana di bikin film'nya, hehehehhe..

    BalasHapus
  3. Kecewa berat nonton film ini, lebih bagusan DANUR 2 drpd DANUR 3 ini. Ending nya begitu doang?? Ya ampun. Walaupun ekting prilly ada kemajuan, tp tidak membantu film ini. Klo untuk jumlah penonton sih 2juta pasti tembus, cuma kualitasnya itu apakah layak ditonton 2juta orang? Hmmmm..

    BalasHapus
  4. Sutradara spesialis horor yang oke zaman now ini siapa ya selain Rizal Mantovani n Jokan?
    Sayang banget KKN Desa Penari kalau d garap asal2an euy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Big project MD, biarpun nggak selalu bagus, nggak pernah asal. Danur pun sering jelek tapi jelas bukan felem asal

      Hapus
    2. @lord mahendrata
      Aku kurang setuju klo jokan disebut spesialis horor. Krm film jokan temanya ganti2. Romcom, fantasi, noir, horor n superhero. Setahuku dya gk stag di horor ja filmnya. Cuman krn film pengandi setan bgus bukan brarti dia spesialis horor. Kcuali klo smua filmnya horor bru disebut spesialis.

      Hapus
  5. Anonim7:18 AM

    dari saya sih cukup 2 dari 5..hampir sama kayak maddah.. tipikal film yg doyan gelap2an..sayang kualitas film Awi Suryadi malah menurun setelah SUNYI sama ASIH... padahal boleh dibilang DANUR itu jualan utama MD tpi kualitasnya justru malah lebih bagus spinoff nya


    apa jangan2 Sunyaruri di shoot sebelum ASIH sama SUNYI ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak kok, Sunyaruri baru shoot tahun ini

      Hapus