21/11/19

FROZEN 2 (2019)

0 View
Sekuel dari film animasi terlaris kedua sepanjang masa ini menegaskan bahwa di periode keemasan modernnya, pendekatan yang Walt Disney terapkan di animasi adalah penggabungan kekhasan fantasi negeri dongeng mereka dengan high concept dengan gelora emosi ala Pixar. Kembali ditulis oleh Jennifer Lee, yang juga masih menyutradarai bersama Chris Buck, Frozen 2 mengeksplorasi mitologi yang cukup kompleks apalagi bagi penonton anak, sambil tetap mengaduk-aduk rasa dalam cerita berdaya imajinasi tinggi.

Cinta, memori, dan alam. Tiga elemen tersebut diceritakan saling terkait. Cinta menyimpan memori, alam pun demikian. Manusia mesti mencintai alam yang sejatinya dipenuhi cinta. Kurang lebih begitu. Cukup sulit menjabarkan itu ke anak, karena bagi orang dewasa pun, pemaparan mitologi Frozen 2 takkan bisa dicerna segampang itu. Naskahnya memang amat ambisius, hingga kerap kelabakan sendiri menyusun keping-kepingnya, walau kemampuan Jennifer Lee memperluas mitologi sambil mengaitkannya dengan beberapa poin cerita dari film pertama patut dipuji.

Tiga tahun selepas film pertama, Elsa (Idina Menzel) mampu membawa perdamaian sebagai Ratu Arendelle, memerintah ditemani adiknya, Anna (Kristen Bell), yang hubungan romansanya dengan Kristoff (Jonathan Groff) pelan-pelan mulai beranjak ke jenjang lebih serius, setidaknya dari sisi sang pria. Semua bahagia, sampai Elsa mulai mendengar suara aneh memanggilnya dari Utara. Suara yang menggiring Elsa, Anna, Kristoff, Sven, dan Olaf (Josh Gad) mengarungi petualangan guna mencari tahu asal-usul kekuatan sihir es Elsa.

Sepanjang perjalanan, peristiwa-peristiwa magis ditemui, dan rentetan keajaiban itulah yang agak kesulitn dirangkai oleh Jennifer Lee. Apa? Mengapa? Bagaimana? Tiga pertanyaan tersebut kerap mencuat dan tak selalu berhasil dijabarkan dengan rapi. Hal lain yang banyak mengisi perjalanan filmnya adalah adegan musikal. Saya mendengar keluhan bahwa Frozen 2 terlalu sering bernyanyi, tapi bukan itu kasusnya. Silahkan hitung. Jumlah sekuen musikal film pertama dan kedua sama-sama delapan buah. Hanya saja, penempatannya, terlebih di awal, cukup berdekatan sehingga terkesan penuh sesak.

Tapi itu tidak jadi soal, sebab ini film musikal. Selama tiap lagu membantu penelusuran cerita dan eksplorasi karakter, sah-sah saja mau sebanyak apa pun. Dan Frozen 2 berhasil melakukan itu. Benar bahwa selain Into the Unknown (dengan cerdik sekelumit nadanya terus diputar selaku bagian penting cerita sehingga mudah menempel di ingatan) lagu-lagunya belum sekuat film pertama, namun itu dikarenakan mengejar kualitas “kelas dewa” pendahulunya adalah kemustahilan.

Tapi ketertinggalan tersebut mampu dibayar lunas oleh pengadeganan indah nan kreatif. Lost in the Woods yang bak parodi video klip pop romantis era 80-90an, kejenakaan When I Am Older, lalu tentunya Into the Unknown dan Show Yourself selaku klimaks presentasi visual dengan sedikit napas surealisme, yang mewakili proses Elsa selangkah demi selangkah bertransformasi dari Ratu sakti menjadi “ethereal, magical, superior being”. Penurunan kualitas cuma terjadi pada The Next Right Thing, sebuah balada klise dengan visualisasi yang nampak kerdil dibanding para kompatriotnya.

Mengulik lebih jauh departemen visualnya, di luar adegan musikal, kualitas animasi Frozen 2 begitu baik, pun sempat menyentuh ranah photorealistic. Paling memikat adalah bagaimana animasi film ini menghidupkan air. Entah gulungan ombak raksasa atau ratusan gelembung yang melayang dari balik lantai kapal. Silahkan cari animasi lain yang bisa mengkreasi air, yang notabene bukan elemen yang gampang dianimasi, senyata film ini.

Selain soundtrack, scoring garapan Cristophe Beck pun menghadirkan keindahan lain yang seolah mewakili harmoni alam, yang begitu indahnya, sampai bisa mengaduk-aduk perasaan. Sementara terkait Elsa, Frozen 2 ibarat kulminasi pesan empowerment yang dibawa karakternya. Berulang kali, saya dan banyak penonton bersorak merayakan wanita tangguh satu ini beraksi bak superhero. Dari sosok bermasalah yang ditakuti, Ratu, pahlawan super, sampai akhirnya menjadi seorang Dewi. Tidak ada alasan untuk tidak mencintai Elsa.

Sejak awal, Frozen sudah mengusung pesan empowerment, termasuk kala mendobrak formula prince charming di film pertama. Tapi tuturannya seimbang, tidak serta merta memukul rata dengan melukiskan semua pria secara negatif. Kedua gender saling menyokong. Contoh terbaik adalah saat Kristoff menolong Anna dari kejaran sekelompok raksasa. Dia hanya berkata “I’m here. What do you need?”. Dari kalimat singkat itu, bukan aksi heroik Kristoff yang ditonjolkan, melainkan bagaimana ia hanya pria sederhana yang siap sedia mendukung cintanya.

Semakin jauh kisah berjalan, Frozen 2 semakin terkesan kelam, tapi gelak tawa serta teriakan sebagai ekspresi rasa gemas tetap berhasil diproduksi. Olaf masih karakter pendukung yang dicintai penonton, dan kali ini, seekor kadal api menggemaskan ikut berpartisipasi mencuri hati. Bicara mengenai karakter, menarik disimak bahwa Frozen 2 tidak punya antagonis, dan memang tidak membutuhkannya. Ini bukan kisah kebaikan melawan kejahatan. Ini tentang usaha menemukan harmoni antara internal manusia dengan semesta.

17 komentar :

  1. Anonim6:00 AM

    Rumor Elsa yang jadi karakter lesbian dan punya pacar cewek bener ada difilm ini???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anonim10:54 AM

      Saya juga penasaran apakah isu ini benar?

      Hapus
    2. Nope Gak Ada lesbian Di filmnya

      Hapus
  2. The Good Dinosaur-nya pixar belum ada yg nandingin sih soal visual effect alamnya

    BalasHapus
  3. Penasaran dengan fakta film kedua terlaris. Ane kira juara pertamanya toy story,ternyata setelah googling salah ane wkekekk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nomer satunya film animasi live action? Ahahaha

      Hapus
    2. The Lion King itu masuknya full animasi sih, full CGI

      Hapus
  4. Yg nomor 1 sih Live action animasi.. itupun bnyk yg nonton gara2 unsur nostalgicnya
    Makin tajir dah..
    Mudah2an visinema gak dibeli sm disney wkwk

    BalasHapus
  5. Gelo sih kalau visinema dibeli Disney. Wkwkwkwk
    Kalau A24 dibeli keknya ga bisa ya. Dikira monopoli ga sih? Btw yang pertama beneran Lion King?

    BalasHapus
  6. Elsa jadi seorang Dewi, tidak ada antagonis, agak spoiler ga sih om?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada antagonis jelas bukan spoiler. Itu poin yang biasa dibahas di review. Soal Elsa juga bukan, karena baru bakal paham setelah nonton

      Hapus
    2. Mnurutku soal elsa itu spoiler pak.. Untung ga baca review manapun sebelum nonton filmnya.. jdi deg2an sepanjang film.. temenku yg nonton duluan, blg ga suka endingnya.. tp mnurutku ini ending terbaik.. dari frozen I aku merasa anna lebih cocok yg jd ratu drpd elsa..

      Hapus
  7. Anonim3:02 PM

    Yang paling memorable pas Olaf memperagakan adegan film frozen pertama.. kalo lagunya yg nempel banget justru lagu kristoff duet sama para rusa 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyakah? Klo aku sih lupa.. yang aku ingat aku tertawa sepanjang lagu.. nostalgia video klip lagu jadul xD

      Hapus
  8. Tapi mas Rasyid, bukannya si kakeknya elsa sama anna itu karakter antagonis ya?, kan dia penyebab roh2 itu marah ke kerajaan arendelle karena sudah membunuh kepala suku di hutan magis itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Si kakek lebih ke arah pemicu. Kalau pun ada antagonis, ya rohnya. Soalnya antagonis bukan berarti "jahat"

      Hapus