05/10/19

THE NIGHTSHIFTER (2018)

0 View
Melihat pemakaian gambar kusam, musik yang terdengar menyayat, sampai pilihan jenis huruf untuk judulnya, awalnya horor asal Brazil ini terkesan bakal jadi tontonan yang mencerminkan film-film grindhouse masa lalu. Seiring berjalannya waktu, sadisme berdarah memang kerap ditemui, namun The Nightshifter rupanya kental mengandung elemen drama, yang sayangnya tidak ditulis dengan begitu baik sehingga gagal memaksimalkan potensi besarnya.

Potensi tersebut ada pada protagonisnya, Stênio (Daniel de Oliveira), seorang penjaga malam kamar mayat yang bisa berkomunikasi dengan kadaver. Setiap malam ia pun terlibat obrolan, dan tak jarang, terucap permintaan dari mayat yang diurus Stênio. Ada yang dia kabulkan, seperti saat korban kerusuhan suporter sepak bola meminta Stênio menghubungi keluarganya, ada pula yang ditolak, misalnya sewaktu anggota sebuah kartel mengharapkan dendamnya dibalaskan.

Ada keputusan teknis dari sutradara Dennison Ramalho (kreator segmen J is for Jesus di ABCs of Death 2) yang membuat saya mengernyitkan dahi. Ketimbang memakai wajah aktor, Ramalho justru menggunakan CGI guna mengkreasi ekspresi mayat kala berbicara. Mungkin dia ingin menangkap ketidaknaturalan dari situasi tersebut, tapi buruknya kualitas CGI malah menciptakan distraksi sekaligus melucuti kengerian, pun tak jarang menggelikan.

Sempat saya mengira filmnya bakal senada dengan Last Shift (2014) atau The Autopsy of Jane Doe (2016) dalam hal pemakaian satu lokasi, di mana teror berpusat pada kesialan protagonis yang memperoleh tugas jaga malam. Tapi naskah buatan Ramalho bersama Cláudia Jouvin (Alone Man, O Gorila) ternyata menyimpan skala cerita lebih luas. Kita diajak menyaksikan kehidupan Stênio di luar pekerjaannya.

Stênio sendiri tampak lebih nyaman berada di kamar mayat ketimbang di rumah. Di tempat kerjanya, obrolan dengan para arwah berlangsung santai, bahkan ia nyaman saja terlelap di antara mayat-mayat. Sedangkan di rumah, dia merasa sang istri, Odete (Fabiula Nascimento), menolak menghargainya. Odete bahkan memandang jijik suaminya. Hingga suatu malam, mayat seseorang yang dikenalnya mengungkap suatu rahasia mengenai bilik pribadi Stênio, memancing amarahnya, sampai ia nekat menyalahgunakan bakat berkomunikasinya.

Pesan The Nightshifter jelas, sebagaimana banyak horor lain di luar sana, yakni “Jangan bermain-main dengan alam kematian. Satu yang tidak jelas adalah soal detail mitologi, yang berperan penting atas terjadinya teror akibat keputusan ngawur Stênio. Naskahnya meninggalkan beberapa elemen tanpa penjelasan yang akhirnya melahirkan kebingungan alih-alih ambiguitas misteri. Padahal terdapat kesegaran terkait cara film ini mengeksplorasi betapa keji cara iblis (atau hantu?) mempermainkan psikis karakternya. Bukan cuma menampakkan diri, jiwa Stênio dipermainkan begitu hebat melalui beragam cara mengerikan. Mencapai pertengahan saya mulai bertanya-tanya, “apakah segala teror tadi benar terjadi atau hanya ada di kepala Stênio?”.

Naskahnya pun berantakan dalam mengatur fokus, bagai kebingungan menentukan bentuk narasi. Semakin jauh melangkah, The Nightshifter semakin tanpa arah, tapi ini juga bukanlah studi akan hari-hari seorang penjaga kamar mayat—sebuah gaya yang lebih mementingkan observasi daripada progresi alur. Kedua penulisnya seperti berambisi memperluas cakupan kisah tanpa dibarengi pondasi mumpuni. Dampaknya, durasi membengkak sampai mendekati dua jam (110 menit).

Beruntung, penyutradaraan Dennison Ramalho cukup kompeten melahirkan deretan momen menghentak. Beberapa jump scare, khususnya sewaktu The Nightshifter merambah sub-genre “rumah berhantu”, memang medioker, namun sisanya efektif memancing kekagetan. Satu momen yang melibatkan lemari pendingin mayat merupakan salah satu highlight. Sementara sentuhan gore (ditambah tata musik berbasis sayatan senar, adegan “perangkap benang pancing” adalah kreativitas yang menyakitkan) akan membuatmu terus terjaga, walau The Nightshifter membuang banyak potensinya.

2 komentar :