Film bertema nasionalisme kita
cenderung seperti mesin, menyuarakan “Indonesia raya!” atau “Hidup merah putih!”
secara keras, lantang, tapi kosong. Sedangkan untuk film biografi, keharusan mencakup
sebanyak mungkin fase hidup karakternya melahirkan penceritaan tak mulus
berbentuk kumpulan segmen. Susi Susanti:
Love All menggabungkan keduanya sambil mengatasi kelemahan masing-masing
genre, guna menciptakan salah satu tontonan terbaik tahun ini.
Ditulis naskahnya oleh lima nama:
Syarika Bralini, Raditya Mangunsong (Kamulah
Satu-Satunya, Viva JKT48), Raymond Lee (Bajaj
Bajuri The Movie, Buffalo Boys), Daud Sumolang (Kebun Binatang), dan Sinar Ayu Massie (Sebelum Pagi Terulang Kembali, 6,9 Detik), film ini tidak memaknai
nasionalisme secara buta, namun mengajak penonton menelusuri maknanya lewat
frasa “love all” yang diucapkan wasit
bulutangkis di awal pertandingan saat kedudukan masih 0-0.
Kisahnya memang melompat mundur ke
masa kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn), tapi itu bertujuan memasang
pondasi, bukan didasari pemikiran “Agar ceritanya selengkap mungkin”. Pondasi
soal bagaimana ia banting setir menekuni bulutangkis serta bagaimana hubungan dengan
ayah (Iszur Muchtar) dan ibunya (Dayu Wijanto) membentuk Susi sebagai atlet
maupun individu. Pondasi yang cukup sebagai bekal sebelum melangkah ke fase dewasa
Susi.
Nama Susi Susanti (Laura Basuki)
melesat cepat, dan berhasil mengharumkan nama bangsa berkat sumbangan banyak juara,
khususnya di Piala Sudirman 1989 dan Olimpiade 1992, yang menjadikannya
pemenang medali emas Olimpiade pertama asal Indonesia. Tapi ini tidak
sesederhana “berlatih-juara-semua bahagia”. Sebab saat itu negeri ini tengah
bergejolak. Krisis moneter mencekik, sementara tindak rasisme terhadap warga
keturunan Cina semakin gencar. Bahkan meski menjuarai Olimpiade, status
kewarganegaraan Susi tak kunjung dipastikan.
Di sinilah Susi Susanti: Love All membuat kalimat “Memasyarakatkan Olahraga
dan Mengolahragakan Masyarakat” yang dikampanyekan Try Sutrisno (Farhan) bukan
sebatas jargon, tanpa harus melontarkan kalimat-kalimat bernada nasionalis. Melalui bulutangkis Susi belajar makna persatuan, kemudian
melalui bulutangkis pula ia menyatukan. Dia hargai perbedaan termasuk menjalin
hubungan baik dengan lawan tatkala para pemimpin bangsa mendengungkan pesan
serupa namun bertingkah sebaliknya, yang disindir oleh film ini dalam adegan “senam
pagi” yang singkat tapi menggelitik.
Punya cakupan kisah selama belasan
tahun, naskahnya mampu memilah titik mana saja dalam hidup Susi Susanti yang
substansial untuk diangkat, pun (dibantu mulusnya penyuntingan), jeli menjembatani
satu momen dengan lainnya. Contoh terbaik adalah ketika selepas pernikahan Susi
dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), kerusuhan pecah. Sekilas dua peristiwa itu
tak berkaitan, bahkan (mungkin) tidak terjadi berdekatan, namun muncul dinamika
berupa kontradiksi antara kebahagiaan dan kepiluan. Bukan cuma keterkaitan narasi
yang film ini ciptakan, juga rasa.
Tentu Sim F yang menjalani debut
penyutradaraan solo setelah sebelumnya ambil bagian menggarap segmen Kotak Coklat di omnibus Sanubari Jakarta (2012) turut berjasa
besar. Saya mengenal namanya di era MTV Ampuh sebagai sutradara beberapa video
klip Peterpan seperti Menghapus Jejakmu dan
Walau Habis Terang. Sim F membuktikan
bahwa sutradara video klip tidak hanya jago bermain visual kala berhasil
membangun atmosfer meyakinkan di partai final Piala Sudirman yang sarat
intensitas sampai teror mencekam di tengah kerusuhan. Satu-satunya kelemahan
justru terletak di visual berhiaskan “filter
Instagram” yang menghilangkan kesan organik kisahnya.
Tapi apa guna film biografi tanpa dibarengi
akting mumpuni? Laura Basuki bersinar baik di dalam maupun luar pertandingan. Pada
final Piala Sudirman kita bisa melihat transisi Susi, dari set pertama yang
dikuasai keraguan, lalu menemukan ketenangan di set kedua, sebelum tampil penuh
percaya diri di babak puncak. Pun air mata Laura ketika lagu kebangsaan berkumandang
pasca kemenangannya, ampuh menyentuh hati sekaligus memantik nasionalisme.
Sedangkan di luar lapangan, seharusnya tiada lagi yang meragukan kombinasi
Laura Basuki-Dion Wiyoko sebagai salah satu pasangan penghasil chemistry terkuat di perfilman
Indonesia, sebagaimana Susi Susanti: Love All berhasil menjadi salah satu film biografi/olahraga Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
reviewnya beragam yah ...!! duh jd bingung
BalasHapusMostly posiif kok. Dan emang sebagus itu
Hapusfilter instagram maksudnya apa yah?
BalasHapusWarna-warna nggak natural ala filter IG
HapusBagusan mana bang dengan 3 Srikandi?
BalasHapusJelas Susi Susanti
Hapuswarnanyakan mirip kayak kafir, soalnya cinematographernya yunus pasolang. masa kayak filter ig
BalasHapusCoba lihat di beberapa adegan khususnya outdoor. Ini bukan di sinematografi. Lebih ke coloring pas editing. Kalau lihat gaya Sim F bikin video klip, ini keputusan dia
HapusApakah mencapai seperti Film Cahaya Dari Timur?
BalasHapusMeskipun saya fans garis keras badminton sejak jaman susi susanti hingga sekarang, tapi kayaknya 4 stars terlalu baik mas. Setidaknya 3,5 lah mas, ambil dua *eh.
BalasHapusSaya setuju dengan komentar bahwa ini salah satu film biografi terbaik, hanya saja kekurangan nya terletak di scene yg paling penting, yaitu final piala sudirman, GBK. Dan final olimpiade atlanta, tentunya.
Gimana ya mas, feel pertandingan nya gak dapet. Mau sejak jaman rudi hartono sampe minions, yg namanya fans badminton di Indonesia itu terkenal rame dan ganas. Okelah untuk setting di Atlanta, tapi scene piala sudirman? Apalagi saya pernah beberapa kali nonton di istora, jadi begitu liat scene final badminton nya, duh gak bisa apa dibikin lebih wah,lebih epik. Pake trik CGI apa gimanalah gitu, gak paham juga sih, hihihi.
Itu aja sih dari saya. Kalo dari segi cerita, akting, kostum dll keren abis sesuai komen mas Rasyid. Salam olahraga! 😁