REVIEW - PANGGIL AKU AYAH

Tidak ada komentar

Serupa banyak tearjerker, termasuk Pawn (2020) yang jadi sumber adaptasinya, Panggil Aku Ayah terasa seperti fantasi. Karena meski tanpa monster dan kekuatan ajaib, alurnya dipenuhi pemandangan yang tidak jamak, atau malah mustahil terjadi dalam realita, untuk mengaduk-aduk emosi penonton. Apakah itu buruk? Tentu tidak. Lagipula, bukankah sinema merupakan medium yang mengeliminasi batasan pikir? 

Protagonisnya bernama Dedi (Ringgo Agus Rahman), yang bersama sepupunya, Tatang (Boris Bokir), berprofesi sebagai tukang tagih utang. Tapi keduanya jenaka, pula baik hati. Anomali semacam ini (preman tapi baik, lansia tapi kuat, miskin tapi jenius, dll.) memang banyak disukai penonton. Kebaikan mereka diuji saat terpaksa merawat gadis cilik bernama Intan (Myesha Lin), yang dijadikan jaminan akibat sang ibu (Sita Nursanti) tak mampu membayar utang. 

Awalnya Dedi dan Tatang hanya berniat "merawat" Intan, atau yang mereka panggil "Pacil" (Kepala Cilik) selama seminggu, tapi karena rangkaian peristiwa tak terduga, hal itu terus berlangsung sampai si bocah beranjak besar (Tissa Biani memerankan Intan versi dewasa). Bagaimana bisa kebaikan si tukang tagih utang bertahan menahun hingga membentuk paternal love sebegitu kuat? 

Alurnya memang masih mengikuti pakem tearjerker generik yang terlampau familiar, namun saya suka bagaimana naskah buatan Rifki Ardisha masih memedulikan sebab-akibat logis dalam menyusun hubungan antar karakternya. Kasih sayang Dedi tumbuh karena ia merasa Pacil adalah satu-satunya orang yang melihatnya lebih dari sebatas penagih utang. Sebaliknya, Pacil terenyuh oleh kepedulian Dedi. Panggil Aku Ayah adalah kisah mengenai dua manusia yang sama-sama disentuh oleh kebaikan hati. 

Proses peralihan budayanya pun tergarap apik. Mengapa si protagonis diberi nama "Dedi" dan Intan mendapat julukan "Pacil", semua memiliki landasan kultural kuat yang "sangat Indonesia". Peralihan lain yang menunjukkan kecerdikan naskahnya adalah terkait pemakaian lagu Tegar milik Rossa. Bagaimana lagu cinta tersebut mampu dialihkan maknanya ke arah maternal love, yang membantu terciptanya momen emosional, yang dimotori oleh kekuatan akting Sita Nursanti. 

Sebagai tearjerker, tentu tujuan utama Panggil Aku Ayah adalah menguras air mata penonton sebanyak mungkin. Bahkan di sebuah kesempatan, Benni Setiawan selaku sutradara menempatkan kamera dalam posisi close-up guna menangkap tangisan Tissa Biani. Tapi secara keseluruhan, caranya menyulut emosi tak pernah terasa murahan. Filmnya menggiring penonton menangis, tanpa terkesan mengemis tangisan tersebut. 

Eksploitasi terhadap kondisi finansial tokoh-tokohnya pun enggan dilakukan. Sekali lagi, fokusnya terletak pada kebaikan hati, bukan soal betapa menyedihkannya kemiskinan. Tim artistiknya jeli mengambil jalan tengah. Tengok baju yang karakternya kenakan, atau properti di rumah mereka, yang sarat perpaduan warna tanpa terlihat artificial dan terlalu mencolok mata, sehingga tetap memancarkan kesederhanaan. Bahkan ada kalanya busana dan properti menciptakan sinkronisasi warna secara subtil.    

Sungguh disayangkan segala keunggulan tadi diganggu oleh lemahnya cara Panggil Aku Ayah menutup penceritaan. Babak ketiganya kacau, sampai bukan mustahil banyak penonton akan dibuat pusing oleh kerancuan linimasa alurnya. Konklusinya pun disajikan begitu buru-buru, bak enggan memberi peluang bagi penonton untuk meresapi luapan perasaan yang mestinya hadir. 

Tapi jangan khawatir, sebab sebagaimana Dedi selalu siap melindungi Pacil, Ringgo Agus Rahman pun senantiasa hadir layaknya pahlawan yang mampu menyelamatkan film ini dari segala kekurangannya. Caranya mengekspresikan campur aduk perasaan yang Dedi alami, tatkala cita-cita yang selama ini ia pendam akhirnya terwujud, yakni mendengar Pacil memanggilnya "ayah", sungguh luar biasa. Di situlah kebaikan hati seorang manusia akhirnya terbayar lunas. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: