24/11/19

JAFF 2019 - EMPU

0 View
Di festival berskala internasional bergengsi sekalipun, film jelek tetap bisa ditemukan. Itu wajar. Tapi biasanya alasannya lolos seleksi bisa dipahami. Entah didorong kecocokan tema, kesegaran gaya (biasanya berupa eksperimentasi estetika), atau sebatas karea ada sosok yang dihormati pelaku industri terlibat di dalamnya. Cukup jarang ada kasus di mana muncul pertanyaan, “Bagaimana bisa film ini diterima?”. Empu, yang punya judul internasional Sugar on the Weaver’s Chair merupakan salah satu kasus langka tersebut.

Film yang judulnya berarti “sosok terhormat”—yang menjelaskan mengapa ada kata itu di dalam “perempuan”—ini mengangkat tema empowerment soal kisah tiga wanita, Sutringah (Annisa Hertami) si istri penyadap gula asal Banyumas, Yati (Arianggi Tiara) yang meski punya disabilitas tetap semangat mengelola bisnis lurik keluarga di Klaten, dan Maria (Putry Moruk) seorang janda yang memimpin usaha berdikari para janda lain di Kefa. Naskahnya ditulis oleh sutradara Harvan Agustriansyah (Hi5teria, Lima) bersama Luvie Melati (Tuyul Part 1, Hantu Jeruk Purut Reborn), alias memadukan kepala laki-laki dengan perempuan.

Berdasarkan penuturan Harvan dalam sesi tanya-jawab, kombinasi ini dipilih guna menyajikan perspektif berimbang. Keputusan bijak, namun kentara ada dua perspektif berbeda yang saling bertubrukan. Di samping kalimat-kalimat bernada gugatan atas ketidakadilan gender, sempat terdengar pula empowerment semu, misal pada paruh konklusi, saat salah satu karakter berkata bahwa ia memilih “menerima takdir”.

Awalnya semua berjalan lancar, baik dari pergerakan narasi maupun presentasi pesan. Sudah terjebak banyak hutang, kondisi Sutringah diperparah kala suaminya terjatuh saat menyadap gula, lumpuh, dan tak mampu mencari nafkah. Dia ingin bekerja, tapi sang suami melarang sambil berseru, “Aku udah jadi babu orang, aku nggak mau kamu juga jadi babu orang lain!”. Sekilas terdengar penuh perhatian, sebelum ia lanjut berkata, “Kamu tetep aduk gula aja!”. Sang suami melarang Sutringah menjadi babu orang luar, hanya agar wanita itu bisa menjadi babunya sendiri. Tipikal pola pikir patriarki yang berhasil filmnya gambarkan dengan relevansi tinggi.

Yati mendapati kalau wisatawan asing kurang tertarik pada lurik produksinya karena pilihan warna yang kurang cerah. Begitu dia menyatakan ide untuk membuat lurik berwarna cerah, sang ayah seketika membantah, beralasan bahwa warna itu sudah turun-temurun dan tak semestinya diubah. “Sudah cukup. Kurang apa lagi? Kamu harusnya bersyukur”, demikian sebut sang ayah saat Yati menyampaikan ambisinya menambah pemasukan pabrik. Sikap “nerimo” ini yang ingin Yati gugat.

Sedangkan Maria yang memimpin komunitas janda pebisnis tenun terancam kehilangan bangunan tempat mereka menenun akibat masalah dengan korporasi. Tercetus ide untuk menyalurkan ilmu menenun lewat media kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun keinginan itu terbetur kurikulum. Kali ini giliran ketidakpadulian terhadap budaya lokal yang filmnya sentil.

Ketiga kisah di atas menarik, relevan, pun variatif walau memiliki satu benang merah yakni pemberdayaan perempuan. Sayangna kelemahan beberapa departemen cukup mengganggu. Entah buruknya hasil konversi DCP atau masalah pasca-produksi lain, gerak gambarnya kerap putus-putus. Sementara naskahnya, terkesan dangkal cenderung menggurui ketika semua pesan disampaikan secara verbal. Tidak ada kesubtilan. Seolah apa saja yang ada di benak karakternya, selalu mereka luapkan lewat kata-kata.

Cara bertutur itu sedikit terselamatkan berkat penampilan Annisa Hertami, salah satu aktris paling berbakat tapi underrated negeri ini. Berlawanan dengan filmnya, akting Annisa tak terjebak kegamblangan. Baik dalam diam atau tuturan katanya, ada beberapa layer yang menjadikan sosok Sutringah terasa lebih kompleks ketimbang dua perempuan lain.

Menjelang babak ketiga, Empu mungkin bukan film memikat, namun dapat dinikmati. Sampai tiba waktunya konklusi dihadirkan, dan alasan mengapa film ini cuma berdurasi 60 menit langsung terlihat. Cerita mendadak usai. Tanpa gesekan akhir selaku klimaks, semua masalah rumit tadi ditutup secara instan dengan cara mengubah sikap para tokoh begitu saja. Rasanya seperti menyaksikan iklan layanan masyarakat atau video motivasi mengaru biru yang kerap muncul di media sosial atau YouTube. Sebuah ending yang menghancurkan segalanya, membuat rangkaian proses selama satu jam tadi menjadi tidak penting.

2 komentar :

  1. Film Filipina & Jepang skornya bagus, pas film dalam negeri koq jelek?
    Sejomplang itukah kualitas film Indonesia?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak juga sih (walau industrinya ya emang jauh kalau dibanding Jepang). Kebetulan aja line up felem lokal JAFF tahun ini kurang kuat

      Hapus