THE TWO POPES (2019)

14 komentar
The Two Popes, selaku adaptasi pertunjukan panggung The Pope ciptaan Anthony McCarten (The Theory of Everything, Darkest Hour, Bohemian Rhapsody) yang turut menulis naskah filmnya, mungkin banyak mengandung kerancuan fakta. Tapi ketimbang biografi berakurasi tinggi, kisah soal pertemuan Paus Benediktus XVI alias Joseph Ratzinger (Anthony Hopkins) dan Kardinal Jorge Mario Bergoglio (Jonathan Pryce) yang kelak akan terpilih sebagai Paus dengan nama Paus Fransiskus ini memang lebih tepat disebut harapan, atau imajinasi atas kondisi ideal dalam dunia religius, yang memunculkan kehangatan di tengah meningkatnya apatisme terhadap relevansi agama dewasa ini.

Sepeninggal Paus Yohanes Paulus II, Gereja mengadakan pemilihan untuk Paus baru. Joseph Ratzinger dari pihak konservatif jadi kandidat terkuat, dan akhirnya ia memang terpilih, namun Jorge Mario Bergoglio di luar dugaan mampu memberi perlawanan. Bergoglio sendiri tak tertarik memimpin, tapi sosoknya diharapkan bisa mendatangkan perubahan. Berpikiran terbuka, punya pendekatan humanis, menggemari sepak bola juga lagu-lagu ABBA, Uskup Agung asal Argentina ini diyakini sanggup membawa Gereja mengikuti perkembangan zaman. Apalagi setelah skandal Vatikan mencuat, ditambah banyaknya kasus pedofilia di kalangan Pendeta.

Merasa tak lagi sejalan, Bergoglio berniat mengajukan pengunduran diri, tapi sebelum itu terjadi, Benediktus XVI mengundangnya ke Roma. Keduanya pun terlibat banyak pembicaraan, dari perdebatan soal sudut pandang berlawanan terkait beberapa hukum agama, hingga obrolan intim hati ke hati ketika Benediktus XVI mengakui krisis iman di hati sedangkan Bergoglio mengungkap masa lalu kelamnya kala Perang Kotor pecah dan kediktatoren militer berkuasa di Argentina selama 1978-1983.

Sebagaimana pertunjukan teater, filmnya didominasi tuturan verbal lewat perbincangan kedua figur Katolik yang dibungkus sinematografi garapan César Charlone (City of God, American Made) yang kadang tampak megah meski sesekali juga menampilkan kekosongan serupa keadaan hati dua protagonisnya. Lalu sempat juga kita dibawa memasuki flashback mengenai masa lalu Bergoglio. Dikemas menggunakan visual hitam putih, fase ini justru jadi titik lemah The Two Popes. Eksekusinya tidak buruk, di mana tragedi demi tragedi tetap berhasil menyesakkan hati sebagaimana itu mengguncang batin Bergoglio, tapi cukup mengganggu aliran nyaman yang sudah dibangun sutradara Fernando Meirelles (City of God, The Constant Gardener) bersama kedua aktor utamanya.

Kekuatan terbesar The Two Popes memang terletak pada dialog yang dilontarkan oleh dua penampil seniornya lewat kejelian luar biasa perihal memainkan dinamika tutur dan rasa. McCarten cerdik mengambil beberapa ucapan karakternya di dunia nyata untuk ditempatkan secara sesuai sehingga melahirkan momen kuat. “Forgiveness is not enough. Sin is more than a stain. Sin is a wound. It needs to be treated, healed” dan “When no one is to blame, everyone is to blame” merupakan beberapa di antaranya.  

Membahas sederet isu penting bahkan sensitif tak seketika menjadikan The Two Popes terasa serius atau berat, sebab McCarten menyelipkan peristiwa maupun ucapan menggelitik (khususnya dari mulut Bergoglio), yang membawa filmnya ke ranah buddy comedy. Tujuannya bukan semata meringankan penceritaan, pula memanusiakan kedua karakternya. Mungkin pada kenyataannya, mungkin Paus Benediktus XVI dan Bergoglio tak terlibat percakapan secair itu, dan memang keduanya baru bertatap muka setelah Bergoglio disahkan sebagai Paus Fransiskus (pun saya yakin tidak sambil menonton final Piala Dunia 2014).

Tapi dengan begini, alih-alih dua figur besar agama yang terasa jauh dari jangkauan, penonton dibuat menyaksikan dua manusia lanjut usia biasa, yang seiring waktu, berusaha berdamai dengan dosa pribadi, juga dengan satu sama lain, guna mengesampingkan perbedaan atas nama agama sekaligus keberlangsungan umat. Hopkins, di usia 81 tahun, terbukti masih memiliki sensitivitas rasa dalam menghidupkan kekacauan hati Paus Benediktus XVI, sedangkan Pryce punya kapasitas untuk membuat penonton mudah menyukainya—sebagaimana Paus Fransiskus di dunia nyata—bahkan setelah membuka rahasia masa lalunya. Andai lebih banyak pemuka agama apa pun bersikap layaknya Bergoglio di film ini…..


Available on NETFLIX

14 komentar :

Comment Page:
jordi mengatakan...

Bang sorry nih, mau nanya. Bang rasyid udah nonton the lighthouse belum?

Rasyidharry mengatakan...

Belum, dan kalau udah juga nggak akan di-review selama belum rilis/ditontin di platform legal

Anonim mengatakan...

wadidaw udh mulai review netflix originals nih bang

hack mengatakan...

Bang, ini film religi buat agama tertentu apa juga bisa dinikmati oleh penganut kepercayaan lain?

Rasyidharry mengatakan...

Universal kok filmnya. Enteng banget

Anonim mengatakan...

Saya m-slim, kalo nonton ini murtad atau nggak?

Anonim mengatakan...

Nonton ini takut murtad, takut dosa. Eh kalo Miyabi malah didownload, ditonton 3 x seminggu tanpa ragu.

Anonim mengatakan...

Kan cuma nonton mas, kita ambil yg perlu, kita pelajari, kita singkirkan yg ndak perlu

ei mengatakan...

hahahahahahaha.....

Anonim mengatakan...

Hahahah.. wajar namanya juga munafik mas. Pemikiran yg sangat dangkal.

Rasyidharry mengatakan...

Wah auto murtad. Neraka tingkat 666 paling dasar

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Orang Kristen denger adzan aja ga auto mualaf. Lemah iman mah terima aja ga usah salahin film

Unknown mengatakan...

Mas,sudah mengintip film 'The Farewell' belum?
Film yg dibintangi Awkwafina itu?

Rasyidharry mengatakan...

Udah, keren banget itu