Saya tertarik menonton film
independen asal Filipina ini setelah membaca tentang respon luar biasa para
penonton. Bahkan saat diputar di festival Cinemalaya tahun lalu, begitu kredit
bergulir, penonton bertepuk tangan, meneriakkan jargon perjuangan, juga
menyanyikan lagu bernada protes. Mengangkat kisah nyata kehidupan para tahanan
yang meletuskan pemberontakan terhadap tirani Ferdinand Marcos, saya mengira
bakal disuguhi tontonan politis. Rupanya Liway
adalah drama keluarga yang lebih personal.
“Liway” merupakan julukan bagi
Ceilia Flores-Oebanda alias Day (Glaiza de Castro), salah satu pentolan
perjuangan New People’s Army dalam usaha menggulingkan pemerintahan Marcos.
Setelah bergerilya di hutan, Komandan Liway ditangkap, dijebloskan ke penjara
bersama suaminya, Ric alias Komandan Toto (Dominic Roco). Putera mereka, Dakip
(Kenken Nuyad) lahir dan tumbuh di penjara tanpa pernah tahu kondisi di luar.
Biarpun diperlakukan secara
manusawi, hidup di penjara jelas bukan perkara mudah, khususnya bagi bocah
seperti Dakip. Day pun berusaha sekuat tenaga menjaga agar puteranya bisa hidup
senormal mungkin, membuatnya bahagia, termasuk dengan menceritakan
cerita-cerita rakyat, salah satunya mengenai Liway, dewa penjaga dari Gunung
Kanlaon, yang mana merupakan versi fiktif dari kisah hidupnya.
Sesekali aroma politik berhembus,
sebagaimana para tahanan terkadang mendapat kabar terbaru perihal situasi,
mengenai “Apakah pemerintahan Marcos bakal segera runtuh?”. Pun sempat pula
kita diajak mengunjungi flashback singkat
berisi perjalanan Day sebelum dipenjara, termasuk proses penangkapannya pasca
baku tembak di hutan, yang sayangnya dikemas agak canggung oleh sutrdara Kip
Oebanda, yang turut menulis naskahnya bersama Zig Dulay.
Tapi utamanya, Liway tetaplah cerita personal tentang keluarga juga tumbuh kembang
seorang bocah. Dakip mungkin cukup bahagia di penjara, tapi biar bagaimana,
penjara tetap penjara. Sebuah tempat di mana kebebasan dikekang. Tatkala
kebebasan itu sudah dikekang sejak lahir, individu berisiko terbiasa dengan
kekangan tersebut, menganggapnya normal, bahkan merasa betah dijejali
penderitaan. Di pertengahan, Liway sempat menitipkan Dakip kepada rekannya,
dengan harapan sang putera bisa hidup nyaman di luar. Nyatanya, si bocah tidak
kerasan. Daripada tidur di kasur empuk, dia memilih berbaring beralaskan
selimut tipis di lantai kamar mandi.
Progresi alurnya dibungkus tempo
medium minim letupan namun tetap dinamis, yang mengalir mulus berkat penulisan
rapi sehingga nyaman dinikmati. Akting Glaiza de Castro pun jadi pondasi kokoh
sebagai seorang pemimpin pemberontakan yang selalu terjebak dilema, antara
menuruti idealisme perjuangan atau mengalah demi orang-orang tersayang. Tapi di
tengah semua itu, api di matanya menolak padam.
Dari potret keseharian, Liway bergerak semakin intens memasuki
paruh kedua, sewaktu terjadi perubahan struktur di penjara. Sang sipir baik
hati (Soliman Cruz), yang menciptakan dinamika hangat berupa hubungan saling
menghormati antara penjaga dan tahanan, digantikan oleh sosok yang lebih kejam
(Richard Joson). Mendadak maut serasa mendekat, dan ketegangan menguat. Puncaknya
adalah klimaks mencekam yang mengombang-ambingkan penonton di antara harapan
dan ketidakberdayaan, seperti yang selalu mengisi hari-hari para tahanan.
Karena perbedaan kedekatan
representasi, respon gila-gilaan penonton Filipina tentu tak terulang di
Indonesia, tapi ada hal lain. Begitu teks sebelum kredit mengungkap jati diri
sang sutradara—yang sebenarnya bisa ditebak jika menaruh perhatian sejak awal
atau mencari informasi terkait filmnya lebih dulu—banyak penonton tercekat,
berteriak kecil, bahkan sayup-sayup terdengar tangisan, setelah menyadari
betapa Liway merupakan film yang amat
personal.
dih judulnya ngikutin acara PewDiePie . LWIAY ��
BalasHapusNganu...tolong bilang ini komentar troll & bukan serius mikir gini
HapusGak kok wkwkw. Pas baca langsung keinget pudipi ��
BalasHapus