20/11/19

JAFF 2019 - ABRACADABRA

0 View
Pesulap bernama Lukman (Reza Rahadian) memutuskan pensiun. Di pertunjukkan terakhirnya, ia bertaruh, kalau triknya gagal, maka ia takkan melakukan sulap lagi. Sebuah alasan semata, karena di situ, Lukman memang berniat gagal. Triknya adalah menghilangkan bocah dalam kotak. Alih-alih kotak khusus, ia memakai kotak kayu biasa peninggalan sang ayah, seorang pesulap tersohor yang hilang pasca pensiun. Tapi, saat dibuka, kotak itu kosong. Kekosongan yang juga terasa di hati saya selama menonton Abracadabra.

Berikutnya, orang-orang lain ikut hilang karena kotak tersebut, dan Lukman melakukan perjalanan guna mengembalikan mereka, sembari mencari tahu rahasia di balik kotak kayu bertuliskan “Abracadabra” itu. Perjalanan yang melibatkan kejar-kejaran dengan trio polisi konyol (Butet Kertaradjasa, Ence Bagus, Imam Darto) hingga kemunculan wanita berpenampilan glamor (Salvita Decorte) yang bak berasal dari masa tatkala kabaret Moulin Rouge mencapai puncak kejayaan.

Faozan Rizal (Habibie & Ainun, Say I Love You), selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menjadikan film ini taman bermain. Sejak menit-menit awal ketika Lukman mengadakan pertunjukan sementara pesulap-pesulap lain—termasuk Paul Agusta dengan dandanan ala drag queen dan Ismail Basbeth yang bisa melayang—ikut menonton, absurditas sudah terbangun. Ini bukan dunia di mana manusia berperilaku seperti realita, kultur dan teknologi bagai berasal dari dongeng, pun nalar tidak bekerja “sebagaimana mestinya”.

Kreativitas ide liar Faozan Rizal dalam membangun dunia memang menarik, sama menariknya dengan bagaimana sang sutradara, yang lebih dikenal sebagai sinematografer, menjadikan Abracadabra salah satu suguhan visual paling unik serta memanjakan mata dalam perfilman Indonesia. Terkesan quirky dan banyak dihiasi warna pastel, tidak salah bila ingatan langsung tertuju pada karya-karya Wes Anderson, khususnya The Grand Budapest Hotel (2014).

Ragam warna pembungkus latar termasuk kantor polisi berwarna merah muda di tiap sudut, mise-en-scène yang memperhatikan betul presisi penempatan objek termasuk aktor secara detail, pesawat dan mobil mainan yang berjalan di atas sebuah peta untuk menggambarkan perjalanan Lukman, kostum-kostum ala pertunjukan panggung megah, menciptakan pemandangan pemuas mata, yang memperlihatkan apa jadinya kalau perkawinan empat departemen, yaitu penyutradaraan, sinematografi, tata kostum, dan art direction, berlangsung mulus.

Hampir tiap shot bisa di-capture sebagai wallpaper, untuk kemudian diamati terkait luar biasanya Faozan dan tim memperhatikan detail. Visualnya memang menghipnotis. Tapi seperti orang dihipnotis, hati terasa hampa. Ceritanya tenggelam dalam eksperimentasi gambar dan gaya. Padahal sejatinya, kisah Abracadabra sederhana saja. Tentang perjalanan karakternya memahami, mempercayai, lalu akhirnya menerima.

Dikisahkan, kotak milik Lukman terbuat dari kayu Yggdrasil, pohon dari mitologi Norse, yang menghubungkan sembilan dunia. Silahkan cari tahu beberapa kisah soal Yggdrasil dan mitologi Norse secara umum, termasuk tentang konsep waktu yang tidak linear dalam mitologi itu. Anda akan bisa memecahkan garis besar teki-teki Abracadabra. Tapi adanya makna tersirat dan metafora tidak berbanding lurus dengan kualitas penceritaan. Terpenting adalah pengemasannya. Dan di sini, rasa dalam drama kehidupan Lukman lenyap. Bernasib sama adalah kualitas akting Reza Rahadian.

Jangan salah, Reza tidak pernah buruk. Hanya saja, kesan spesial yang kerap mengiringi kemunculannya urung nampak. Dia tak kuasa memperbaiki penokohan membosankan Lukman, seorang pria gloomy di antara dunia sarat keceriaan. Abracadabra mengandung dua sisi yang tak pernah bisa melebur. Tuturan komersil ringan bersenjatakan lelucon receh yang cukup efektif memancing tawa berbenturan dengan kontemplasi kelam. Ketimbang saling mengisi, pertemuan keduanya melahirkan inkonsistensi. Film ini kental pengaruh Wes Anderson, dan sulit tidak berharap Faozan mau sepenuhnya menempuh jalur komedik seperti Anderson.

Proses batin protagonisnya gagal dieksplorasi, sehingga saat akhirnya ia mencapai destinasi, transformasi internalnya kurang meyakinkan. Sungguh saya ingin menyukai Abracadabra, khususnya karena totalitas para pembuatnya melahirkan parade visual luar biasa patut diacungi jempol. Tapi patut disadari bahwa urgensi di industri perfilman kita adalah soal perbikan penulisan naskah, bukan gambar cantik.

2 komentar :

  1. Wah keknya seru buat saya nih. Walaupun tentu jangan berekspektasi tinggi dulu

    BalasHapus
  2. berusaha terlalu keras untuk menyamai film auteur lain. overquirky. saturasi warnanya cem kamera vsco pula.

    BalasHapus