Kata “klise” didefinisikan dengan
sempurna oleh Lorong, sebuah film
yang bergerak sesuai pakem. “Mudah ditebak” tidak serta merta melahirkan dosa,
namun ketika dilengkapi pula oleh penggarapan ala kadarnya serta tensi yang
datar-datar saja, saya bertanya-tanya, “apa yang coba ditawarkan para
pembuatnya?”.
Selepas proses persalinan, Mayang
(Prisia Nasution) disambut kabar duka dari sang suami, Reza (Winky Wiryawan),
bahwa buah hati mereka—yang hendak dinamai Reno—telah meninggal dunia. Tapi
entah mengapa, Mayang yakin Reno masih hidup. Meyakini Mayang menderita
depresi, Reza dibantu karyawan rumah sakit termasuk dr. Vera (Nova Eliza),
berusaha menyadarkan sang ibu yang malang.
Tapi Mayang tetap ngotot, selalu
nekat kabur dari kamar guna mencari Reno, menggiring kisahnya menuju peristiwa
berulang di mana Mayang akan terbangun dari mimpi buruk, mencabut infus,
bersusah-payah menyusuri lorong rumah sakit, lalu bertemu Darmo (Teuku Rifnu
Wikana) si petugas kebersihan.
Pengulangan tersebut seakan
membuktikan kebingungan Andy Oesman (The
Sacred Riana: Beginning) dalam mengembangkan kisah yang bak diniati jadi
versi jauh lebih sederhana dari Rosemary’s
Baby-nya Roman Polanski. Begitu sederhana, naskahnya merasa tidak perlu
mengangkat ambiguitas soal “apakah Mayang memang mengalami gangguan jiwa?”.
Fakta sesungguhnya langsung diungkap di pertengahan durasi.
Sejatinya itu langkah berani,
berpotensi membawa proses eksplorasi kisahnya ke arah berbeda. Sayangnya itu
urung dilakukan, sehingga Lorong gagal
menyediakan alasan mengapa penonton harus terus menaruh perhatian sampai akhir.
Sementara sebagai usaha memfasilitasi selera penonton kebanyakan, turut
dimasukkan elemen mistis berupa penampakan hantu wanita di beberapa kesempatan.
Naskahnya berniat menjadikan si
hantu lebih dari sebatas penebar teror, meski pada akhirnya, kehadirannya tidak
signifikan mempengaruhi berhasil atau tidaknya Mayang menyibak segala
kebenaran. Pun kemunculannya tak pernah mengerikan akibat lemahnya
penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta tapi
Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar).
Terbiasa mengarahkan drama, Hestu
jelas belum menguasai teknik mengarahkan horor. Pacing maupun pemilihan sudut kamera pilihannya terkesan seadanya,
kurang menunjang pembangunan atmosfer dan intensitas. Babak ketiga jadi korban
terbesar pengarahan lemah sang sutradara. Padahal konsep klimaksnya menarik,
menyimpan kengerian dari suatu peristiwa brutal nan ironis, yang dampaknya
bakal menguat andai bersedia menambahkan kadar kekerasan.
Malang bagi Prisia Nasution. Penampilannya
solid, cukup meyakinkan mengekspresikan keputusasaan seorang ibu yang hatinya
remuk redam, walau cakupan emosi karakter Mayang sebenarnya tidak terlalu luas
(ketakutan dan menangis). Prisia mesti lebih cermat memilih peran. Sempat
digadang-gadang sebagai calon aktris Indonesia nomor satu, entah sudah berapa
tahun ia tidak mendapatkan film berkualitas.
Prisia aktingnya bagus tapi sayang belum dapat film yg solid, saya malah lebih seneng liat dia di FTV.
BalasHapusSejak 3-nya Anggy Umbara emang film Prisia kebanyakan ancur
HapusPrisia pernah jd Peraih Piala Citra di film Sang Penari .. (2011) kalo ga salah... setelah itu cuma film laura and marsha deh yg agak mending di bintangi dia,,
BalasHapusHabis itu beberapa oke, tapi setelah 2015 jadi turun
Hapuspas testimoni gala premier ko pada bilang bagus ya ? 😂
BalasHapusYaa galprem mah nggak mungkin cela-cela seremuk apa pun
HapusYaaahh... Ku kira bakal keren bgt, karena trailernya terlihat menjanjinkan.
BalasHapusGa review film boly chhichhore min?
BalasHapusDi Jogja nggak tayang ini
HapusWew, jadi pindah ya
HapusUdah sebulanan ini 😅
HapusBang rasyid, ngereview film "the santri" ga?
BalasHapus