Melihat pemakaian gambar kusam,
musik yang terdengar menyayat, sampai pilihan jenis huruf untuk judulnya,
awalnya horor asal Brazil ini terkesan bakal jadi tontonan yang mencerminkan film-film
grindhouse masa lalu. Seiring
berjalannya waktu, sadisme berdarah memang kerap ditemui, namun The Nightshifter rupanya kental
mengandung elemen drama, yang sayangnya tidak ditulis dengan begitu baik
sehingga gagal memaksimalkan potensi besarnya.
Potensi tersebut ada pada
protagonisnya, Stênio (Daniel de Oliveira), seorang penjaga malam kamar mayat
yang bisa berkomunikasi dengan kadaver. Setiap malam ia pun terlibat obrolan,
dan tak jarang, terucap permintaan dari mayat yang diurus Stênio. Ada yang dia
kabulkan, seperti saat korban kerusuhan suporter sepak bola meminta Stênio
menghubungi keluarganya, ada pula yang ditolak, misalnya sewaktu anggota sebuah
kartel mengharapkan dendamnya dibalaskan.
Ada keputusan teknis dari sutradara
Dennison Ramalho (kreator segmen J is for
Jesus di ABCs of Death 2) yang
membuat saya mengernyitkan dahi. Ketimbang memakai wajah aktor, Ramalho justru
menggunakan CGI guna mengkreasi ekspresi mayat kala berbicara. Mungkin dia
ingin menangkap ketidaknaturalan dari situasi tersebut, tapi buruknya kualitas
CGI malah menciptakan distraksi sekaligus melucuti kengerian, pun tak jarang
menggelikan.
Sempat saya mengira filmnya bakal
senada dengan Last Shift (2014) atau The Autopsy of Jane Doe (2016) dalam hal
pemakaian satu lokasi, di mana teror berpusat pada kesialan protagonis yang
memperoleh tugas jaga malam. Tapi naskah buatan Ramalho bersama Cláudia Jouvin
(Alone Man, O Gorila) ternyata
menyimpan skala cerita lebih luas. Kita diajak menyaksikan kehidupan Stênio di
luar pekerjaannya.
Stênio sendiri tampak lebih nyaman
berada di kamar mayat ketimbang di rumah. Di tempat kerjanya, obrolan dengan para
arwah berlangsung santai, bahkan ia nyaman saja terlelap di antara mayat-mayat.
Sedangkan di rumah, dia merasa sang istri, Odete (Fabiula Nascimento), menolak
menghargainya. Odete bahkan memandang jijik suaminya. Hingga suatu malam, mayat
seseorang yang dikenalnya mengungkap suatu rahasia mengenai bilik pribadi Stênio,
memancing amarahnya, sampai ia nekat menyalahgunakan bakat berkomunikasinya.
Pesan The Nightshifter jelas, sebagaimana banyak horor lain di luar sana,
yakni “Jangan bermain-main dengan alam kematian. Satu yang tidak jelas adalah
soal detail mitologi, yang berperan penting atas terjadinya teror akibat keputusan
ngawur Stênio. Naskahnya meninggalkan beberapa elemen tanpa penjelasan yang
akhirnya melahirkan kebingungan alih-alih ambiguitas misteri. Padahal terdapat
kesegaran terkait cara film ini mengeksplorasi betapa keji cara iblis (atau
hantu?) mempermainkan psikis karakternya. Bukan cuma menampakkan diri, jiwa Stênio
dipermainkan begitu hebat melalui beragam cara mengerikan. Mencapai pertengahan
saya mulai bertanya-tanya, “apakah segala teror tadi benar terjadi atau hanya ada
di kepala Stênio?”.
Naskahnya pun berantakan dalam
mengatur fokus, bagai kebingungan menentukan bentuk narasi. Semakin jauh
melangkah, The Nightshifter semakin tanpa
arah, tapi ini juga bukanlah studi akan hari-hari seorang penjaga kamar mayat—sebuah
gaya yang lebih mementingkan observasi daripada progresi alur. Kedua penulisnya
seperti berambisi memperluas cakupan kisah tanpa dibarengi pondasi mumpuni. Dampaknya,
durasi membengkak sampai mendekati dua jam (110 menit).
Beruntung, penyutradaraan Dennison
Ramalho cukup kompeten melahirkan deretan momen menghentak. Beberapa jump scare, khususnya sewaktu The Nightshifter merambah sub-genre “rumah
berhantu”, memang medioker, namun sisanya efektif memancing kekagetan. Satu
momen yang melibatkan lemari pendingin mayat merupakan salah satu highlight. Sementara sentuhan gore (ditambah tata musik berbasis
sayatan senar, adegan “perangkap benang pancing” adalah kreativitas yang
menyakitkan) akan membuatmu terus terjaga, walau The Nightshifter membuang banyak potensinya.
Nih film tayang di bioskop apa bang..?
BalasHapusCuma tayang di cgv aja kayaknya
Hapus