Setidaknya Kelam adalah film yang jujul secara penjudulan. Kalau kualitasnya terus
begini, masa depan horor kita memang KELAM. Dan jika rutin mengikuti
perkembangan horor lokal, anda bisa menebak apa yang ditawarkan karya teranyar
Erwin Arnada (Rumah di Seribu Ombak, Guru
Ngaji, Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya) ini. Ambil contoh departemen musik
dan tata suara. Dentingan piano bernada minor ala kadarnya mengiri momen
dramatik berisi obrolan memosankan, dentuman berisik di tiap jump scare, lalu ketika film berakhir
sayup-sayup terdengar teriakan penyesalan dari batin anda setelah membuang
waktu juga uang.
Kelam ibarat mayat hidup. Film yang dibuat tanpa semangat, tanpa
usaha menjadi lebih baik. Semua bermain sesuai pola. Sebuah pola buruk yang
didasari pemikiran “Sejelek ini aja bisa laku kan?”. Bahkan jajaran pemainnya,
termasuk Aura Kasih, tampak luar biasa bosan, seolah ingin sesegera mungkin
menyelesaikan proses produksi.
Aura Kasih memerankan Nina, yang
kembali pulang setelah delapan tahun, ketika sang ibu, Dewi (Rina Hassim),
terserang stroke ringan. Ada perselisihan masa lalu yang jadi penyebab retaknya
hubungan ibu dan anak itu, namun Nina menyembunyikannya, termasuk dari Fenny
(Amanda Manopo), adiknya. Datang bersama puteri kecilnya, Sasha (Giselle
Tambunan), Nina berharap bisa menyambung tali silaturahmi. Tapi rencana
tersebut buyar ketika Sasha mulai bertingkah aneh setelah mendadak pingsan di
suatu malam.
Salah satu keanehan Sasha adalah
saat Nina hendak menceritakan dongeng Puteri Salju, bocah itu menjawab, “Sudah
ada yang menceritakannya!”. Ingin saya bertanya pada Fajar Umbara (Mata Batin, Sabrina, Ikut Aku ke Neraka)
selaku penulis naskah. “Kenapa Sasha bicara begitu formal? Apa dia kerasukan
hantu Jaka Sembung? Atau arwah guru les Bahasa Indonesia?”. Kasihan hantu-hantu
di film horor medioker negeri ini yang terjebak stereotip, bahwa mereka selalu
bicara formal.
Semua elemen Kelam tampil malas. Salah satunya tata rias dan kostum yang
kualitas jongkoknya amat kentara sewaktu Nina mandi dalam kondisi masih memakai
bulu mata lentik serta alis mata tebal. Pun manusia mana di muka bumi ini yang
mandi sambil memakai semua cincinnya? Alurnya tidak kalah malas. Fokus Fajar
Umbara hanyalah menyembunyikan jawaban misteri—yang sudah bisa ditebak sejak
menit-menit awal—lewat beberapa elemen pencipta misleading nihil dampak yang dipaksakan hadir ketimbang membangun jalinan
misteri mumpuni.
Kemalasan-kemalasan di atas
berujung memproduksi kebodohan. Apa perlunya kemunculan Rico (Evan Sanders) si
mantan pacar Nina? Kalau untuk menegaskan bahwa membalas mereka yang berbuat
buruk padanya merupakan tujuan sang hantu, tidak bisakah memakai metode lain
daripada sebuah kebetulan ala sinetron? Nantinya twist film ini terungkap ketika protagonis menemukan surat yang
disembunyikan karakter lain. Sesulit apa melenyapkan surat? Dibakar, dibuang,
disobek, dimakan. Ada sejuta cara.
Ah, sudahlah. Membahas alur hanya akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan tak berujung. Mari membicarakan
cara Erwin Arnada membangun teror. Dari total 75 menit, cuma satu adegan
berdurasi 2 detik yang mampu menyulut sedikit kengerian, yaitu ketika si hantu
bocah diam-diam melayang turun di samping Sasha. Dua detik dari total sekitar
4.500 detik penuh siksaan, sebelum ditutup oleh klimaks buru-buru yang berakhir
secepat kita buang angin dan konklusi menggelikan, saat Aura Kasih menatap
kosong ke arah kamera. Matanya bagai berteriak, “SEMOGA INI CEPAT BERAKHIR”. I feel you, sis.
Saya selalu suka dengan pembahasan film yang seperti ini. "Secepat buang angin", penggambaran yang begitu gamblang.
BalasHapus.....lalu menimbulkan rasa mual dan tersakiti secara psikis, perasaan dongkol pengen marah tapi ga tau kemana bagi yang menerima
Hapusdan ekspresi cengengesan bercampur lega dari si pemberi melihat ada yg menjadi korban
Tuh kan....
BalasHapusanother super mind blowing and epic horror movie dari Erwin arnada setelah Tusuk Jelangkung 2018
BalasHapusbangga rasanya mempunyai sineas yang konsisten dalam menghasilkan karya-karya bombastis dan fantastis #LOL