THE GENTLEMEN (2019)
Rasyidharry
Februari 16, 2020
Action
,
Charlie Hunnam
,
Colin Farrell
,
Comedy
,
Crime
,
Eddie Marsan
,
Guy Ritchie
,
Henry Golding
,
Hugh Grant
,
Jeremy Strong
,
Lumayan
,
Matthew McConaughey
,
REVIEW
7 komentar
Mickey Pearson (Matthew McConaughey) sang Raja ganja di
Inggris hendak pensiun dan menjual bisnisnya. Tapi The Gentlemen bukan potret seorang gangster yang tengah mencari
kedamaian. Tidak ada kedamaian di sini, tidak ada upaya menggali sisi
kemanusiaan dari para kriminal. Bukan pula mengenai benturan kekuasaan antar
generasi gangster maupun perenungan tentang kematian yang menggelayuti pelaku
dunia hitam, sebab The Gentlemen menandai
kembalinya Guy Ritchie ke “akarnya” melalui suguhan komedi/kriminal bergaya
yang melambungkan namanya dahulu.
Jika familiar dengan filmografi sang sutradara/penulis
naskah, anda tentu tahu bahwa substansi tidak seberapa diperhatikan. Kisahnya
dibuka saat Mickey berjalan memasuki bar, meminum bir, melakukan panggilan
telepon, lalu seseorang yang wajahnya tak diperlihatkan berdiri di belakangnya,
menodongkan senjata, dan layar menampilkan cipratan darah di gelas bir. Apa
yang terjadi?
Jawaban atas pertanyaan tersebut takkan didapat secara
instan. Tidak sebelum kita menyaksikan peristiwa-peristiwa liar yang
diceritakan oleh Fletcher (Hugh Grant), seorang detektif swasta, kepada Raymond
(Charlie Hunnam), tangan kanan Mickey. Fletcher disewa oleh Big Dave (Eddie
Marsan), editor tabloid Daily Print, yang menyimpan dendam, sehingga ingin
menjatuhkan Mickey dengan cara mengungkap rahasianya. Bukannya melaporkan hasil
temuan pada Big Dave, Fletecher justru menawarkan itu pada Raymond dengan harga
£20 juta.
Fletcher menceritakan seluruh temuannya, dan kita pun dibawa
mengikuti perjalanan panjang yang membentang dari paparan masa lalu Mickey,
sampai intrik-intrik yang melibatkan para pengincar kekuasaan dunia gelap
perdagangan mariyuana. Ada Matthew Berger (Jeremy Strong) si milyuner Amerika
Serikat yang berniat membeli semua lahan mariyuana Mickey, Dry Eye (Henry
Golding) si anggota gangster Cina yang penuh ambisi, hingga seorang pelatih
tinju tanpa nama (Colin Farrell) yang kebetulan terseret akibat ulah
murid-muridnya.
Dalam merangkai naskahnya, Ritchie bermain-main menggunakan
Fletcher selaku unreliable narrator yang
gemar memalsukan cerita hanya karena iseng atau memperseru situasi. Tentu
sebenarnya Ritchie yang ingin memperseru situasi. Tapi berkat penokohan
Fletcher, mudah bagi kita menerima keliaran narasinya. Mudah menerima kala
rasio aspek layar berubah agar tampak bak film zaman dulu atau ketika segelintir
humor meta dilontarkan Fletcher. Mudah
juga menerima saat beberapa kejadian diralat dan ternyata hanya rekaan yang dia
pakai untuk menambah bumbu.
The Gentlemen memang kaya akan bumbu. Bumbu berupa ciri
sang sutradara, yang meliputi: gerak lambat, penyuntingan kilat, dan banyak twist yang tak perlu repot-repot kita
pikirkan logika serta kepentingannya, karena sekali lagi, hal-hal semacam
esensi bukan budaya film-film Guy Ritchie. Budaya film-film Guy Ritchie adalah keseruan
sarat machismo keren para gentlemen yang sekilas nampak
bermartabat dengan setelan jas necis yang sesungguhnya adalah topeng penutup
kebengisan.
Dampaknya, sewaktu adegan aksi (yang secara mengejutkan
kuantitasnya tidak seberapa) atau pameran gaya Ritchie tak mengisi layar,
dinamika dan daya tarik filmnya turut mengendur. Ritchie bukan seorang
pencerita mumpuni, alhasil sewaktu gaya itu dilucuti, pacing-nya melemah, seolah The
Gentlemen kehilangan daya. Pertanyaannya, seberapa sering itu terjadi?
Untungnya tidak terlalu, mengingat elemen-elemen lain turut mengulurkan bantuan.
Selain barisan musik asyik yang tak pernah absen dari
judul-judul Ritchie, performa para pemainnya mengibur lewat keberhasilan
menghidupkan image jajaran “penjahat
brutal berkelas”. McConaughey, Hunnam, dan Farrell menyimpan hewan buas di
balik ketenangan mereka. Hewan buas yang lebih sering dilepaskan dari kandang
oleh Golding dalam peran yang berlawanan dengan sosok pria kharismatik baik-baik
yang mulai identik dengan dirinya. Begitu pun Grant. Selalu menyenangkan
melihat Grant melawan stereotip. Sebaliknya, selalu menyenangkan melihat
Ritchie tidak berusaha mengubah image dalam
berkarya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:IMHO, GUY RITCHIE tidak pernah gagal...film2nya selalu mempesona..
Charlie hunnam sdh beberapa jali dipake sm guy ritchie. Kira2 menurut mas rasyid sudah bisa gantiin perannya aktor langganannya guy ritchie spt jason statham ato dexter fletcher
Baru kedua sih ini, tapi emang cocok sama gaya machismo khas Ritchie. Pasti lebih sering dipake lagi ke depannya
Jika film2 QT sering berisi dialog yang terkesan bertele2, maka film2 Guy Richie adalah konflik atau plot yang bertele-tele (Both in good ways).
Gimana bang?
Entah mengapa setiap nonton film Guy Ritchie pasti teringat film Martin McDonagh, sama2 film gangster tp masing2 punya style dan ciri khas tersendiri.
Ada link film.a gk kk?
Nnton dimana the gentlemannya guys?
Posting Komentar