25/10/19

SUSI SUSANTI: LOVE ALL (2019)

0 View
Film bertema nasionalisme kita cenderung seperti mesin, menyuarakan “Indonesia raya!” atau “Hidup merah putih!” secara keras, lantang, tapi kosong. Sedangkan untuk film biografi, keharusan mencakup sebanyak mungkin fase hidup karakternya melahirkan penceritaan tak mulus berbentuk kumpulan segmen. Susi Susanti: Love All menggabungkan keduanya sambil mengatasi kelemahan masing-masing genre, guna menciptakan salah satu tontonan terbaik tahun ini.

Ditulis naskahnya oleh lima nama: Syarika Bralini, Raditya Mangunsong (Kamulah Satu-Satunya, Viva JKT48), Raymond Lee (Bajaj Bajuri The Movie, Buffalo Boys), Daud Sumolang (Kebun Binatang), dan Sinar Ayu Massie (Sebelum Pagi Terulang Kembali, 6,9 Detik), film ini tidak memaknai nasionalisme secara buta, namun mengajak penonton menelusuri maknanya lewat frasa “love all” yang diucapkan wasit bulutangkis di awal pertandingan saat kedudukan masih 0-0.

Kisahnya memang melompat mundur ke masa kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn), tapi itu bertujuan memasang pondasi, bukan didasari pemikiran “Agar ceritanya selengkap mungkin”. Pondasi soal bagaimana ia banting setir menekuni bulutangkis serta bagaimana hubungan dengan ayah (Iszur Muchtar) dan ibunya (Dayu Wijanto) membentuk Susi sebagai atlet maupun individu. Pondasi yang cukup sebagai bekal sebelum melangkah ke fase dewasa Susi.

Nama Susi Susanti (Laura Basuki) melesat cepat, dan berhasil mengharumkan nama bangsa berkat sumbangan banyak juara, khususnya di Piala Sudirman 1989 dan Olimpiade 1992, yang menjadikannya pemenang medali emas Olimpiade pertama asal Indonesia. Tapi ini tidak sesederhana “berlatih-juara-semua bahagia”. Sebab saat itu negeri ini tengah bergejolak. Krisis moneter mencekik, sementara tindak rasisme terhadap warga keturunan Cina semakin gencar. Bahkan meski menjuarai Olimpiade, status kewarganegaraan Susi tak kunjung dipastikan.

Di sinilah Susi Susanti: Love All membuat kalimat “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang dikampanyekan Try Sutrisno (Farhan) bukan sebatas jargon, tanpa harus melontarkan kalimat-kalimat bernada nasionalis. Melalui bulutangkis Susi belajar makna persatuan, kemudian melalui bulutangkis pula ia menyatukan. Dia hargai perbedaan termasuk menjalin hubungan baik dengan lawan tatkala para pemimpin bangsa mendengungkan pesan serupa namun bertingkah sebaliknya, yang disindir oleh film ini dalam adegan “senam pagi” yang singkat tapi menggelitik.

Punya cakupan kisah selama belasan tahun, naskahnya mampu memilah titik mana saja dalam hidup Susi Susanti yang substansial untuk diangkat, pun (dibantu mulusnya penyuntingan), jeli menjembatani satu momen dengan lainnya. Contoh terbaik adalah ketika selepas pernikahan Susi dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), kerusuhan pecah. Sekilas dua peristiwa itu tak berkaitan, bahkan (mungkin) tidak terjadi berdekatan, namun muncul dinamika berupa kontradiksi antara kebahagiaan dan kepiluan. Bukan cuma keterkaitan narasi yang film ini ciptakan, juga rasa.

Tentu Sim F yang menjalani debut penyutradaraan solo setelah sebelumnya ambil bagian menggarap segmen Kotak Coklat di omnibus Sanubari Jakarta (2012) turut berjasa besar. Saya mengenal namanya di era MTV Ampuh sebagai sutradara beberapa video klip Peterpan seperti Menghapus Jejakmu dan Walau Habis Terang. Sim F membuktikan bahwa sutradara video klip tidak hanya jago bermain visual kala berhasil membangun atmosfer meyakinkan di partai final Piala Sudirman yang sarat intensitas sampai teror mencekam di tengah kerusuhan. Satu-satunya kelemahan justru terletak di visual berhiaskan “filter Instagram” yang menghilangkan kesan organik kisahnya.

Tapi apa guna film biografi tanpa dibarengi akting mumpuni? Laura Basuki bersinar baik di dalam maupun luar pertandingan. Pada final Piala Sudirman kita bisa melihat transisi Susi, dari set pertama yang dikuasai keraguan, lalu menemukan ketenangan di set kedua, sebelum tampil penuh percaya diri di babak puncak. Pun air mata Laura ketika lagu kebangsaan berkumandang pasca kemenangannya, ampuh menyentuh hati sekaligus memantik nasionalisme. Sedangkan di luar lapangan, seharusnya tiada lagi yang meragukan kombinasi Laura Basuki-Dion Wiyoko sebagai salah satu pasangan penghasil chemistry terkuat di perfilman Indonesia, sebagaimana Susi Susanti: Love All berhasil menjadi salah satu film biografi/olahraga Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

10 komentar :

  1. reviewnya beragam yah ...!! duh jd bingung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mostly posiif kok. Dan emang sebagus itu

      Hapus
  2. filter instagram maksudnya apa yah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Warna-warna nggak natural ala filter IG

      Hapus
  3. Bagusan mana bang dengan 3 Srikandi?

    BalasHapus
  4. Burhan12:33 AM

    warnanyakan mirip kayak kafir, soalnya cinematographernya yunus pasolang. masa kayak filter ig

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba lihat di beberapa adegan khususnya outdoor. Ini bukan di sinematografi. Lebih ke coloring pas editing. Kalau lihat gaya Sim F bikin video klip, ini keputusan dia

      Hapus
  5. Apakah mencapai seperti Film Cahaya Dari Timur?

    BalasHapus
  6. Meskipun saya fans garis keras badminton sejak jaman susi susanti hingga sekarang, tapi kayaknya 4 stars terlalu baik mas. Setidaknya 3,5 lah mas, ambil dua *eh.

    Saya setuju dengan komentar bahwa ini salah satu film biografi terbaik, hanya saja kekurangan nya terletak di scene yg paling penting, yaitu final piala sudirman, GBK. Dan final olimpiade atlanta, tentunya.

    Gimana ya mas, feel pertandingan nya gak dapet. Mau sejak jaman rudi hartono sampe minions, yg namanya fans badminton di Indonesia itu terkenal rame dan ganas. Okelah untuk setting di Atlanta, tapi scene piala sudirman? Apalagi saya pernah beberapa kali nonton di istora, jadi begitu liat scene final badminton nya, duh gak bisa apa dibikin lebih wah,lebih epik. Pake trik CGI apa gimanalah gitu, gak paham juga sih, hihihi.

    Itu aja sih dari saya. Kalo dari segi cerita, akting, kostum dll keren abis sesuai komen mas Rasyid. Salam olahraga! 😁

    BalasHapus