13/09/19

LORONG (2019)

0 View
Kata “klise” didefinisikan dengan sempurna oleh Lorong, sebuah film yang bergerak sesuai pakem. “Mudah ditebak” tidak serta merta melahirkan dosa, namun ketika dilengkapi pula oleh penggarapan ala kadarnya serta tensi yang datar-datar saja, saya bertanya-tanya, “apa yang coba ditawarkan para pembuatnya?”.

Selepas proses persalinan, Mayang (Prisia Nasution) disambut kabar duka dari sang suami, Reza (Winky Wiryawan), bahwa buah hati mereka—yang hendak dinamai Reno—telah meninggal dunia. Tapi entah mengapa, Mayang yakin Reno masih hidup. Meyakini Mayang menderita depresi, Reza dibantu karyawan rumah sakit termasuk dr. Vera (Nova Eliza), berusaha menyadarkan sang ibu yang malang.

Tapi Mayang tetap ngotot, selalu nekat kabur dari kamar guna mencari Reno, menggiring kisahnya menuju peristiwa berulang di mana Mayang akan terbangun dari mimpi buruk, mencabut infus, bersusah-payah menyusuri lorong rumah sakit, lalu bertemu Darmo (Teuku Rifnu Wikana) si petugas kebersihan.

Pengulangan tersebut seakan membuktikan kebingungan Andy Oesman (The Sacred Riana: Beginning) dalam mengembangkan kisah yang bak diniati jadi versi jauh lebih sederhana dari Rosemary’s Baby-nya Roman Polanski. Begitu sederhana, naskahnya merasa tidak perlu mengangkat ambiguitas soal “apakah Mayang memang mengalami gangguan jiwa?”. Fakta sesungguhnya langsung diungkap di pertengahan durasi.

Sejatinya itu langkah berani, berpotensi membawa proses eksplorasi kisahnya ke arah berbeda. Sayangnya itu urung dilakukan, sehingga Lorong gagal menyediakan alasan mengapa penonton harus terus menaruh perhatian sampai akhir. Sementara sebagai usaha memfasilitasi selera penonton kebanyakan, turut dimasukkan elemen mistis berupa penampakan hantu wanita di beberapa kesempatan.

Naskahnya berniat menjadikan si hantu lebih dari sebatas penebar teror, meski pada akhirnya, kehadirannya tidak signifikan mempengaruhi berhasil atau tidaknya Mayang menyibak segala kebenaran. Pun kemunculannya tak pernah mengerikan akibat lemahnya penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta tapi Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar).

Terbiasa mengarahkan drama, Hestu jelas belum menguasai teknik mengarahkan horor. Pacing maupun pemilihan sudut kamera pilihannya terkesan seadanya, kurang menunjang pembangunan atmosfer dan intensitas. Babak ketiga jadi korban terbesar pengarahan lemah sang sutradara. Padahal konsep klimaksnya menarik, menyimpan kengerian dari suatu peristiwa brutal nan ironis, yang dampaknya bakal menguat andai bersedia menambahkan kadar kekerasan.

Malang bagi Prisia Nasution. Penampilannya solid, cukup meyakinkan mengekspresikan keputusasaan seorang ibu yang hatinya remuk redam, walau cakupan emosi karakter Mayang sebenarnya tidak terlalu luas (ketakutan dan menangis). Prisia mesti lebih cermat memilih peran. Sempat digadang-gadang sebagai calon aktris Indonesia nomor satu, entah sudah berapa tahun ia tidak mendapatkan film berkualitas.

12 komentar :

  1. Panca8:26 AM

    Prisia aktingnya bagus tapi sayang belum dapat film yg solid, saya malah lebih seneng liat dia di FTV.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejak 3-nya Anggy Umbara emang film Prisia kebanyakan ancur

      Hapus
  2. Prisia pernah jd Peraih Piala Citra di film Sang Penari .. (2011) kalo ga salah... setelah itu cuma film laura and marsha deh yg agak mending di bintangi dia,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Habis itu beberapa oke, tapi setelah 2015 jadi turun

      Hapus
  3. pas testimoni gala premier ko pada bilang bagus ya ? 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaa galprem mah nggak mungkin cela-cela seremuk apa pun

      Hapus
  4. Anonim1:02 PM

    Yaaahh... Ku kira bakal keren bgt, karena trailernya terlihat menjanjinkan.

    BalasHapus
  5. Ga review film boly chhichhore min?

    BalasHapus
  6. Bang rasyid, ngereview film "the santri" ga?

    BalasHapus