Pesulap bernama Lukman (Reza
Rahadian) memutuskan pensiun. Di pertunjukkan terakhirnya, ia bertaruh, kalau
triknya gagal, maka ia takkan melakukan sulap lagi. Sebuah alasan semata,
karena di situ, Lukman memang berniat gagal. Triknya adalah menghilangkan bocah
dalam kotak. Alih-alih kotak khusus, ia memakai kotak kayu biasa peninggalan
sang ayah, seorang pesulap tersohor yang hilang pasca pensiun. Tapi, saat
dibuka, kotak itu kosong. Kekosongan yang juga terasa di hati saya selama
menonton Abracadabra.
Berikutnya, orang-orang lain ikut
hilang karena kotak tersebut, dan Lukman melakukan perjalanan guna
mengembalikan mereka, sembari mencari tahu rahasia di balik kotak kayu
bertuliskan “Abracadabra” itu. Perjalanan yang melibatkan kejar-kejaran dengan
trio polisi konyol (Butet Kertaradjasa, Ence Bagus, Imam Darto) hingga
kemunculan wanita berpenampilan glamor (Salvita Decorte) yang bak berasal dari
masa tatkala kabaret Moulin Rouge mencapai puncak kejayaan.
Faozan Rizal (Habibie & Ainun, Say I Love You), selaku sutradara sekaligus
penulis naskah, menjadikan film ini taman bermain. Sejak menit-menit awal
ketika Lukman mengadakan pertunjukan sementara pesulap-pesulap lain—termasuk
Paul Agusta dengan dandanan ala drag
queen dan Ismail Basbeth yang bisa melayang—ikut menonton, absurditas sudah
terbangun. Ini bukan dunia di mana manusia berperilaku seperti realita, kultur
dan teknologi bagai berasal dari dongeng, pun nalar tidak bekerja “sebagaimana
mestinya”.
Kreativitas ide liar Faozan Rizal
dalam membangun dunia memang menarik, sama menariknya dengan bagaimana sang
sutradara, yang lebih dikenal sebagai sinematografer, menjadikan Abracadabra salah satu suguhan visual
paling unik serta memanjakan mata dalam perfilman Indonesia. Terkesan quirky dan banyak dihiasi warna pastel,
tidak salah bila ingatan langsung tertuju pada karya-karya Wes Anderson,
khususnya The Grand Budapest Hotel (2014).
Ragam warna pembungkus latar
termasuk kantor polisi berwarna merah muda di tiap sudut, mise-en-scène yang memperhatikan betul presisi penempatan objek
termasuk aktor secara detail, pesawat dan mobil mainan yang berjalan di atas
sebuah peta untuk menggambarkan perjalanan Lukman, kostum-kostum ala
pertunjukan panggung megah, menciptakan pemandangan pemuas mata, yang
memperlihatkan apa jadinya kalau perkawinan empat departemen, yaitu penyutradaraan,
sinematografi, tata kostum, dan art
direction, berlangsung mulus.
Hampir tiap shot bisa di-capture sebagai
wallpaper, untuk kemudian diamati
terkait luar biasanya Faozan dan tim memperhatikan detail. Visualnya memang
menghipnotis. Tapi seperti orang dihipnotis, hati terasa hampa. Ceritanya
tenggelam dalam eksperimentasi gambar dan gaya. Padahal sejatinya, kisah Abracadabra sederhana saja. Tentang
perjalanan karakternya memahami, mempercayai, lalu akhirnya menerima.
Dikisahkan, kotak milik Lukman terbuat
dari kayu Yggdrasil, pohon dari mitologi Norse, yang menghubungkan sembilan
dunia. Silahkan cari tahu beberapa kisah soal Yggdrasil dan mitologi Norse
secara umum, termasuk tentang konsep waktu yang tidak linear dalam mitologi
itu. Anda akan bisa memecahkan garis besar teki-teki Abracadabra. Tapi adanya makna tersirat dan metafora tidak
berbanding lurus dengan kualitas penceritaan. Terpenting adalah pengemasannya.
Dan di sini, rasa dalam drama kehidupan Lukman lenyap. Bernasib sama adalah
kualitas akting Reza Rahadian.
Jangan salah, Reza tidak pernah
buruk. Hanya saja, kesan spesial yang kerap mengiringi kemunculannya urung
nampak. Dia tak kuasa memperbaiki penokohan membosankan Lukman, seorang pria gloomy di antara dunia sarat keceriaan. Abracadabra mengandung dua sisi yang tak
pernah bisa melebur. Tuturan komersil ringan bersenjatakan lelucon receh yang cukup
efektif memancing tawa berbenturan dengan kontemplasi kelam. Ketimbang saling
mengisi, pertemuan keduanya melahirkan inkonsistensi. Film ini kental pengaruh
Wes Anderson, dan sulit tidak berharap Faozan mau sepenuhnya menempuh jalur
komedik seperti Anderson.
Proses batin protagonisnya gagal
dieksplorasi, sehingga saat akhirnya ia mencapai destinasi, transformasi
internalnya kurang meyakinkan. Sungguh saya ingin menyukai Abracadabra, khususnya karena totalitas para pembuatnya melahirkan parade
visual luar biasa patut diacungi jempol. Tapi patut disadari bahwa urgensi di
industri perfilman kita adalah soal perbikan penulisan naskah, bukan gambar
cantik.
Wah keknya seru buat saya nih. Walaupun tentu jangan berekspektasi tinggi dulu
BalasHapusberusaha terlalu keras untuk menyamai film auteur lain. overquirky. saturasi warnanya cem kamera vsco pula.
BalasHapus