Selucu-lucunya film klasik Warkop
DKI, rasanya semua setuju kalau media audio, yang dulu banyak beredar dalam
rekaman kaset, lebih mewadahi kelucuan mereka (silahkan cari di YouTube dan
siap-siap sakit perut). Dalam proyek Reborn
ketiga—yang tidak mengusung embel-embel “Part 3”—ini, terdapat usaha memvisualisasikan humor verbal Warkop,
yang malah menegaskan ketidakcocokan alih media tersebut. Bahkan secara keseluruhan,
Warkop DKI Reborn mungkin pertanda
bahwa regenerasi Warkop DKI bukan ide yang baik.
Saya selalu tergelak mendengar
banyolan “Marga Batak”, tapi kala filmnya menerjemahkan itu ke layar, biarpun
intensinya selaku penghormatan patut diapresiasi, tawa tak juga hadir. Selipan
humor-humor Warkop lain pun bernasib sama. Apalagi sewaktu secara beruntun,
naskah buatan Anggoro Santoro (Sang Kiai, Bangkit!, Cahaya Cinta Pesantren)
bersama sutradara Rako Prijanto (Sang
Kiai, Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) bergantung pada lawakan pervert ala film Warkop produksi Soraya
era 90-an.
Ide ceritanya sendiri menarik,
yaitu perekrutan trio penyiar radio, Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati
Dolken), Indro (Randy Danistha) oleh Komandan Cok (Indro Warkop) untuk menjadi
agen rahasia guna menyibak praktek pencucian uang di industri perfilman tanah
air. Jadilah mereka terlibat proyek film buatan rumah produksi milik Amir Muka
(Ganindra Bimo), menyulut kekacauan di set, lalu bersinggungan dengan aktris
cantik bernama Inka (Salshabilla Adriani).
Sampai di sini, semuanya berjalan
lancar, hingga Warkop DKI Reborn memutuskan
melebarkan sayap dengan memperbesar skala. Tidak main-main, filmnya membawa
Dono-Kasino-Indro berpetualang ke Maroko, bahkan membantu melindungi desa asal
gadis setempat (Aurora Ribero) yang dihantui ancaman bandit. Sejak dulu plot
film Warkop memang selalu bercabang pula dikemas bak sketsa, tapi fokusnya
terjaga, alih-alih terkesan melupakan tema besarnya seperti ini.
Pergantian latar ekstrimnya memang
memfasiliasi humor klasik menggelitik soal “Bahasa Arab” hingga nomor musikal
absurd Ummi, namun di saat bersamaan,
melucuti potensi presentasi kritik tentang industri film. Apalagi sewaktu kisahnya
dipaksa berakhir di tengah-tengah, karena (lagi-lagi) Falcon Pictures memilih
memecah filmnya menjadi dua bagian.
Padahal pergantian pemeran trio
Dono-Kasino-Indro di luar dugaan memberi hasil positif. Adipati tampak lebih
natural dan santai ketimbang Vino dalam memerankan Kasino si playboy mulut besar, Randy punya
tampilan lebih mirip Indro dibanding Tora, sedangkan Aliando—sebagaimana Abimana—muncul
sebagai MVP. Riasan giginya memang mengganggu, tapi baik suara maupun gestur,
Aliando berhasil mereplikasi anggota Warkop DKI favorit saya itu.
Penyutradaraan Rako Prijanto juga
mengungguli Anggy Umbara berkat gaya yang lebih “sederhana”, biarpun banyaknya
penggunaan efek suara konyol layaknya sketsa televisi murahan justru melemahkan
daya bunuh komedi, selain menurunkan kelas filmnya. Beberapa kreativitas
humornya, sebutlah parodi film-film populer Indonesia, memang mampu memancing
senyum. Tapi saya butuh lebih dari sekadar senyum. Saya membutuhkan tawa, yang
sayangnya jarang diproduksi oleh Warkop
DKI Reborn.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusberarti lebih kearah lemah di skrip nya kah mas? yg bikin kurang nendang, karena emang ketawa gw kurang los... tawa paling kenceng justru pas ada si mandra wkwk....
BalasHapussoal pemain, dulu sebelum diputar, ekspetasi gw dono yg paling mirip disusul indro lanjut kasino, tapi ketika udah nonton jadi malah kebalik, kasinonya paling mirip, lanjut indro trus dono
aliando memang mirip sekali almarhum dono, walaupun giginya kadang mengganggu saat dia bicara. adipati memang better than vino, apalagi seandainya suara randi dipindah ke adipati, pasti bakal mirip bgt. sy sering ketuker ketika randi berdialog, sy pikir malah suara kasino itu.randi, jg muka mirip bgt indro, hanya perawakan kurang tinggi aja.tp sejujurnya di banding film warkop dki reborn versi sebelumnya, versi ini lebih mengundang tawa, walaupun ceritanya lompat2 kmn2.setidaknya film ini bkn di sutradarai lg oleh anggy umbara, sy sudah sangat "lelah" sekali nonton film2 anggy
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBaru nonton, dan yap betul kata bang rasyid... Film ini... Emmm.... Yagitulah..
HapusHanya 2 adegan yang bikin saya ketawa lepas
1. Adegan slow motion Mandra yang jadi Tukang Jait dikelilingi ibu2...
2. Adegan Mas Dono nendang kepala di gurun pasir.
Selebihnya saya bosen...
Itu posternya seriusan cuma bgtu doang?
BalasHapusLo maunya gimana? Emang bisa buat poster film nyirnyir saja kerjaannya
HapusAduh anonim anonim dia itu nanya bukannya nyinyir...biasanya kan poster film itu ada nama director,jajaran cast dll
Hapus@Anonim1: Idih kok sewot? Yg gw maksud itu ga ada nama cast dan kru2nya, bukan soal desainnya. Orang dalem lu, ya? Sampah
HapusBelum nonton gundala dan warkop ini, kalau disuruh pilih, kalian pilih mana?
BalasHapusYa jelas gundala lah
HapusMas Rasyid,
BalasHapusAda si "anonim" jadi males komen di lapak sampeyan mas.. baper'an orangnya, wkwkwkkwk..
Wah keren gan review filmnya. Buat yang belum nonton, bisa download film Indonesia di mari.
BalasHapus