Sekuel dari film animasi terlaris
kedua sepanjang masa ini menegaskan bahwa di periode keemasan modernnya,
pendekatan yang Walt Disney terapkan di animasi adalah penggabungan kekhasan
fantasi negeri dongeng mereka dengan high
concept dengan gelora emosi ala Pixar. Kembali ditulis oleh Jennifer Lee,
yang juga masih menyutradarai bersama Chris Buck, Frozen 2 mengeksplorasi mitologi yang cukup kompleks apalagi bagi
penonton anak, sambil tetap mengaduk-aduk rasa dalam cerita berdaya imajinasi
tinggi.
Cinta, memori, dan alam. Tiga
elemen tersebut diceritakan saling terkait. Cinta menyimpan memori, alam pun
demikian. Manusia mesti mencintai alam yang sejatinya dipenuhi cinta. Kurang
lebih begitu. Cukup sulit menjabarkan itu ke anak, karena bagi orang dewasa
pun, pemaparan mitologi Frozen 2 takkan
bisa dicerna segampang itu. Naskahnya memang amat ambisius, hingga kerap
kelabakan sendiri menyusun keping-kepingnya, walau kemampuan Jennifer Lee memperluas
mitologi sambil mengaitkannya dengan beberapa poin cerita dari film pertama
patut dipuji.
Tiga tahun selepas film pertama,
Elsa (Idina Menzel) mampu membawa perdamaian sebagai Ratu Arendelle, memerintah
ditemani adiknya, Anna (Kristen Bell), yang hubungan romansanya dengan Kristoff
(Jonathan Groff) pelan-pelan mulai beranjak ke jenjang lebih serius, setidaknya
dari sisi sang pria. Semua bahagia, sampai Elsa mulai mendengar suara aneh
memanggilnya dari Utara. Suara yang menggiring Elsa, Anna, Kristoff, Sven, dan
Olaf (Josh Gad) mengarungi petualangan guna mencari tahu asal-usul kekuatan
sihir es Elsa.
Sepanjang perjalanan,
peristiwa-peristiwa magis ditemui, dan rentetan keajaiban itulah yang agak
kesulitn dirangkai oleh Jennifer Lee. Apa? Mengapa? Bagaimana? Tiga pertanyaan
tersebut kerap mencuat dan tak selalu berhasil dijabarkan dengan rapi. Hal lain
yang banyak mengisi perjalanan filmnya adalah adegan musikal. Saya mendengar
keluhan bahwa Frozen 2 terlalu sering
bernyanyi, tapi bukan itu kasusnya. Silahkan hitung. Jumlah sekuen musikal film
pertama dan kedua sama-sama delapan buah. Hanya saja, penempatannya, terlebih
di awal, cukup berdekatan sehingga terkesan penuh sesak.
Tapi itu tidak jadi soal, sebab ini
film musikal. Selama tiap lagu membantu penelusuran cerita dan eksplorasi
karakter, sah-sah saja mau sebanyak apa pun. Dan Frozen 2 berhasil melakukan itu. Benar bahwa selain Into the Unknown (dengan cerdik sekelumit
nadanya terus diputar selaku bagian penting cerita sehingga mudah menempel di
ingatan) lagu-lagunya belum sekuat film pertama, namun itu dikarenakan mengejar
kualitas “kelas dewa” pendahulunya adalah kemustahilan.
Tapi ketertinggalan tersebut mampu dibayar
lunas oleh pengadeganan indah nan kreatif. Lost
in the Woods yang bak parodi video klip pop romantis era 80-90an, kejenakaan
When I Am Older, lalu tentunya Into the Unknown dan Show Yourself selaku klimaks presentasi
visual dengan sedikit napas surealisme, yang mewakili proses Elsa selangkah
demi selangkah bertransformasi dari Ratu sakti menjadi “ethereal, magical, superior being”. Penurunan kualitas cuma terjadi
pada The Next Right Thing, sebuah
balada klise dengan visualisasi yang nampak kerdil dibanding para
kompatriotnya.
Mengulik lebih jauh departemen
visualnya, di luar adegan musikal, kualitas animasi Frozen 2 begitu baik, pun sempat menyentuh ranah photorealistic. Paling memikat adalah bagaimana
animasi film ini menghidupkan air. Entah gulungan ombak raksasa atau ratusan
gelembung yang melayang dari balik lantai kapal. Silahkan cari animasi lain
yang bisa mengkreasi air, yang notabene bukan elemen yang gampang dianimasi,
senyata film ini.
Selain soundtrack, scoring garapan
Cristophe Beck pun menghadirkan keindahan lain yang seolah mewakili harmoni alam,
yang begitu indahnya, sampai bisa mengaduk-aduk perasaan. Sementara terkait
Elsa, Frozen 2 ibarat kulminasi pesan
empowerment yang dibawa karakternya.
Berulang kali, saya dan banyak penonton bersorak merayakan wanita tangguh satu
ini beraksi bak superhero. Dari sosok
bermasalah yang ditakuti, Ratu, pahlawan super, sampai akhirnya menjadi seorang
Dewi. Tidak ada alasan untuk tidak mencintai Elsa.
Sejak awal, Frozen sudah mengusung pesan empowerment,
termasuk kala mendobrak formula prince
charming di film pertama. Tapi tuturannya seimbang, tidak serta merta
memukul rata dengan melukiskan semua pria secara negatif. Kedua gender saling
menyokong. Contoh terbaik adalah saat Kristoff menolong Anna dari kejaran
sekelompok raksasa. Dia hanya berkata “I’m
here. What do you need?”. Dari kalimat singkat itu, bukan aksi heroik
Kristoff yang ditonjolkan, melainkan bagaimana ia hanya pria sederhana yang
siap sedia mendukung cintanya.
Semakin jauh kisah berjalan, Frozen 2 semakin terkesan kelam, tapi
gelak tawa serta teriakan sebagai ekspresi rasa gemas tetap berhasil diproduksi.
Olaf masih karakter pendukung yang dicintai penonton, dan kali ini, seekor
kadal api menggemaskan ikut berpartisipasi mencuri hati. Bicara mengenai
karakter, menarik disimak bahwa Frozen 2 tidak
punya antagonis, dan memang tidak membutuhkannya. Ini bukan kisah kebaikan
melawan kejahatan. Ini tentang usaha menemukan harmoni antara internal manusia
dengan semesta.
Rumor Elsa yang jadi karakter lesbian dan punya pacar cewek bener ada difilm ini???
BalasHapusSaya juga penasaran apakah isu ini benar?
HapusNope Gak Ada lesbian Di filmnya
HapusThe Good Dinosaur-nya pixar belum ada yg nandingin sih soal visual effect alamnya
BalasHapusPenasaran dengan fakta film kedua terlaris. Ane kira juara pertamanya toy story,ternyata setelah googling salah ane wkekekk
BalasHapusNomer satunya film animasi live action? Ahahaha
HapusThe Lion King itu masuknya full animasi sih, full CGI
HapusYg nomor 1 sih Live action animasi.. itupun bnyk yg nonton gara2 unsur nostalgicnya
BalasHapusMakin tajir dah..
Mudah2an visinema gak dibeli sm disney wkwk
Gelo sih kalau visinema dibeli Disney. Wkwkwkwk
BalasHapusKalau A24 dibeli keknya ga bisa ya. Dikira monopoli ga sih? Btw yang pertama beneran Lion King?
Elsa jadi seorang Dewi, tidak ada antagonis, agak spoiler ga sih om?
BalasHapusNggak ada antagonis jelas bukan spoiler. Itu poin yang biasa dibahas di review. Soal Elsa juga bukan, karena baru bakal paham setelah nonton
HapusMnurutku soal elsa itu spoiler pak.. Untung ga baca review manapun sebelum nonton filmnya.. jdi deg2an sepanjang film.. temenku yg nonton duluan, blg ga suka endingnya.. tp mnurutku ini ending terbaik.. dari frozen I aku merasa anna lebih cocok yg jd ratu drpd elsa..
HapusUps.. spoiler
HapusYang paling memorable pas Olaf memperagakan adegan film frozen pertama.. kalo lagunya yg nempel banget justru lagu kristoff duet sama para rusa 😁
BalasHapusIyakah? Klo aku sih lupa.. yang aku ingat aku tertawa sepanjang lagu.. nostalgia video klip lagu jadul xD
HapusTapi mas Rasyid, bukannya si kakeknya elsa sama anna itu karakter antagonis ya?, kan dia penyebab roh2 itu marah ke kerajaan arendelle karena sudah membunuh kepala suku di hutan magis itu.
BalasHapusSi kakek lebih ke arah pemicu. Kalau pun ada antagonis, ya rohnya. Soalnya antagonis bukan berarti "jahat"
Hapus