Berlandaskan premis unik, akting
ciamik, dan departemen artistik menarik, tahun
lalu Love For Sale mampu mencuri
perhatian, walau berbeda dengan pandangan umum, saya beranggapan naskah buatan
sutradara Andibachtiar Yusuf (Hari Ini
Pasti Menang, Bridezilla) dan M. Irfan Ramly (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Surat dari Praha) kurang matang
dalam menangani konsep, khususnya di fase konklusi. Love For Sale 2 berhasil memperbaiki itu.
Idenya masih serupa, yakni mengenai
“kunjungan” Arini (Della Dartyan) dari aplikasi kontak jodoh Love Inc., ke
kehidupan protagonis. Bedanya, tidak ada usaha setengah-setengah menjelaskan
soal Love Inc. sebagaimana film pertama. Lubang alur diminimalisir, dan sewaktu
konflik menemukan resolusi, tidak ada distraksi. Konsentrasi sepenuhnya
tercurah pada permainan rasa dalam drama keluarga yang kini jadi fokus utama.
Dibuka oleh pesta pernikahan
beradat Minang yang dibungkus menggunakan satu take panjang, kita segera tahu masalah macam apa yang segera
menjelang. Ican (Adipati Dolken) terus didorong oleh sang ibu, Rosmaida (Ratna
Riantiarno), agar segera menikah. Berulang kali Rosmaida berusaha menjodohkan
Ican, tapi berulang kali pula puteranya itu menolak. Berbanding terbalik dengan
Richard (Gading Marten) di film pertama, Ican doyan berganti-ganti pasangan,
namun enggan melakoni hubungan serius.
Tekanan dari orang tua agar segera
menuntaskan masa lajang tentu terdengar familiar sebab banyak terjadi di
sekitar kita, bahkan mungkin menimpa kita sendiri. Love For Sale 2 merupakan satir menggelitik atas problematika
tersebut. Tentang urgensi menikah. Kunci sindirannya terletak pada kontradiksi
dalam kata-kata maupun perilaku karakter. Rosmaida terus meminta Ican menikah,
tapi saat melihat puteranya itu berbicara dengan wanita, ia buru-buru berujar “Jangan
deket-deket. Nanti fitnah”. Timbul pertanyaan, “Apakah Rosmaida (dan para orang
tua lain) ingin anaknya menikah, atau MENIKAHI PILIHAN MEREKA?”.
Cara pandang masyarakat soal
pernikahan juga tidak ketinggalan disentil. Misalnya saat Ndoy (Ariyo Wahab),
kakak Ican, menyindir seorang karakter yang memasang wajah kucel seorang
karakter akibat ditinggal pergi istrinya, lalu sejurus kemudian menyarankan
Ican segera menikah supaya hidupnya tentram. Lagi-lagi komedi satir berbasis
kontradiksi.
Meski melempar sindiran, Love For Sale 2 menolak tampil berat
sebelah. Rosmaida sekilas menyebalkan, layaknya banyak sosok ibu, menyuruh Ican
segera menikah, selalu cerewet menasihati agar anak-anaknya rajin salat dan
berbagai petuah lain. Rosmaida juga bukan mertua yang menyenangkan bagi istri
Ndoy, Maya (Putri Ayudya), yang walau tengah hamil tua, tetap mendapat
perlakuan tidak menyenangkan. Tapi layaknya seorang ibu pula, selalu ada cinta,
dan film ini tidak lupa menekankan cinta itu. Karena mungkin, Rosmaida hanya
butuh ditemani dan dimengerti. Di situlah Arini berperan.
Demi membahagiakan ibunya, Ican
menggunakan layanan Love Inc., memesan calon istri palsu sesuai preferensi sang
ibu. Jika film pertama mengetengahkan peran Arini menumbuhkan semangat hidup
Richard, di sekuelnya, giliran harmoni keluarga Ican yang ia pupuk. Tertinggal
kekecewaan di fase ini, karena proses “perbaikan” yang Arini lakukan cuma
nampak di permukaan, biarpun gagasan “Arini membawa kebahagiaan sebagai alat
menyembuhkan” telah tersampaikan.
Satu lagi keunggulan sekuel ini
dibanding pendahulunya adalah penokohan Arini. Menampilkan Della Dartyan dengan
senyum yang bisa membuat siapa saja seketika jatuh hati, Arini masih gadis dengan
sensitivitas tinggi, sehingga tahu bagaimana memberi respon yang diinginkan
lawan interaksinya. Kali ini ruang personal Arini mulai dikunjungi. Sosoknya
makin dimanusiakan. Sebuah obrolan Arini dengan Rosmaida di suatu subuh—yang juga
jadi ajang pembuktian kepiawaian Della mengontrol luapan emosi—menyiratkan bahwa
kunjungan kali ini terasa lebih personal bagi Arini. Dugaan jika Love Inc. bukan
sekadar tempat Arini bekerja turut menguat.
Andibachtiar Yusuf mengulangi pencapaiannya
di departemen penyutradaraan lewat kepekaan menangkap emosi suatu momen, dan
menjadikan filmnya tidak semata pameran gambar cantik. Tidak kalah mengagumkan
adalah perhatian Andibachtiar terhadap detail peristiwa yang bertempat di belakang
fokus kamera. Contohnya di adegan pembuka. Daripada hanya memakai figuran, ia
menempatkan Buncun (Bastian Steel) si putera bungsu bersama istrinya, Endah
(Taskya Namya). Keduanya cuma duduk menikmati makanan , tapi itu saja sudah
cukup menghidupkan sebuah peristiwa. Atau sewaktu Ican mengobrol dengan Ibrahim
(Yayu Unru) sementara di belakang, orang-orang asyik bermain domino, dengan
gestur serta suara yang tidak terlalu besar sampai mengganggu fokus, namun
tidak terlalu kecil agar penonton bisa menyadari eksistensi mereka.
Ada twist nya ga bang..?
BalasHapusPenonton macem apa yg nanya "ada twist nya engga?" -____-
BalasHapusGak sabar Kamis besok nonton ini
BalasHapuskayaknya aman ya bang dari love scene, ga seperti film pertama. mau nonton sama gebetan soalnya hha
BalasHapushadir sob salam kenal
BalasHapusBingung mau nonton film ini apa bebas huffttt cebel
BalasHapusRamaikan Kamis sore...cussss
BalasHapusAda adegan ngeW?
BalasHapusEmang love for sale pertama ada adegan sex nya? Saya nonton dinetflix sih. Apa mungkin di-cut? Soalnya gak liat ada adegan sexual, padahal rating 21+ ��
BalasHapus